Jakarta, ILLINI NEWS – Rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025 semakin ditolak. Peningkatan ini akan membebani masyarakat dan dapat berdampak negatif terhadap kinerja
Kampanye menentang kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12% ramai di media sosial. Bahkan ada yang menyarankan untuk tidak berbelanja di supermarket atau minimarket karena bergantung pada uang.
Kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% pada tahun 2025 dapat menurunkan daya beli secara signifikan, menyebabkan kesenjangan sosial yang lebih dalam, dan target pertumbuhan ekonomi yang diharapkan hingga 8%.
Ketika beban PPN meningkat, masyarakat harus mengeluarkan lebih banyak pajak tanpa disertai peningkatan pendapatan. Konsumsi juga berisiko melambat, meski konsumsi rumah tangga menyumbang 53% terhadap produk domestik bruto (PDB) dan menjadi mesin utama pertumbuhan.
Konsumsi rumah tangga hanya tumbuh sebesar 4,91% (year-on-year) pada triwulan III tahun 2024. Artinya, konsumsi rumah tangga meningkat sebesar 5% dalam empat bulan terakhir. Faktanya, konsumsi rumah tangga telah meningkat lebih dari 5% di masa lalu.
Perlambatan mesin konsumsi dalam negeri menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat menjadi 4,95% (secara tahunan) pada triwulan ketiga tahun 2024, yang merupakan laju paling lambat dalam empat triwulan.
Segmen konsumen yang terkena dampak kenaikan PPN
Sektor konsumen merupakan salah satu sektor yang paling terkena dampak kenaikan PPN. Pasalnya, menaikkan PPN akan membuat barang menjadi lebih mahal sehingga penjualannya menurun. Ingat, PPN merupakan pajak yang dibebankan langsung oleh pelaku usaha kepada konsumen, sehingga bebannya ditanggung langsung oleh konsumen atau masyarakat.
Dalam jangka panjang, jika minat beli menurun, perusahaan bisa menderita dan akhirnya merumahkan pekerja, atau yang terburuk, pabrik bisa bangkrut.
Banyak distributor sektor konsumen yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) harus bersiap menghadapi kenaikan PPN.
Lalu bagaimana kinerja dan nilai distributor di sektor konsumen saat ini? Berikut data yang dilansir dari Riset ILLINI NEWS.
Ditemukan bahwa kinerja keuangan banyak distributor di sektor konsumen masih sangat baik.
Membaiknya kinerja keuangan banyak emiten sektor konsumer juga mencerminkan kinerja pergerakan harga saham. Selain itu, beberapa penerbit ditemukan masih memposting nilai yang rendah.
Price to Earnings Ratio (PER) sektor konsumer bisa murah jika di bawah PER 16, sehingga saham INDF, ICBP, dan JPFA masih murah secara sektoral. Meski demikian, saham GGRM masih memiliki nilai yang murah dengan PBV yang lebih rendah dibandingkan nilai buku (PBV).
Selain sektor konsumsi, ada juga sektor ritel yang biasanya berdampak langsung terhadap kenaikan PPN.
Sektor komersial yang terkena dampak kenaikan PPN
Perusahaan-perusahaan di sektor ritel sering kali terkena dampak kenaikan PPN karena sebagian masyarakat Indonesia memprioritaskan kebutuhan pokok atau primer dibandingkan kebutuhan sekunder.
Hal ini dapat berdampak pada penurunan daya beli terhadap kebutuhan sekunder seperti pakaian dan peralatan rumah tangga.
Beberapa distributor di sektor ritel berhasil membukukan pertumbuhan laba pada triwulan III 2024, meski terjadi penurunan daya beli. Sayangnya LPPF, RALS dan MAPI tidak mencatatkan pertumbuhan laba.
Sedangkan berdasarkan kinerja harga dan harga saham, rata-rata rasio harga terhadap pendapatan (PER) industri yang menjual adalah 18 PER, sehingga berdasarkan sektornya, hanya saham MAPA yang dapat dikatakan memiliki nilai di industri sebagaimana adanya. mahal. Namun dari segi nilai buku (PBV), saham LPPF memiliki nilai tertinggi dibandingkan kompetitornya.
Riset ILLINI NEWS
[dilindungi email] (dilihat/dilihat)