illini berita Kebijakan Perdagangan Jadi Instrumen Pelestarian Lingkungan

Catatan: Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan tim redaksi illinibasketballhistory.com

Bumi yang kita tinggali saat ini terasa semakin panas dan bencana alam semakin sering terjadi akibat gangguan alam. Situasi ini membuat semakin maraknya diskusi dan perdebatan di berbagai forum mengenai upaya menciptakan dampak lingkungan akibat perubahan iklim. Jika dipahami secara lebih luas, aktivitas perdagangan mempunyai dampak yang signifikan terhadap kondisi lingkungan global.

Perdagangan internasional, yang semakin bersifat lintas batas dan kompleks dengan dinamika yang beragam, mempunyai keterkaitan yang erat dengan permasalahan lingkungan hidup, karena setiap aktivitas perdagangan melibatkan produksi, transportasi dan konsumsi barang dan jasa yang berkaitan erat dengan dampak lingkungan. .

Seringkali kegiatan bisnis justru memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. Misalnya, peningkatan emisi gas rumah kaca berkaitan erat dengan aktivitas manufaktur dan pengangkutan barang-barang yang diperdagangkan.

Belum lagi operasi industri yang menghasilkan barang untuk perdagangan global juga menghasilkan lebih banyak limbah berbahaya. Kemudian terjadilah eksploitasi sumber daya alam akibat tingginya permintaan global.

Sehubungan dengan hal tersebut, banyak negara kini menyadari pentingnya menggunakan instrumen kebijakan perdagangan dan ekonomi untuk mencegah dampak serius kerusakan lingkungan akibat perubahan iklim. Uni Eropa adalah salah satu negara yang paling cepat menerapkan peraturan perdagangan untuk melindungi lingkungan.

Uni Eropa telah lama menjadi pionir dalam kebijakan lingkungan yang ketat dengan menerapkan standar kualitas dan keamanan yang tinggi, serta kewajiban pelabelan lingkungan pada produk yang dijual di wilayah tersebut.

UE mempunyai kebijakan pajak karbon untuk mendorong perusahaan mengurangi emisi karbon, serta Mekanisme Penyesuaian Perbatasan Karbon (CBAM) yang bertujuan mencegah perusahaan memindahkan produksi ke negara-negara dengan peraturan lingkungan yang relatif longgar.

Uni Eropa juga menerapkan kebijakan Peraturan Deforestasi Uni Eropa (EUDR), yang mencegah produk-produk terkait deforestasi memasuki pasar Eropa. Minyak kelapa sawit, kedelai, daging, coklat, karet, kayu dan kopi merupakan produk pertanian utama EUDR.

Banyak negara yang dekat dengan Indonesia sudah mulai mengintegrasikan kebijakan perdagangan dan iklimnya, seperti Australia, melalui ketentuan lingkungan hidup, standar lingkungan hidup yang ketat, investasi energi bersih dan pengelolaan alam berkelanjutan dalam perjanjian perdagangan bebas dengan mitra dagangnya. sumber daya.

Thailand juga memiliki strategi nasional untuk mendorong pertumbuhan ramah lingkungan yang berkelanjutan melalui program Bio-Circular-Green (BCG). Negara ini memiliki mekanisme pasar dan insentif keuangan untuk mendorong investasi ramah lingkungan dan konsumsi produk ramah lingkungan. Jumlah penurunan gas rumah kaca yaitu 29% pada tahun 2030 dengan usaha sendiri dan 45% dengan kerjasama internasional.

Saat ini, Indonesia sangat bergantung pada batu bara untuk menghasilkan listrik. Namun, terdapat target ambisius untuk meningkatkan porsi energi terbarukan dalam bauran energi menjadi 23% pada tahun 2025 dan 31% pada tahun 2050, yang menunjukkan komitmen untuk melakukan transisi ke sumber energi yang lebih bersih dan berkelanjutan, meskipun tidak ada transisi energi. . Hal yang mudah.

Sektor ekspor utama Indonesia juga memiliki emisi yang tinggi, artinya setiap penghasil ekspor Indonesia menghasilkan gas rumah kaca dalam jumlah besar, seperti batu bara, sektor besi dan baja, serta produk kimia. Sebagian besar emisi berasal dari Co2, terutama dari sektor energi, seperti pembakaran batu bara.

Emisi yang tinggi dapat menghambat daya saing ekspor Indonesia karena jika peraturan lingkungan hidup di negara tujuan ekspor ketat, maka produk Indonesia yang memiliki intensitas emisi tinggi akan lebih sulit bersaing. Namun, masih ada peluang bagi Indonesia untuk mengembangkan produk dengan intensitas emisi rendah, seperti minyak nabati dan sektor pakaian jadi.

Perdagangan Indonesia kini mulai menghadapi tantangan di negara tujuan ekspor yang menerapkan kebijakan perdagangan lebih ketat seperti Uni Eropa dengan kebijakan EUDR-nya. Total ekspor Indonesia ke UE yang terkena dampak EUDR mencapai 2,9%, yang berarti perusahaan Indonesia akan mengalami potensi kerugian ekonomi jika tidak dapat memenuhi persyaratan EUDR.

Berdasarkan data Bank Dunia, nilai ekspor yang terkena dampak EUDR adalah sekitar 0,7% PDB Indonesia, yang menunjukkan bahwa kepatuhan terhadap EUDR mempunyai dampak ekonomi yang signifikan. Komoditas yang paling terkena dampak EUDR adalah kelapa sawit (63%), kayu (19%), karet (13%), kopi (3%) dan kakao (2%).

Dalam upaya mengembangkan kebijakan perdagangan yang dapat menjadi instrumen perlindungan lingkungan hidup, Indonesia melalui Kementerian Perdagangan sebagai fokal point berkolaborasi dengan Bank Dunia, Organisasi Perdagangan Dunia, dan World Economic Forum on Action on Climate and Trade (ACT ). Sebuah program inisiatif untuk menggunakan kebijakan perdagangan untuk mengatasi dampak perubahan iklim melalui mitigasi dan adaptasi serta mendukung pencapaian target NDC dan rencana adaptasi nasional.

Melalui kerja sama ini, diharapkan kebijakan perdagangan dapat diintegrasikan ke dalam strategi iklim yang mendukung perdagangan ramah lingkungan dan berkelanjutan. Kementerian Perdagangan tidak bisa melakukannya sendiri.

Oleh karena itu, program ACT juga mengikutsertakan Kementerian/Lembaga terkait untuk bersama-sama berkontribusi dalam implementasi perdagangan hijau yang diperlukan melalui kebijakan yang komprehensif dan saling mendukung. (miq/miq)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *