berita aktual KPPU & Penerapan Aturan Khusus Perjanjian Pembatasan Vertikal Otomotif

Catatan. Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan redaksi illinibasketballhistory.com

Secara struktural, pasar otomotif Indonesia merupakan pasar oligopolistik, dengan pabrikan (produsen) didominasi oleh perusahaan Jepang, disusul oleh China dan Eropa (Jerman).

Produk otomotif asal Jepang sebagian besar didistribusikan oleh ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek) yang mempunyai hubungan dengan pabrikan Jepang. Sementara itu, pabrikan Tiongkok (RRC) fokus pada mobil listrik, sedangkan pabrikan Eropa (Jerman) fokus pada kendaraan mewah dan CBU (completely built).

Pasar oligopolistik mengacu pada struktur pasar di mana “kekuatan pasar” hanya dipegang oleh beberapa pelaku usaha (biasanya empat hingga lima pelaku usaha). Yang dimaksud dengan “kekuatan pasar” adalah kemampuan langsung dan tidak langsung suatu perusahaan untuk menaikkan harga barang atau jasa di atas rata-rata harga pasar dan/atau membatasi persaingan efektif dalam faktor non-harga di pasar bersangkutan (OECD).

Dalam pasar oligopolistik, beberapa pelaku usaha independen dapat bertindak sebagai “entitas kolektif” untuk menjalankan beberapa kegiatan usaha pada waktu yang bersamaan, seperti menaikkan harga suatu produk di atas harga pasar rata-rata atau membatasi pasokan dan volume penjualan perusahaan. produk di pasar.

Kebijakan atau praktik perdagangan tersebut dapat terjadi antara lain karena adanya transparansi informasi antar perusahaan yang menjual produk sejenis. Di pasar oligopolistik, pelaku usaha juga menggunakan sejumlah praktik pendukung untuk meningkatkan intensitas dan kecepatan pertukaran informasi guna mempercepat transparansi informasi melalui asosiasi antar pelaku usaha atau standardisasi teknis produk.

Dalam praktik hukum persaingan usaha Uni Eropa (UE), oligopoli sangat erat kaitannya dengan, atau bahkan berkembang dari, “dominasi kolektif” di pasar bersangkutan. Mahkamah Agung Uni Eropa (ECJ) menekankan dalam kasus Perusahaan Maritime Belge Transports bahwa “dominasi pasar kolektif” berarti situasi ekonomi di mana beberapa pelaku usaha bertindak sebagai entitas kolektif di pasar tertentu. Berbeda dengan oligopoli, “transparansi informasi” dalam dominasi kolektif ini sangat minim.

Dalam pasar oligopolistik, pelaku usaha berusaha melakukan serangkaian perjanjian dengan pelaku usaha lain di pasar bersangkutan, yang salah satunya dilatarbelakangi oleh penerapan “prisoner’s dilema” atau yang sering disebut dengan “game theory”. Perjanjian tersebut dapat berupa “perjanjian horizontal” atau “perjanjian vertikal”.

Meskipun pengertian “perjanjian vertikal” tidak diatur secara tegas dalam UU Anti Monopoli No. 5 Tahun 1999, namun terdapat penafsiran yang sistematis terhadap UU dan Peraturan Anti Monopoli, khususnya Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Regulasi), dapat mengarah pada kesimpulan bahwa “perjanjian vertikal” mengacu pada perjanjian yang bertujuan untuk mendominasi pasar, mengintegrasikan rantai produksi dan memperkuat persaingan “intra-merek” dan “antar-merek” untuk produk tertentu oleh beberapa perusahaan independen pada tahapan yang berbeda. produksi/operasi. dan/atau distribusinya, namun saling eksklusif.

Pada saat yang sama, peraturan persaingan Uni Eropa tentang pengecualian perjanjian vertikal menekankan bahwa “perjanjian vertikal” adalah perjanjian atau kegiatan dalam koordinasi (concerted events) yang dilakukan antara dua atau lebih dari dua perusahaan, yang masing-masing […] beroperasi pada tingkat yang berbeda dalam rantai produksi atau distribusi.

Apabila perjanjian tersebut mengatur tentang syarat-syarat tertentu yang menjadi dasar dan bagaimana perusahaan-perusahaan yang bersangkutan dapat atau boleh membeli barang atau jasa, serta menjual atau menjual kembali barang atau jasa tersebut; […]”

Perjanjian dengan batasan vertikal dalam industri otomotif Tujuan atau akibat dari perjanjian vertikal dalam praktiknya dapat berupa “perjanjian tertutup” (perjanjian eksklusif). Dalam situasi seperti ini, pelaku di tingkat yang lebih tinggi menjadikan perjanjian sebagai sarana utama untuk melakukan kontrol yang efektif terhadap pelaku usaha lainnya.

