berita aktual Arah Kemandirian Energi RI di Tengah Konflik Global dan Krisis Iklim

Catatan: Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Dewan Redaksi illinibasketballhistory.com.

Konflik global dan krisis iklim telah mengungkap kerentanan sistem energi dunia, termasuk Indonesia. Ketergantungan pada bahan bakar fosil yang diimpor membuat Indonesia rentan terhadap jatuhnya harga internasional dan ancaman gangguan pasokan energi.

Pada tahun 2023, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia akan mengimpor minyak mentah sebanyak 75,72 juta barel, meski merupakan negara penghasil minyak. Ketergantungan ini menghadirkan tantangan besar dalam mencapai kemandirian energi.

Selain itu, krisis iklim memaksa negara-negara untuk segera beralih ke energi ramah lingkungan untuk mengurangi emisi karbon. Sebagai bagian dari komitmennya, Indonesia menargetkan 23% energi terbarukan dalam bauran energi nasional pada tahun 2025, sesuai dengan Strategi Energi Nasional (RUEN).

Namun tantangan infrastruktur, dominasi batubara, dan kurangnya investasi menghambat pencapaian tujuan ini. Dalam konteks ini, kemandirian energi tidak hanya sekedar upaya memenuhi kebutuhan dalam negeri, namun juga merupakan strategi untuk mengurangi risiko nasional dan krisis iklim global.

Tantangan Kemandirian Energi di Indonesia

1. Ketergantungan pada Energi Fosil Pada tahun 2022, batubara akan menyumbang 38% dari bauran energi negara, sehingga batubara menjadi andalan sistem energi Indonesia (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2023). Meskipun memberikan kontribusi yang signifikan terhadap devisa negara melalui ekspor, penggunaannya dalam pembangkit listrik dalam negeri menyumbang hingga 40% dari total emisi karbon negara.

Selain itu, Indonesia mengimpor sekitar 45% kebutuhan LPG dalam satu tahun, yang menunjukkan tingginya ketergantungan terhadap sumber energi fosil.

Kenaikan harga energi global akibat konflik antara Rusia dan Ukraina pada tahun 2022 semakin mempertegas risiko ekonomi dari ketergantungan tersebut. Dampaknya langsung terasa pada inflasi dalam negeri yang berdampak pada daya beli masyarakat dan stabilitas sosial.

2. Krisis Iklim dan Dampaknya terhadap Energi Krisis iklim tidak hanya menjadi tantangan global, namun juga menjadi permasalahan spesifik di Indonesia. Perubahan pola cuaca ekstrem, seperti banjir dan kekeringan, berdampak pada infrastruktur ketenagalistrikan.

Misalnya, kekeringan yang melanda Waduk Cirata pada tahun 2021 membuat kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) berkurang hingga 15%. Peristiwa ini menyoroti kerentanan sistem energi terhadap perubahan iklim yang semakin tidak dapat diprediksi.

3. Peraturan Undang-undang dan Pembatasan Penanaman Modal Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi menekankan pentingnya diversifikasi energi dan pengembangan sumber terbarukan. Namun, implementasinya sering kali terhambat oleh peraturan yang tumpang tindih, kurangnya insentif investasi, dan kesulitan administratif.

Data menunjukkan bahwa pada tahun 2022, investasi di sektor energi terbarukan hanya mencapai US$1,38 miliar, kurang dari target yang ditetapkan pemerintah sebesar US$3,3 miliar (Kementerian Investasi, 2022).

Hambatan-hambatan ini menciptakan tantangan yang signifikan untuk menarik investor sekaligus membatasi pencapaian target bauran energi terbarukan untuk Inisiatif Kemandirian Energi.

1. Diversifikasi Energi Langkah awal menuju kemandirian energi adalah dengan diversifikasi sumber energi. Indonesia memiliki potensi besar dalam bidang bioenergi, terutama dari kelapa sawit, residu pertanian, dan sampah organik. Namun pada tahun 2022, bioenergi yang digunakan hanya akan mencapai 10% dari potensinya.

Untuk meningkatkan posisi ini, pemerintah harus menyederhanakan proses perizinan dan memberikan insentif keuangan kepada investor. Pengembangan bioenergi tidak hanya mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil, namun juga memberikan dampak positif terhadap perekonomian pedesaan dengan menciptakan lapangan kerja baru.

2. Penguatan Infrastruktur Energi Terbarukan Indonesia mempunyai potensi besar dalam bidang energi surya dan angin. Potensi listrik tenaga surya mencapai 207,8 GW, namun yang dimanfaatkan hanya kurang dari 1% (IEA, 2022). Penguatan infrastruktur seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Angin (PLTA) harus menjadi agenda utama nasional.

Selain itu, pengembangan teknologi penyimpanan energi seperti baterai juga penting dilakukan untuk mengatasi kekurangan pasokan energi terbarukan. Dengan berinvestasi pada teknologi ini, Indonesia dapat meningkatkan keberlanjutan sistem energi terbarukan.

3. Mengurangi ketergantungan terhadap batu bara Peralihan dari batu bara ke energi ramah lingkungan harus dilakukan secara bertahap namun tegas. Transisi energi yang positif dapat menjadi solusinya, dimana para pekerja di sektor batubara dilatih kembali untuk melakukan transisi ke sektor energi terbarukan. Jerman telah berhasil menerapkan sistem ini dan model ini dapat digunakan di Indonesia.

4. Reformasi Kebijakan dan Insentif Penetapan kebijakan tarif dapat memberikan kepastian pasar bagi pengembang energi terbarukan. Selain itu, revisi Pasal 20 UU Energi untuk menambahkan komitmen anggaran khusus pada pengembangan energi terbarukan dapat mempercepat pencapaian target bauran energi nasional.

5. Peningkatan Kesadaran dan Partisipasi Masyarakat Partisipasi aktif masyarakat diperlukan untuk mendukung transisi energi. Program pendidikan mengenai efisiensi energi dan penggunaan energi ramah lingkungan dapat membantu mengurangi konsumsi bahan bakar fosil.

Contoh suksesnya adalah program Desa Energi Surya di Bali, dimana masyarakat lokal dilibatkan dalam pengelolaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya. Studi: Keberhasilan Brasil dalam Bioenergi

Brasil memberikan contoh yang menggembirakan dalam penggunaan bioenergi. Dengan menggunakan bioetanol dari tebu, Brazil telah mampu mengurangi ketergantungan impor minyak hingga 35% dan menciptakan ribuan lapangan kerja di pedesaan.

Indonesia, yang memiliki potensi minyak sawit dan biomassa yang melimpah, dapat menggunakan pendekatan serupa. Selain memperkuat kemandirian energi, inisiatif ini juga mendukung pembangunan berkelanjutan dan mitigasi perubahan iklim. Melalui strategi diversifikasi energi, penguatan infrastruktur terbarukan, reformasi kebijakan, dan partisipasi masyarakat, Indonesia dapat menjadi pionir dalam transisi energi di kawasan.

Pengalaman Brazil memberikan pelajaran penting tentang bagaimana menggunakan sumber daya lokal untuk mendukung kemandirian energi. Dengan penerapan kebijakan yang baik dan dukungan investasi yang memadai, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pemimpin dalam transisi energi global. (miq/miq)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *