JAKARTA, ILLINI NEWS Indonesia – Tahun 2025 diperkirakan akan menjadi tahun yang sulit bagi pasar jagung Asia, khususnya di Indonesia, akibat ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan China.
Indonesia, salah satu negara dengan permintaan jagung pakan tertinggi, menghadapi ancaman fluktuasi harga yang dapat mengganggu rantai pasokan negara.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), impor jagung Indonesia mencapai 1,5 juta ton pada tahun 2024, meningkat dibandingkan tahun sebelumnya.
Pertumbuhan ini mencerminkan ketergantungan yang kuat terhadap pasar global. Jika ketegangan antara AS dan Tiongkok kembali meningkat, Indonesia harus segera meningkatkan fleksibilitas pasokan dalam negeri untuk memitigasi risiko kenaikan harga.
Pasar domestik Indonesia juga akan terpengaruh oleh meningkatnya permintaan pakan. Menurut perkiraan Departemen Pertanian Amerika Serikat, kebutuhan pakan ternak Indonesia akan mencapai 11,2 juta ton pada tahun 2025 karena peningkatan konsumsi daging unggas.
Namun, ketidakstabilan harga global dapat memperlambat pertumbuhan sektor ini jika pasokan jagung tidak diimbangi dengan strategi diversifikasi yang kuat.
Harga jagung naik?
Harga jagung naik 8% bulan lalu menjadi $4,58 per gantang.
Secara global, ketegangan perdagangan antara AS dan Tiongkok merupakan salah satu pendorong utama volatilitas pasar jagung. Negara-negara re-ekspor seperti Brazil dan Argentina telah meningkatkan pengiriman mereka ke Asia, namun persaingan dari Amerika Serikat tetap ketat.
Sebagai importir jagung terbesar di dunia, Tiongkok telah mengurangi ketergantungannya pada impor AS, meningkatkan produksi dalam negerinya menjadi 295 juta ton pada tahun 2024, meningkat enam juta ton dibandingkan tahun sebelumnya. Menurut S&P Global, impor akan berkurang sebesar 57,4% pada tahun 2024-2025, yang akan menandai perubahan besar dalam strategi diversifikasi Tiongkok.
Di satu sisi, hal ini memungkinkan negara-negara Asia, termasuk Indonesia, mendapat pasokan dari Brazil dan Argentina. Namun, Tiongkok telah menetapkan kuota impor terbatas sebesar 7,2 juta ton pada tahun 2025, yang dapat mempengaruhi pasokan jagung di pasar global dan memberikan tekanan pada negara pengimpor lainnya.
Selain itu, biofuel merupakan pendorong utama permintaan jagung di Asia. Misalnya, India telah menetapkan target pencampuran etanol sebesar 15% pada tahun 2024 dan 20% pada tahun 2025. Namun, tingginya permintaan akan bahan bakar nabati, pakan ternak, dan jagung bertepung menjadikan India sebagai pengimpor bersih. Sejak Februari hingga September 2024, impor jagung India mencapai 840.000 ton, jauh lebih tinggi dibandingkan ekspornya sebesar 284.000 ton pada periode yang sama.
Tantangan Asia Tenggara
Indonesia dan Vietnam diharapkan menjadi pemimpin utama pertumbuhan permintaan pakan ternak di Asia Tenggara. USDA memperkirakan permintaan pakan Vietnam akan mencapai 27 juta ton pada tahun 2025, terutama dari peternakan dan perikanan. Di sisi lain, menurunnya konsumsi protein hewani akibat penurunan populasi dan perlambatan ekonomi di Tiongkok dapat memberikan tambahan ruang ekspor bagi negara-negara ASEAN.
Namun dinamika regional tersebut menuntut Indonesia untuk lebih kompetitif dalam mengelola industri pakan ternaknya. Mengintegrasikan produksi peternakan dan meningkatkan efisiensi produksi mungkin merupakan solusi jangka panjang terhadap tantangan-tantangan di kawasan ini.
Untuk mengurangi risiko ketergantungan terhadap pasar global, Indonesia harus mempercepat penerapan teknologi pertanian, termasuk benih jagung transgenik yang banyak digunakan di Tiongkok. Selain itu, kunci untuk menjawab tantangan tahun 2025 adalah memperkuat infrastruktur logistik dan meningkatkan kapasitas produksi jagung dalam negeri.
Menurut BPS, produktivitas jagung nasional diperkirakan mencapai 5,3 ton per hektar pada tahun 2024, masih di bawah negara seperti Brazil yang diperkirakan mencapai 6,5 ton per hektar. Optimalisasi ini bisa menjadi peluang bagus untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri Indonesia sekaligus meningkatkan daya saing ekspor.
Survei ILLINI NEWS (emb/emb)