Baik secara vertikal (pembatasan vertikal), baik melalui pengendalian faktor harga maupun faktor non harga, seperti larangan menjual produk serupa dari pemasok atau produsen berbeda, serta pembatasan wilayah distribusi (zonasi). Menurut panduan KPPU, strategi kontrak tertutup (kontrak eksklusif) umumnya lebih banyak diterapkan pada tingkat distribusi barang dan/atau jasa tertentu.

Persoalan persaingan usaha yang sering muncul dari perjanjian tertutup ini adalah pencegahan atau penghapusan persaingan baik intra merek maupun antar merek di pasar bersangkutan.

Misalnya, dalam persaingan “intra-merek”, produsen (producer) atau pemain tingkat lebih tinggi membatasi akses penjualan kepada distributor atau pengecer (retailer). Terlebih lagi, dalam persaingan “antar merek”, pemain atau produsen unggul dari jenis atau kategori produk tertentu menciptakan pembatasan yang tidak rasional terhadap persaingan efektif dengan produk serupa dari pesaing di pasar yang sama.

Dalam praktiknya, hubungan “kontraktual asimetris” ini dapat dieksploitasi secara negatif oleh para pemain hulu melalui perjanjian vertikal tertutup (perjanjian eksklusif) untuk menghambat atau menghapuskan persaingan efektif untuk produk atau pasar tertentu.

Akibatnya, perusahaan-perusahaan yang tidak termasuk dalam jaringan distribusi berdasarkan perjanjian eksklusif mengalami kesulitan yang cukup besar dalam mengakses pasokan dan pasar, baik di hulu (upstream) maupun di hilir (downstream).

Dalam keadaan seperti ini, pelaku usaha yang kedudukannya lebih tinggi dapat menetapkan harga produk yang lebih tinggi dari harga kompetitif di pasar (competitive price) guna memaksimalkan keuntungan secara tidak sah. Di sisi lain, pelaku hilir seperti distributor atau reseller mengalami pembatasan yang signifikan atau hilangnya kebebasan untuk mengambil keputusan bisnis yang tepat di pasar terkait.

Melalui situasi kontraktual ini, pelaku dengan level yang lebih tinggi mendapatkan keuntungan khusus untuk mencapai posisi dominan di pasar bersangkutan, yang tentunya dapat digunakan untuk menyalahgunakan posisi dominan tersebut, seperti antara lain menetapkan kondisi perdagangan dengan tujuan untuk mencegah atau mengurangi kerugian. kebebasan konsumen atau pembeli suatu produk untuk memperoleh barang dan/atau jasa yang saling bersaing baik dari segi harga maupun kualitas produk (pasar penjualan) atau bahkan dalam hal pelayanan purna jual (pasar purna jual), yang melanggar Pasal 25(1) UU Anti Monopoli No.5/1999.

Pedoman dalam Pasal 25 UU No. 5/1999 menjelaskan bahwa “kedudukan dominan dalam pasar bersangkutan” dapat mendorong pelaku usaha untuk melakukan tindakan persaingan tidak sehat, artinya menolak atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan tindakan serupa. kegiatan usaha pada pasar bersangkutan dilarang berdasarkan Pasal 19 Undang-undang Anti Monopoli No.5/1999.

Namun, dalam praktik hukum persaingan usaha Uni Eropa, perjanjian vertikal yang mengandung pembatasan vertikal dapat berdampak netral atau positif terhadap persaingan efektif di pasar bersangkutan. Dalam konteks hukum persaingan usaha UE, perjanjian vertikal berperan sebagai sarana untuk mencapai keuntungan berdasarkan prinsip saling timbal balik.

Asalkan para pelaku usaha yang terlibat dalam perjanjian vertikal tidak mempunyai “kekuatan pasar” yang signifikan (misalnya, pangsa pasar mereka masing-masing tidak melebihi 25 persen), kegiatan mereka masing-masing akan mendorong efisiensi dan keuntungan yang lebih besar di pasar terkait.

Misalnya saja klausul penetapan atau rekomendasi harga jual kembali suatu produk atau harga jual tertinggi (Resale Price Maintenance) yang dilakukan produsen kepada penyalur atau distributor dapat memberikan dampak positif terhadap persaingan, yaitu terjaminnya keaslian produk yang dijual kepada konsumen. . dan menjaga stabilitas persaingan intra-merek antar dealer atau distributor.

Hal ini berbeda ketika pelaku komersial seperti produsen atau ATPM memberlakukan persyaratan merek tunggal pada distributor atau dealer produk di pasar terkait. Misalnya, dalam industri otomotif, operator tingkat bawah diharuskan atau didorong untuk membeli produk hanya dari satu pemasok atau merek tertentu berdasarkan kontrak dengan ketentuan ini.

