Catatan: Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan pendapat tim redaksi illinibasketballhistory.com.
Awal tahun ini bisa dikatakan lebih baik dibandingkan awal tahun lalu. Dari perspektif makroekonomi, memang demikian. Sebab, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,11 persen pada triwulan I tahun 2024 dibandingkan triwulan I tahun 2023.
Jadi, angka pertumbuhan ini lebih baik dibandingkan periode yang sama tahun lalu yakni 5,04 persen. Pertumbuhan tersebut tentunya merugikan pelaku usaha kecil menengah (UMKM) dan usaha besar yaitu korporasi.
Berdasarkan statistik Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, kontribusi usaha kecil dan menengah terhadap perekonomian jauh lebih tinggi dibandingkan dengan usaha besar. Pada tahun 2019, usaha kecil dan menengah menyumbang 57,24 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) atas dasar harga konstan, dan usaha besar menyumbang 42,76 persen. Data-data tersebut menunjukkan pentingnya peran usaha kecil dan menengah dalam perekonomian, namun ironis jika mengetahui berapa juta unit usaha kecil dan menengah yang berkontribusi sebesar 57,24 persen terhadap PDB.
Dari 60 juta unit usaha yang ada, 99,9% merupakan usaha kecil dan menengah, sedangkan sisanya 0,01% merupakan usaha besar. Artinya, kue finansial yang tercipta akan lebih menarik bagi pemain komersial besar. Selain itu, jika dilihat dari penyerapan angkatan kerja, perusahaan besar hanya menyerap tiga persen, sedangkan UMKM harus menyerap 97 persen angkatan kerja.
Jika kondisi ini tidak diatasi, maka “kesenjangan kelas” antara pengusaha besar dan UMKM akan terus terjadi, dengan “beda nasib” antara pekerja di sektor UMKM dengan pekerja yang berkarir di korporasi.
Di negara berkembang pada umumnya, mayoritas badan usaha kecil dan menengah beroperasi di sektor informal dan dikelola secara tradisional, sedangkan perusahaan besar beroperasi di sektor formal dan dikelola secara modern. Faktanya, perusahaan-perusahaan besar terintegrasi secara vertikal dari hulu ke hilir, serta terintegrasi secara horizontal.
Dengan demikian, terciptanya ekosistem bisnis dalam rangka maksimalisasi keuntungan. Dalam situasi seperti ini, perusahaan-perusahaan besar tentu mempunyai kekuatan pasar untuk mengendalikan harga pasar, mulai dari pasar input (bahan mentah) hingga pasar derivatif. Pertanyaannya, apakah UMKM harus bersaing dengan perusahaan besar (walaupun kondisinya tidak sama) atau dengan mitra?
Menurut Asia Foundation (2000), pembentukan aliansi atau kemitraan strategis antara usaha kecil dan besar merupakan salah satu mekanisme yang paling penting dan efektif untuk transfer pengetahuan dan akses ke pasar domestik dan global yang lebih luas.
Dalam serikat ini, perusahaan kecil dan besar bekerja sama atas dasar keinginan dan kepentingan bersama. Keberhasilan kemitraan ini telah terbukti memberikan manfaat bagi pengembangan usaha kecil dan menengah di banyak negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan.
Di negara-negara ini, kemitraan biasanya dilaksanakan melalui praktik subkontrak yang memungkinkan UKM bertindak sebagai pemasok bahan mentah dan komponen ke perusahaan besar. Di Indonesia, kebijakan pemerintah mendorong para pengusaha untuk berkolaborasi dengan UKM dan UKM.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 “Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah” (UU 20/2008) dan ketentuan turunannya yaitu Undang-Undang Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 Keputusan Pemerintah Nomor 17 (PP 17/2013 ). PP 17/2013) dan Keputusan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kerja Sama dan Pembinaan, Perlindungan dan Pemberdayaan MCC (PP 7/2021) untuk memfasilitasi, mendukung, dan mendukung kemitraan antara pemerintah (pusat dan daerah), dunia usaha, dan masyarakat. perlu adanya dukungan dan dorongan, kepercayaan dan penguatan satu sama lain. , dan berguna.
Kerja sama antara UMKM dan usaha besar melibatkan proses transfer keterampilan di bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumber daya manusia, dan teknologi.
Bentuk kemitraan antara lain plasma induk, subkontrak, waralaba, perdagangan umum, distribusi dan keagenan, bagi hasil, kemitraan operasi, usaha patungan, outsourcing dan bentuk kemitraan lainnya.
Namun perlu dicatat bahwa meskipun peraturan mendorong pelaku komersial untuk bekerja sama, jika kemitraan dibangun dalam konteks struktur industri yang tidak sehat, terdapat godaan yang lebih besar bagi pelaku komersial besar untuk menyalahgunakan dominasi mereka dan merugikan usaha kecil, menengah, dan swasta entitas. .
