Catatan: Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan dewan redaksi illinibasketballhistory.com.
Artikel ini berupaya memberikan gambaran akademis dan pandangan obyektif mengenai fenomena praktik dinasti politik dalam sistem pemerintahan mulai dari pusat hingga daerah serta pengaruhnya terhadap korupsi di Indonesia.
Pertama, menurut Mahkamah Konstitusi, dinasti politik diartikan sebagai kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terikat oleh ikatan kekeluargaan dalam sistem negara atau dalam lingkaran anggota keluarga.
Isu dinasti politik belakangan menjadi perbincangan publik menyusul terpilihnya putra Presiden Joko Widodo Gibran Rakabuming Raka sebagai calon presiden 2024 bersama Prabowo Subianto Djohadikusumo.
Ganjar dan Mahfud dari PDI Perjuangan dicalonkan sebagai calon presiden dan wakil presiden Gibran, salah satu kader aktif PDI Perjuangan, memiliki banyak kelebihan dan kekurangan terkait penunjukan Gibran sebagai calon wakil presiden koalisi maju Indonesia.
Di sisi lain, dalam putusan MKMK terdengar Ketua MK Anwar Usman melakukan pelanggaran etik dengan memberhentikan kerabatnya sendiri sekaligus putra Presiden Jokowi, Jibran, yang belum mencapai batas usia minimal jabatan wakil rakyat. Kandidat presiden berusia 40 tahun ini berdampak tersingkirnya dirinya dari jabatan presiden. Usulan mengenai asal usul dinasti politik di Indonesia. Pertama, pembicaraan mengenai fenomena dinasti politik dalam sistem pemerintahan Indonesia bukanlah hal yang baru. Hal ini sudah berlangsung sejak zaman kerajaan-kerajaan berabad-abad yang lalu. Penemuan prasasti Yupa di Kerajaan Kutai Kalimantan Timur menunjukkan bahwa pewarisan tahta Nayaka diwariskan kepada putranya Mulavarman di bawah kepemimpinan Ashwavarman untuk memimpin pemerintahan saat itu.
Praktik dinasti politik ini terus berlanjut pada masa kolonial, kemerdekaan, dan reformasi. Masa-masa dinasti politik semakin subur mulai dari tingkat pusat hingga daerah, hingga isu otonomi daerah memungkinkan praktik dinasti politik berkembang hingga saat ini.
Praktik dinasti politik menimbulkan risiko korupsi dan nepotisme, penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, serta penguasaan sumber daya publik untuk kepentingan swasta.
Namun praktik dinasti politik juga memberikan dampak positif seperti terjaminnya kesinambungan kepemimpinan dengan kebijakan yang telah diterapkan sebelumnya dan dinasti politik dalam kemiskinan di Indonesia. Kajian Sujarvoto dari Universitas Bravijaya pada tahun 2015 menunjukkan bahwa praktik dinasti politik berdampak negatif terhadap upaya pengentasan kemiskinan di daerah pada masa desentralisasi.
Penelitian Survei Sosial Ekonomi Indonesia (Susenus) tahun 2013, penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan dinasti politik signifikan terhadap peningkatan kemiskinan di kabupaten/kota di Indonesia. Oleh karena itu, meskipun memiliki beberapa kelebihan, praktik dinasti politik secara umum berdampak negatif terhadap pembangunan kesejahteraan manusia sehingga memperlambat proses pembangunan untuk mencapai kemajuan di Indonesia.
Oleh karena itu, dalam mengambil keputusan publik, masyarakat harus bijak dalam memilih calon pemimpin yang berkualitas untuk merawat kepemimpinan masa depan masyarakat yang mempunyai ambisi besar untuk membangun Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar dan maju di dunia.
Selain itu, semakin sulit menggunakan dinasti politik dalam upaya pengentasan kemiskinan. Praktik dinasti politik yang sudah mengakar dan saat ini pengaruh kekuasaan, praktik tersebut memberikan harapan sulit bagi generasi muda untuk terus melanjutkannya.
Pemerintah harus menganggap serius upaya pengentasan kemiskinan dengan memberikan upaya tata kelola publik untuk mengevaluasi proses pembangunan dengan menunjukkan bahwa para pemimpin dan dinasti politik mempunyai kepentingan yang tinggi terhadap peningkatan kesejahteraan dan pembangunan Indonesia di masa depan dan maraknya penyalahgunaan kekuasaan. kekuatan untuk memantau. terhubung. Akibat dikeluarkannya sistem ketatanegaraan desentralisasi dan dicabutnya Pasal 7 huruf b UU No.
Studi Bardan dan Mokerjee (2005) di India mengenai desentralisasi dan program kemiskinan berdampak pada penyalahgunaan kekuasaan oleh elit sehingga berdampak pada peningkatan praktik korupsi.
Terdapat beberapa penyebab, seperti: pengelolaan sumber daya pada kawasan yang menguntungkan kelompok elit, tidak efektif dan kebijakan yang tidak menyasar kelompok rentan di masyarakat, serta kelembagaan yang tidak sehat dan pembusukan di dalam lembaga itu sendiri (Sujarwoto, 2015).
Jadi jika kita melihat praktik dinasti politik di Indonesia tidak jauh berbeda sehingga sangat berbahaya bagi Indonesia yang menganut ideologi Panchasila sebagai ideologi negara yang melindungi keadilan sosial.
Jika melihat praktik dinasti politik sangat berbahaya bagi masa depan kepemimpinan di Indonesia. Penguasaan kepemimpinan pusat dan daerah oleh elite-elite tertentu akan membuka pintu bagi menurunnya kualitas demokrasi, kebijakan-kebijakan yang tidak populer dan tentu saja menghambat penerapan antikorupsi di suatu negara.
Praktik dinasti politik dapat menimbulkan krisis kepemimpinan dan keteladanan dalam pelaksanaan kekuasaan pemerintahan. Kesulitan bagi calon kepala daerah terpilih yang tidak berasal dari kalangan elit tertentu adalah kekuasaan yang bersifat otoriter dan penuh dengan kepentingan yang sangat berkuasa serta maraknya oligarki. Begitulah sejak reformasi tahun 1998 hingga saat ini, oligarki semakin subur dan kepemimpinan Indonesia di masa depan ditentukan oleh kualitas pemimpin saat ini dan kualitas rakyatnya. Kepemimpinan Indonesia hendaknya membuka ruang terbuka lebar bagi siapapun yang mempunyai kemampuan memimpin.
Kualitas pemimpin potensial ditentukan oleh kapasitas intelektual dan kerja kerasnya untuk membangun masyarakat, bukan oleh kekuatan elektoralnya, yang belum terbukti memimpin masyarakat hanya berdasarkan kekuatan elit politik. Pemimpin masa depan harus melihat permasalahan masyarakat saat ini dan memberikan solusi terbaik bagi pembangunan Indonesia. (miq/miq)