Yang dimaksud dengan wajib adalah pembeli langsung seperti reseller tidak diperbolehkan menjual atau menjual kembali produk sejenis milik kompetitor di pasar bersangkutan. Dalam penilaian undang-undang persaingan usaha UE, perjanjian “merek tunggal” seperti itu dapat menimbulkan dampak negatif, termasuk namun tidak terbatas pada: kerugian atau minimnya persaingan antar merek di pasar, mendorong kolusi antar pemasok (produsen) yang beroperasi. perjanjian pembatasan serupa serta penyitaan, akses dan ruang bagi pesaing di pasar terkait, khususnya pendatang baru (“pendatang baru di blok tersebut”) di pasar terkait.

Aturan khusus dan aturan struktural industri otomotif Dalam praktik hukum persaingan di Uni Eropa (Pasal 101-107 Traktat Fungsi Uni Eropa) dan Amerika Serikat (US Sherman Act), asas hukum persaingan harus diterapkan dalam hukum persaingan usaha. proporsionalitas untuk menyeimbangkan kepentingan komersial seluruh pelaku usaha termasuk konsumen, dan asas ketelitian untuk menghindari kesalahan fatal Komisi Persaingan, yaitu kesalahan tipe 1 (negatif palsu) dan kesalahan tipe 2. (hasil positif palsu).

Oleh karena itu, dalam satu dekade terakhir, KPPU Uni Eropa (Ditjen IV Persaingan) menerapkan pendekatan yang disebut rule of Structured Reason ketika menilai suatu perjanjian vertikal yang mengandung batasan vertikal terhadap pasar bersangkutan.

Misalnya saja pada industri otomotif, KPPU Uni Eropa melakukan penilaian kasuistik apakah suatu perjanjian vertikal yang memuat pembatasan persaingan terhadap pelaku usaha subordinat (misalnya dealer) memenuhi beberapa persyaratan yang harus dipenuhi secara kumulatif sebagai berikut:

Pertama, apakah perjanjian tersebut meningkatkan produksi atau distribusi barang atau mendorong kemajuan atau efisiensi teknologi? Efisiensi dalam konteks ini tidak hanya mencakup efisiensi biaya tetapi juga bentuk efisiensi kualitatif lainnya, seperti penelitian yang lebih luas dan pengembangan produk dengan kualitas lebih baik.

Kedua, apakah larangan atau pembatasan yang tercantum dalam perjanjian vertikal mutlak diperlukan untuk mencapai tujuan utama kerjasama bisnis antar pelaku vertikal?

Misalnya karena perlindungan paten atau hak kekayaan intelektual, dilarang menjual produk serupa milik kompetitor atau merek lain, apakah harus dengan perjanjian “merek tunggal”?

Ketiga, apakah konsumen menerima bagian keuntungan yang proporsional berdasarkan perjanjian vertikal dengan pembatasan ini?

Klarifikasi Kewenangan KPPU di Industri Otomotif Dengan pendekatan ini, untuk melakukan pemeriksaan atau evaluasi dalam hal perjanjian vertikal, tentunya KPPU harus diberikan dan ditingkatkan kewenangannya dalam penegakan UU No.5/1999, tidak hanya sebagai lembaga penegak hukum (ex post) namun juga sebagai lembaga preventif (Ex ante).

Dalam pembentukan undang-undang persaingan usaha di Jerman dan Uni Eropa yang terinspirasi dari undang-undang anti monopoli di Indonesia, KPPU (Bundeskartellamt) Jerman dan Direktorat Jenderal Persaingan Usaha diberikan kewenangan maksimal untuk melakukan pengawasan dan konsultasi dengan pengusaha sebelum pengusaha atau pengusaha. kelompok yang telah mengadakan perjanjian (vertikal dan horizontal) dan ingin melakukan kegiatan usaha atau transaksi usaha tertentu seperti merger, akuisisi, dan konsolidasi.

Lembaga ini memberikan keuntungan kepada KPPU dan pelaku usaha untuk mencegah terjadinya pelanggaran persaingan usaha secara apriori sehingga dapat menghindari risiko kerugian lebih lanjut. Kelemahan dari pendekatan ex ante adalah KPPU tidak dapat menilai secara akurat dampak riil transaksi antar mitra usaha di pasar, melainkan hanya berupa estimasi atau perkiraan.

Oleh karena itu, KPPU perlu didorong untuk menggunakan hak prerogatifnya, misalnya melakukan pemeriksaan pendahuluan terhadap klaster industri atau dunia usaha tertentu yang dianggap rentan terhadap kolusi dan penyalahgunaan posisi dominan, seperti industri otomotif.

Sikap tersebut harus segera diterapkan oleh Pemerintah Indonesia khususnya KPPU untuk menjaga citra dan stabilitas industri otomotif sebagai sektor perekonomian yang vital bagi para pelaku industri otomotif, konsumen dan pihak terkait melalui persaingan usaha yang efektif. seperti pekerja (karyawan dan pekerja) serta pemerintah itu sendiri. (miq/miq)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *