Jakarta, ILLINI NEWS – Hari ini, 6 Januari 2025, Indonesia menorehkan sejarah baru dengan diluncurkannya program Makanan Bergizi Gratis (MBG), salah satu pilar pemerintahan Prabowo Subianto-Jibran Rakabuming Raka.
Program ini dilaksanakan serentak di 190 lokasi di 26 provinsi dengan tujuan memberikan akses gizi yang lebih baik kepada 3 juta penerima manfaat pada Maret 2025. Namun, apa dampak program ini terhadap permasalahan gizi anak yang sudah berlangsung lama di Indonesia?
UNICEF dan Kementerian Kesehatan mencatat masalah gizi anak Indonesia masih tergolong serius.
Pada tahun 2023, kejadian stunting akan menjadi 21,5%, wasting – 8,5% dan obesitas – 4,2%. Trennya menunjukkan penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, angka tersebut masih jauh dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG), yakni menurunkan angka keterbelakangan hingga 14% pada tahun 2024.
Stunting atau keterbelakangan pertumbuhan merupakan salah satu ancaman terbesar. Dengan lebih dari 4,5 juta anak di bawah usia lima tahun terkena kondisi ini, kondisi ini tidak hanya terkait dengan pertumbuhan, namun juga dengan perkembangan kognitif anak, kesehatan, dan produktivitas masa depan.
Sementara itu, wasting dan obesitas semakin menunjukkan bahwa permasalahan gizi di Indonesia merupakan fenomena kompleks yang melibatkan kekurangan dan kelebihan gizi.
Kemiskinan dan kesenjangan sosial menjadi penyebab banyaknya kasus gizi buruk di Indonesia. Data UNICEF menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah dua kali lebih mungkin mengalami stunting dibandingkan anak-anak dari keluarga kaya. Buruknya infrastruktur, terutama di daerah terpencil, juga mempersulit akses terhadap pangan bergizi.
Krisis ini diperparah dengan rendahnya tingkat pendidikan gizi di masyarakat. Banyak keluarga yang tidak memahami pentingnya pola makan seimbang, sehingga menyebabkan konsumsi karbohidrat berlebihan dan kekurangan zat gizi mikro penting seperti zat besi, yodium, dan vitamin A.
Program MBG merupakan upaya besar pemerintah untuk mengatasi masalah ini. Dengan melibatkan 140 UMKM dalam rantai pasok, program ini tidak hanya memberikan manfaat langsung berupa pangan bergizi, namun juga menstimulasi perekonomian masyarakat setempat. Hassan Nasbi, kepala kantor pers kepresidenan, menekankan pentingnya program ini sebagai “titik balik bersejarah” dalam menjamin gizi nasional.
Namun keberhasilan program ini akan sangat bergantung pada implementasi yang konsisten, pemantauan yang ketat, dan peningkatan kapasitas dapur MBG. Setiap dapur harus memiliki ahli gizi untuk memastikan kualitas makanan, serta akuntan untuk memastikan transparansi anggaran.
Kehadiran MBG memberikan harapan baru bagi jutaan anak Indonesia, khususnya yang berasal dari keluarga miskin. Jika dilaksanakan dengan benar, program ini dapat memutus siklus gizi buruk antargenerasi, meningkatkan kualitas hidup dan mendukung cita-cita Indonesia Emas 2045.
Namun, pemerintah juga perlu memperkuat program pendidikan gizi untuk memastikan perubahan perilaku jangka panjang. Pendidikan tersebut harus dimulai sedini mungkin, baik melalui sekolah maupun komunitas lokal.
Meskipun ada optimisme yang besar, permasalahan masih tetap ada. Mulai dari menjamin keberlangsungan program dan diakhiri dengan memperluas lingkaran pengguna hingga ke daerah-daerah yang lebih terpencil. Pemerintah juga harus menjaga kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk pihak swasta dan organisasi internasional, untuk menjamin keberlanjutan program.
Program makan bergizi gratis merupakan langkah besar dalam mengatasi permasalahan gizi anak di Indonesia. MBG adalah awal dari solusi yang lebih besar.
Masalah makan merupakan masalah multidimensi yang memerlukan intervensi kompleks. Melalui kombinasi program nasional yang kuat, pendidikan gizi massal dan komitmen semua pihak, Indonesia dapat bergerak menuju masa depan di mana setiap anak tumbuh sehat dan produktif.
Pakar gizi sekaligus dosen Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (FK-KMK UGM), Toto Sudargo, menilai gizi buruk merupakan masalah besar yang dihadapi Indonesia. Malnutrisi dapat disebabkan oleh banyak faktor, mulai dari pola makan yang tidak seimbang, pola asuh orang tua, lingkungan, pengetahuan orang tua, dan kondisi ekonomi.
“Ada masalah besar karena pola makan anak Indonesia termasuk yang terburuk di dunia. Padahal ketersediaan pangan cukup tinggi, namun ada permasalahan mulai dari aspek pendidikan hingga perilaku orang tua,” kata Toto. ILLINI NEWS.
Riset ILLINI NEWS (emb/emb)