Komentar: Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan staf redaksi illinibasketballhistory.com
Pada tanggal 4 Desember 2024, SKK Migas mengundang saya untuk menjadi narasumber pada Rapat Kerja Pertanahan dan Perizinan Guna Mendukung Kelancaran Operasi Hulu Migas yang diselenggarakan di Bandung, Jawa Barat. Sekitar 250 peserta menghadiri acara tersebut.
Pejabat eselon I dari kementerian antara lain: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Pertanian dan Tata Ruang. Kementerian Kehutanan juga turut hadir, namun tidak menjadi pembicara pada kuliah pertama tersebut.
Padahal, perdebatan perizinan dan pertanahan merupakan permasalahan klasik yang sudah berlangsung bertahun-tahun dan mungkin cukup membosankan untuk diperdebatkan setiap tahunnya selama lebih dari dua puluh tahun, tepatnya sejak reformasi.
Permasalahannya sama dan mengejutkan bahwa solusi yang dilakukan Pemerintah masih sama. Intinya, pemerintah tidak mampu mengkonsolidasi penyelesaian masalah ke dalam suatu sistem terpadu dalam bentuk perintah eksekutif yang bersifat final dan mengikat untuk memecahkan jalan buntu permasalahan melalui birokrasi pemerintahan.
Sebelum kita mengkritik terlalu jauh kegagalan Pemerintah dalam menyelesaikan persoalan perizinan dan pertanahan, sebaiknya kita nyatakan faktanya terlebih dahulu agar seluruh elemen pemerintah yang belum terbangun hati nuraninya segera bangkit. membaca fakta yang ada.
Pertama, produksi migas Indonesia yang terus menerus sejak tahun 1997 hingga saat ini, walaupun sedikit meningkat ketika blok Cepu di Bojonegoro mulai berproduksi, namun akhirnya terus menurun sehingga belum bisa dipastikan kapan akan mengalami peningkatan.
Sementara itu, Mackenzie baru-baru ini menerbitkan penelitian bahwa pada tahun 2050, kebutuhan energi Indonesia akan sangat bergantung pada energi fosil (minyak, gas, dan batu bara) rata-rata sebesar 70%. Pengurangan ini jelas berdampak negatif pada struktur keuangan negara, seiring dengan pertumbuhan impor dan subsidi bahan bakar (dan sumber energi lainnya) setiap tahunnya.
Kedua, masih terdapat potensi cadangan migas di Indonesia, dimana dari 128 cekungan di negeri ini yang baru terjamah kegiatan penelitian dan/atau eksplorasi, baru sekitar separuhnya, sedangkan separuhnya lagi masih menunggu ‘minat’ dari pihak-pihak yang berkepentingan. dengan kemampuan investasi di sektor migas yang mempunyai risiko tinggi.
Sayangnya, meski Pemerintah sadar sangat membutuhkan investasi, namun pendorong menarik investasi berupa kelonggaran pembelian lahan dan izin usaha dari tahun ke tahun dalam 20 tahun terakhir masih ibarat angin surgawi yang berhembus tanpa henti. ukuran. yakin. arah karena kehadiran pemerintah dan kualitas birokrasi yang jelas masih jauh dari harapan.
Hingga laporan IHS Markit (S&P) pada Desember 2023 menempatkan posisi Indonesia sebagai negara dengan sistem kepastian hukum dan kontrak berada di peringkat kedua terbawah (urutan 13 dari 14 negara yang disurvei).
Permasalahan ketidakpastian hukum ini seringkali bermanifestasi dalam ketidakpastian pengadaan dan/atau perizinan lahan, misalnya tumpang tindih pengerjaan migas dengan HGU perkebunan, dengan kawasan hutan, dengan lahan pertanian lestari dan sebagainya.
Kita ingatkan kembali bahwa pada tahun 2012, tepatnya pada tanggal 10 Januari 2012, Presiden SBY menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2012 yang ditujukan kepada Menteri Perekonomian, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri. Dunia Usaha, Menteri Perhubungan, Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri BUMN, Kepala BPN, Kepala BP MIGAS, seluruh gubernur dan bupati/wali kota.
