Pasar masih dibayangi ketidakpastian perekonomian akibat eskalasi konflik di Timur Tengah. Karena meningkatnya konflik, harga minyak mentah meningkat dengan cepat sehingga meningkatkan risiko inflasi. Sementara itu, pasar menunggu data ketenagakerjaan AS – upah pertanian dan pengangguran
Jakarta, ILLINI NEWS – Pasar keuangan Indonesia menghadapi minggu terburuk dalam beberapa bulan. Indeks Saham Gabungan (IHSG) mendekati kinerja mingguan terburuknya sejak Juni 2024, sementara rupee melemah tajam sejak April 2024.
Pasar saham dan rupee dirundung berbagai sentimen negatif yang datang dari luar negeri. Yang terpenting, perang rudal antara Iran dan Israel meningkatkan risiko ketidakpastian di pasar.
Indeks Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah pada akhir perdagangan Kamis (3/10/2024), terbebani oleh sentimen global yang secara umum memburuk.
Hingga akhir perdagangan, IHSG melemah 0,26% menjadi 7.543,83. IHSG masih bertahan di level psikologis 7500. Pada perdagangan pekan ini, acuan utama tersebut turun 1,99%.
Nilai transaksi indeks mencapai sekitar 12 triliun rupiah, melibatkan 21 miliar saham yang berpindah tangan sebanyak 1,3 juta kali. Sebanyak 284 saham menguat, 296 saham dihapusbukukan, dan 216 saham stagnan.
Dari sisi sektor, sektor teknologi mengalami koreksi paling parah dan menjadi pemberat IHSG terbesar yakni mencapai 1,11%.
Di sisi lain, rupee kembali melemah terhadap dolar AS, menandai pelemahan mata uang Garuda selama empat hari berturut-turut.
Rupee ditutup pada Rp 15.415 per dolar AS pada Kamis (10/3/2024), turun 1,02% dibandingkan hari sebelumnya, menurut Refinitiv. Pelemahan ini menempatkan rupee pada posisi terlemah sejak sebulan lalu, tepatnya 12 September 2024. Mata uang Garuda anjlok 1,95% pada perdagangan pekan ini.
Pergerakan IHSG dan rupiah melemah terutama disebabkan oleh kondisi Timur Tengah yang masih hangat dan menimbulkan ketidakpastian.
Awal bulan ini, Iran melancarkan serangan rudal besar-besaran terhadap Israel, yang segera ditanggapi dengan janji pembalasan dari Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Ketegangan tersebut menambah kekhawatiran pelaku pasar terhadap kenaikan harga minyak global yang dikhawatirkan akan meningkat tajam jika serangan terhadap ladang minyak Iran terus berlanjut.
Jika harga minyak menguat, inflasi bisa meningkat. Dampak akhirnya adalah kebijakan moneter, yang mulai dilonggarkan, mungkin akan kembali diperketat. Periode suku bunga tinggi mungkin akan bertahan lebih lama. Hal inilah yang tidak diinginkan investor, tercermin dari anjloknya nilai di pasar keuangan.
Selain itu, pasar juga menantikan data Non-Farm Payroll (NFP) besok. Konsensusnya adalah 142.000, yang mengindikasikan potensi perlambatan di sektor ketenagakerjaan.
Sebelumnya, Ketua Bank Sentral Amerika Serikat (Federal Reserve System/Fed), Jerome Powell, mengatakan penurunan suku bunga akan terus berlanjut hingga akhir tahun. Namun, pengurangan tersebut akan dilakukan secara bertahap dan tidak akan mencapai 50 basis poin (b/s) masing-masing pada bulan November dan Desember.
Powell menjelaskan bahwa jika perekonomian berkinerja seperti yang diharapkan, kemungkinan akan ada dua kali penurunan suku bunga sebesar 50 basis poin pada tahun ini. Artinya, suku bunga kemungkinan akan diturunkan sebesar 25 basis poin masing-masing pada bulan November dan Desember.
Pernyataan Powell mengecewakan pelaku pasar yang berharap The Fed akan tetap agresif pada pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) mendatang, dengan memangkas suku bunga sebesar 50 bps.