JAKARTA, ILLINI NEWS – Nilai tukar rupiah tampak melemah terhadap dolar AS pada awal perdagangan hari ini (19/12/2024).
Dilansir dari Refinitiv, rupiah terdepresiasi lebih dari 1% terhadap dolar AS dari Rp 16.085/USD menjadi Rp 16.265/USD pada 18 Desember 2024, kurang dari 50 menit setelah perdagangan dimulai.
Sementara itu, Indeks Dolar AS (DXY) menguat 1% pada akhir perdagangan kemarin (18/12/2024) dan berada di 108,03, level tertinggi sejak November 2022.
Faktor pelemahan rupee sebagian besar didominasi oleh kondisi eksternal, terutama yang berasal dari Amerika. Berikut beberapa faktor yang melatarbelakangi pelemahan rupee belakangan ini.
1. Ekspektasi penurunan federal fund rate (FFR) pada tahun 2025
Hingga Kamis pagi waktu Indonesia, The Fed mengindikasikan kemungkinan akan melakukan pemangkasan dua kali lagi pada tahun 2025. Ekspektasi tersebut tercermin pada grafik terbaru bulan Desember. Dot plot adalah matriks ekspektasi dan pandangan terhadap suku bunga di masa depan dari masing-masing anggota Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC).
Grafik titik terbaru ini lebih pesimistis dibandingkan sebelumnya.
Mengacu pada dot chart terbaru, dua pemotongan yang diharapkan pada tahun 2025 hanya setengah dari target komite ketika grafik terakhir diperbarui pada bulan September, dengan perkiraan penurunan sebesar 100 bps pada tahun 2025.
“Dengan tindakan hari ini, kami telah menurunkan suku bunga sebesar satu poin persentase dari puncaknya, dan sikap kebijakan kami kini jauh lebih longgar. Oleh karena itu, kami mungkin lebih berhati-hati ketika mempertimbangkan penyesuaian lebih lanjut terhadap suku bunga kebijakan.” Ketua Fed Jerome Powell mengatakan dalam konferensi pers usai pertemuan.
Selain itu, pejabat Fed telah menyarankan dua pemotongan lagi pada tahun 2026 dan satu lagi pada tahun 2027. Dalam jangka panjang, komite melihat suku bunga “netral” sebesar 3%, 0,1 poin persentase lebih tinggi dibandingkan dengan pembaruan bulan September, karena suku bunga meningkat secara bertahap. tahun ini (3% vs. 2,9%).
Maybank juga sependapat dengan Ekonom Pasar Global Indonesia Merdal Gunarto yang mengatakan pelemahan rupiah disebabkan ekspektasi penurunan suku bunga.
“Jadi wajar kalau rupiah melemah karena ekspektasi penurunan suku bunga The Fed yang seharusnya turun 100 bps, malah turun menjadi 50 bps,” kata Myrdal kepada ILLINI NEWS.
Sedangkan bagi Myrdal, Kepala Treasury dan Lembaga Keuangan Bank Mega Ralf Birger Poitier menilai pelemahan rupee merupakan hal yang wajar karena The Fed tidak segan-segan memangkas suku bunga acuannya pada tahun depan.
Sementara itu, Fikri Permana, ekonom senior di KB Valbury Sekuritas, mengatakan ada kekhawatiran mengenai tarif Trump di masa depan.
“Kekhawatiran terhadap keretakan ekonomi dan keamanan dari tarif Trump akan menyebabkan cukup banyak pelarian modal dari investor global,” jelas Fikry.
“Sehingga akan terjadi aliran modal masuk ke Indonesia,” imbuh Fikry.
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) merilis data transaksi 9-12 Desember 2024 yang mencatat investor asing melakukan beli bersih Rp7,33 triliun, meliputi jual bersih di pasar saham Rp1,31 triliun, pembelian bersih Rp8,84 triliun. .
Namun jika ditelusuri lebih jauh, investor asing mencatatkan jual bersih asing sebesar Rp 47 triliun pada pekan kedua Oktober hingga pekan pertama Desember 2024.
2. Inflasi di AS mengalami pertumbuhan yang lebih tinggi
Indeks Harga Konsumen (CPI) dan Indeks Harga Produsen (PPI) AS masing-masing naik 2,7% tahun-ke-tahun dan 3% tahun-ke-tahun, untuk periode November.
Ahmad Mikail, Ekonom Sucor Securitas, mengatakan PPI AS yang lebih tinggi dari ekspektasi pasar memberikan tekanan pada rupee.
FYI, PPI diawasi secara ketat oleh para ekonom dan investor karena mengukur tingkat inflasi dari sudut pandang produsen dengan melacak perubahan harga barang yang dijual oleh produsen. Indeks ini dianggap sebagai indikator awal inflasi harga konsumen, yang menyumbang sebagian besar inflasi secara keseluruhan.
Peningkatan PPI menunjukkan bahwa produsen menghadapi biaya yang lebih tinggi, yang dapat dibebankan kepada konsumen dalam bentuk harga yang lebih tinggi. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan inflasi konsumen, yang seringkali dibarengi dengan kenaikan suku bunga. Kenaikan suku bunga secara umum akan memperkuat USD karena menarik investor asing yang mencari keuntungan lebih tinggi atas investasi mereka.
Kesimpulannya, data PPI terbaru dengan angka yang lebih tinggi dari perkiraan menunjukkan tren bullish untuk USD. Hal ini juga menyoroti kemungkinan kenaikan inflasi, yang dapat semakin memperkuat greenback dalam waktu dekat.
Ekonom Panin Securitas Felix Darmwan pun turut bereaksi dengan mengatakan rupiah kembali tertekan akibat lambatnya kemajuan penurunan inflasi.
Sekadar informasi, The Fed sudah lama menargetkan target inflasi AS sebesar 2%. Sementara kondisi saat ini justru menunjukkan inflasi semakin menjauh dari sasarannya.
3. Imbal hasil Treasury AS meningkat
Imbal hasil Treasury AS tenor dua, lima, dan 10 tahun naik tajam pada akhir perdagangan kemarin.
Misalnya, imbal hasil Treasury AS bertenor dua tahun naik dari 2,69% menjadi 4,355%. Jangka waktu lima tahun naik 3,18% menjadi 4,383%. Suku bunga 10 tahun naik 2,58% menjadi 4,498% pada 18 Desember 2024.
Ahmad juga mengemukakan, kenaikan imbal hasil Treasury AS belakangan ini memberikan tekanan pada rupee.
Riset ILLINI NEWS
[dilindungi email] (rev/rev)