JAKARTA, ILLINI NEWS – Indonesia kembali membuktikan diri sebagai negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia. Namun kali ini, fokusnya bukan pada minyak sawit mentah (CPO), melainkan pada limbahnya: cangkang sawit.
Sering dianggap remeh, limbah ini menyumbang angka ekspor yang signifikan senilai ratusan juta dolar AS pada tahun 2023. Pasar utamanya adalah Jepang, Thailand dan Portugal.
Cangkang inti sawit (PKS) merupakan sisa proses pengolahan minyak sawit yang bersifat keras dan berenergi tinggi. Berkat kandungan kalorinya yang tinggi, cangkang sawit kini digunakan sebagai bahan bakar alternatif pada pembangkit listrik tenaga bio. Faktanya, banyak negara Eropa seperti Portugal mulai melirik bahan bakar ini untuk mendukung transisi energi ramah lingkungan.
Dalam beberapa tahun terakhir, permintaan global terhadap inti sawit telah meningkat, terutama dari negara-negara yang mendukung penggunaan energi terbarukan. Misalnya, Jepang akan mengimpor 4,66 miliar kg inti sawit senilai US$550 juta pada tahun 2023.
Pembangkit listrik tenaga bio di Jepang membutuhkan cangkang sawit. Energi bersih merupakan prioritas pemerintah Jepang, dan Indonesia memenuhi kriteria tersebut.
Thailand dan Korea Selatan juga merupakan pasar utama, mencatat impor masing-masing sebesar US$25,5 juta dan US$20,7 juta. Kedua negara ini menggunakan minyak sawit sebagai bahan bakar industri, sementara Singapura dan Portugal berada di urutan berikutnya dengan nilai impor yang lebih kecil.
Kulit sawit memberikan harapan baru bagi petani lokal. Sampah yang tadinya dibiarkan membusuk kini bisa menjadi sumber penghasilan tambahan. Harga pelepah sawit sendiri di pasar internasional rata-rata mencapai US$ 0,12 per kg, memberikan peluang pendapatan yang cukup besar bagi petani dan pelaku industri.
Di sisi lain, muncul kekhawatiran mengenai dampak lingkungan dan keberlanjutan. Cangkang sawit sebenarnya berperan penting sebagai bahan organik yang mampu mengembalikan kesuburan tanah. Eksploitasi secara besar-besaran tanpa pengelolaan yang berkelanjutan berisiko menghabiskan unsur hara tanah di area perkebunan kelapa sawit. Selain itu, ketergantungan pada pasar ekspor, khususnya Jepang, menimbulkan pertanyaan mengenai ketahanan pasar ini di masa depan. Jika Jepang mengubah kebijakan energinya, Indonesia akan menghadapi tantangan baru.
Sebagai negara eksportir minyak sawit terbesar di dunia, Indonesia perlu menyusun strategi untuk meningkatkan potensi komoditas tersebut. Salah satu langkahnya adalah dengan memperkuat teknologi pengolahan untuk meningkatkan kualitas pelepah sawit agar lebih kompetitif di pasar global. Selain itu, kebijakan ekspor yang berkelanjutan sangat penting untuk memastikan bahwa manfaat ekonomi ini tidak mengorbankan lingkungan.
Data BPS juga menunjukkan bahwa kontribusi industri kelapa sawit terhadap ekspor kelapa sawit secara keseluruhan hanya sedikit, yaitu mencapai 46,82 juta ton produksi CPO pada tahun 2022. Riau merupakan provinsi penyumbang terbesar dengan produksi 8,74 juta ton atau sekitar 18,67 ton. Persentase Produk Nasional Bruto.
Di tengah dorongan global terhadap energi ramah lingkungan, cangkang sawit merupakan salah satu solusi yang dapat memberikan manfaat ekonomi yang sangat besar bagi Indonesia. Namun, seperti halnya semua sumber daya alam, pengelolaan yang bijaksana adalah kunci untuk memastikan bahwa generasi mendatang dapat menikmati potensi ini.
Riset ILLINI NEWS (emb/emb)