Arahan tersebut berisi perintah untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan secara terkoordinasi dan terpadu sesuai dengan tugas, fungsi, dan wewenangnya untuk mencapai produksi minyak nasional rata-rata minimal 1,01 juta barel per hari pada tahun 2014 serta melaksanakan koordinasi dan percepatan. penyelesaian permasalahan yang menghambat upaya peningkatan, optimalisasi, dan percepatan produksi minyak nasional, serta menunjuk Menteri Koordinator Perekonomian untuk mengoordinasikan pelaksanaan Instruksi Presiden ini. Namun secara realistis pada tahun 2014 target produksi minimum tidak tercapai.
Di era Presiden Jokowi ketika UU Cipta Kerja (yang diharapkan investor dapat mengurangi kerumitan perizinan) disahkan, dalam webinar bersama IPA (Indonesian Petroleum Association) pada 1 September 2021, Presiden Jokowi mengatakan: “Pemerintah tetap optimis untuk meningkatkan produksi migas melalui kegiatan eksplorasi dan produksi yang lebih masif dan agresif, dengan target produksi 1 juta barel minyak per hari dan 12 ribu MMSCFD gas per hari pada tahun 2030.”
Namun, dengan enam tahun lagi tahun 2030, target 1 juta barel tampaknya sedikit melenceng, mengingat produksi saat ini hanya sekitar 600.000 barel per hari.
Inpres Presiden SBY dan UU Ciptaker warisan Presiden Jokowi tidak mengubah landasan pengelolaan perizinan di Indonesia karena tidak pernah menetapkan dan menegaskan kembali semaksimal mungkin bahwa kegiatan usaha hulu migas (khususnya) merupakan kegiatan “Vital Strategic Government” yang perizinan dan akuisisinya pertanahan diatur secara khusus (lex specialis), padahal Pemerintah sebenarnya sudah mengetahui bahwa kebutuhan akan tanah tersebut layak untuk menjadi tuan rumah Indonesia emas dan kecukupan energi.
Segala perizinan dan pembebasan lahan kegiatan hulu migas kepada pemerintahan Presiden Prabowo saat ini masih diproses sesuai dengan kewenangan dan prosedur yang dimiliki dan dibuat oleh birokrasi kementerian dan lembaga tersendiri, sehingga SKK Migas dan KKKS yang berpengalaman. Kendala perizinan harus “diatasi” satu per satu oleh pejabat instansi pemerintah terkait untuk mencari pemahaman, mencari pemahaman, mengupayakan kebijakan yang tentu saja sangat tidak efektif dan efisien jika kita mengukurnya dengan analisis hukum ekonomi (menggunakan metode ekonometrik).
Pada rapat kerja tanggal 4 Desember 2024 ini saya melontarkan pertanyaan retoris pada rencana tersebut, apakah benar untuk menjalankan kegiatan pemerintahan (karena kegiatan migas adalah kegiatan pemerintah) juga harus meminta izin kepada pemerintah? Apakah kekuasaannya begitu besar sehingga prosedurnya harus seperti ini? Jawabannya tentu saja tidak.
Menurut konstitusi, hanya ada satu pemerintahan yaitu presiden, sehingga sangat mungkin dan bahkan sangat diinginkan presiden untuk mengeluarkan Perpres yang akan menyatukan tata cara penerbitan izin dan pembebasan lahan untuk kegiatan usaha di bidang hulu minyak. dan usaha gas berdasarkan undang-undang khusus. lembaga. diberikan oleh presiden apabila presiden menginginkan swasembada energi.
Izin/Persetujuan (Saya pribadi lebih suka menyebutnya “Keputusan Persetujuan”) untuk melaksanakan pengadaan tanah dan izin usaha hulu migas dengan cara yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kepentingan sektor lain adalah sejujurnya lebih banyak. diperlukan bagi pemerintah sendiri dan juga bagi investor.
Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah mengurusi pengadaan tanah dan perizinan daripada membiarkan investor menghadapi berbagai ketidakpastian dan kendala ego sektoral, sehingga investor dapat lebih fokus dalam menyediakan dana, teknologi, pengelolaan dan sumber daya yang belum dimiliki pemerintah. sudah bisa. menawarkan.
Sebagai langkah awal, menurut saya, Perpres tentang Tata Cara Persetujuan dan Panitia Kegiatan Migas sudah cukup untuk mengatasi rumitnya perizinan dan pengadaan tanah yang mereka hadapi. Selain itu, mereka memperjuangkan agar materi dan isinya bisa dimasukkan ke dalam revisi UU Migas yang sempat mangkrak selama dua belas tahun agar lebih tuntas (baca pukulan). (miq/miq)