Selain itu, apabila persekutuan tersebut harus mempunyai izin usaha, maka akan diberlakukan sebagai usaha besar. Misalnya saja kemitraan antar plasma di bidang perkebunan, yang bisa disebut dengan “kawin paksa”, karena kemitraan tersebut didasarkan pada peraturan yang diperlukan, yaitu Peraturan Menteri Pertanian dan Perencanaan Daerah. / Badan Pertanahan Nasional No. 7 Tahun 2017 dan Aturan Dasar serta Proses Penetapan Hak Guna Usaha (Peraturan Menteri ATR 7/2017).
Sesuai Peraturan Menteri ATR 7/2017, pemilik Hak Guna Usaha (HGU) wajib berkontribusi dalam pengembangan kebun masyarakat setempat dalam bentuk kemitraan (plasma) pada minimal 20% dari luas lahan HGU. Berdasarkan pedoman Peraturan Pertanian Nomor 26 Tahun 2007 (Permentan 26/2007), kemitraan di bidang perkebunan merupakan prasyarat untuk mendapatkan izin usaha perkebunan (IUP-P) untuk proses ini.
Bayangkan sebuah perusahaan perkebunan memberikan setidaknya 20% lahan inti kepada petani sebagai plasma. Tentu saja dalam konsep kemitraan, sebagai plasma, ratusan atau ribuan petani harus menjual hasil kebunnya kepada perusahaan perkebunan yang memiliki industri pengolahan.
Dengan kata lain, kemitraan Nuklir-Plasma dibangun atas dasar struktur industri yang monopolistik, sehingga harga lebih banyak ditentukan oleh pembeli (perusahaan perkebunan). Kondisi seperti ini tentunya juga terdapat pada model kemitraan lain seperti franchising dan subkontrak, dimana jika kemitraan bersifat “sepihak”, salah satu pihak akan mendapatkan keuntungan lebih dan pihak lainnya akan dirugikan.
Oleh karena itu, sangat tepat jika UU Nomor 20 Tahun 2008 bersama PP 17 Tahun 2013 membebankan tugas pengawasan pelaksanaan kemitraan kepada Komisi Pengendalian Persaingan Usaha (KPPU). Oleh karena itu, KPPU wajib menyusun peraturan tentang tata cara pemantauan pelaksanaan kemitraan.
KPPU menerbitkan Peraturan Nomor 4 Tahun 2019 tentang Pengawasan dan Peninjauan Kembali Urusan Kerjasama KPPU (Per-KPPU 4/2019), yang kemudian diubah dengan Per-KPPU Nomor 2/2024.
Sejak tahun 2019, KPPU mulai aktif memantau kerja sama antara UMKM dan usaha besar. Mengutamakan pencegahan, KPPU mengatasi permasalahan kemitraan melalui upaya advokasi untuk memastikan setiap mitra berpegang pada prinsip kemitraan dan etika profesi.
Selain itu, permasalahan dalam kemitraan diselesaikan melalui proses “mediasi” antara para pihak yang bermitra untuk meningkatkan pelaksanaan kemitraan. KPPU akan mengarahkan segala sesuatunya untuk diperbaiki melalui pemberitahuan tertulis. Seniman profesional diberi kesempatan untuk mengoreksi tiga teguran tertulis.
Pada tahun 2023, terdapat 13 kasus kemitraan yang diselesaikan dengan memberikan teguran tertulis. Namun apabila tidak dapat diselesaikan maka perkara tersebut akan dipertimbangkan melalui mekanisme peradilan yaitu dengan keputusan KPPU, dimana bagi yang kedapatan melakukan pelanggaran akan dikenakan sanksi berupa denda dan rekomendasi pembatalan izin (untuk diikuti). oleh otoritas yang berwenang).
Tentu saja permasalahan kemitraan yang ditangani KPPU hanyalah sebagian kecil dari tantangan kemitraan yang muncul. Sebagai langkah strategis dalam menjalin hubungan antara usaha besar dengan usaha kecil dan menengah, tidak akan efektif jika pertanyaan bagaimana menjalin kemitraan tidak ditentukan sejak awal.
Lebih tepatnya, dari proses produksi yang panjang hingga ke hulu, harus jelas mana UKM yang menjadi “toko” dan mana yang merupakan bagian dari usaha besar. Misalnya, perusahaan pengolahan (manufaktur) skala besar tidak memerlukan integrasi vertikal dengan pemasok bahan baku (di sektor hulu), cukup menjalin kerja sama dengan UKM sebagai pemasok bahan baku.
Hubungan yang kuat antara usaha besar dan usaha kecil dan menengah menjamin pertumbuhan ekonomi, yang tidak hanya membuat usaha besar menjadi lebih besar, tetapi juga meningkatkan kelas usaha kecil dan menengah. (mq/mq)