Investor harus mencermati rilis neraca pembayaran Indonesia minggu ini, karena berbagai sentimen utama diperkirakan akan mendorong pasar keuangan Indonesia minggu ini.
Jakarta, ILLINI NEWS – Pasar keuangan Indonesia mengalami tekanan pada pekan lalu. Nilai tukar bursa dan rupee sama-sama anjlok ke level terendah multi-bulan.
Selain ketidakpastian global yang semakin meningkat, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dinilai melambat membuat investor lebih memilih menjauh dari pasar keuangan Indonesia. Jadi, bisakah kita pulih minggu ini?
Untuk menjawabnya, kita perlu mencermati sentimen penggerak pasar saham dan rupee pada pekan ini. Tinjauan lengkap tentang emosi ini disajikan di halaman 3.
Indeks utama pasar saham Indonesia, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), anjlok ke level 7.100 pada perdagangan pekan lalu.
IHSG ditutup melemah 0,74% menjadi 7.161,25 pada Jumat (15 November 2024), berdasarkan data Refinitiv. Kinerja mingguan IHSG turun 1,53% dari minggu sebelumnya.
Sementara itu, rupee terpantau melemah terhadap dolar AS pada pekan ini. Senada dengan itu, mata uang Asia juga melemah terhadap dolar AS.
Rupee terdepresiasi sebesar 1,18% secara point-to-point (ptp) terhadap dolar AS, Refinitiv melaporkan minggu ini. Sementara pada perdagangan Jumat pekan lalu (15 November 2024), Rupiah berakhir stagnan di Rp15.850.
Pekan ini, rupee kembali menyentuh level psikologis Rp 15.800 terhadap dolar AS, level terburuk sejak awal Agustus.
Bukan hanya rupee, hanya sedikit mata uang Asia yang mampu menahan gempuran dolar AS pada pekan ini. Tidak termasuk keuntungan Korea, mata uang ini masih mampu bersaing dengan dolar AS, yang berarti naik 0,18%.
Bahkan di tengah pelemahan rupiah, mata uang negara tetangga Indonesia, ringgit Malaysia, anjlok 2%, terparah di Asia pada pekan ini.
Mata uang IHSG dan Garuda melemah setelah bank sentral AS mengindikasikan tidak terburu-buru menurunkan suku bunga acuannya. Akibatnya, pelaku pasar global khawatir bahwa jalan menuju penurunan suku bunga akan segera berakhir.
Ketua Federal Reserve Jerome Powell telah mengindikasikan bahwa bank sentral akan memperlambat suku bunganya. Situasi ini didasarkan pada pertumbuhan ekonomi yang kuat di Amerika Serikat. The Fed bahkan menyebut pertumbuhan ekonomi AS merupakan salah satu yang tertinggi di dunia.
“Perekonomian tidak mengirimkan sinyal bahwa kita harus terburu-buru menurunkan suku bunga,” kata Powell dalam sambutannya kepada para pemimpin bisnis di Dallas, ILLINI NEWS International melaporkan.
Laju pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal ketiga tahun 2024 adalah sebesar 2,8%, sedikit lebih rendah dari perkiraan namun masih lebih tinggi dibandingkan tren historis AS yang berkisar pada 1,8-2%. Perkiraan awal memperkirakan ekonomi AS akan tumbuh 2,4% pada kuartal keempat tahun 2024.
Powell juga menambahkan bahwa pasar tenaga kerja tetap kuat meskipun terdapat masalah ketenagakerjaan yang mengecewakan pada bulan Oktober, sebagian besar disebabkan oleh kerusakan akibat badai dan pemogokan buruh. Non-farm payrolls (NFP) hanya meningkat 12.000 orang pada Oktober 2024, yang merupakan level terendah sejak Desember 2020.
Kemajuan telah dicapai dalam hal inflasi, dengan pejabat Fed mengatakan mereka memperkirakan inflasi akan terus turun menuju target 2%. Namun data inflasi minggu ini menunjukkan bahwa harga konsumen dan produsen sedikit naik, jauh dari target The Fed.
Sebagai catatan, inflasi AS naik dari 2,4% (y/y) pada September 2024 menjadi 2,6% (y/y) pada Oktober. Tingkat pengangguran mencapai 4,1% pada September 2023. Pada tahun 2023, tingkat pengangguran mencapai 4,3%. Juli 2024, rekor tertinggi sejak Oktober 2021.
Sementara itu, di Jepang, rencana menaikkan pajak pertambahan nilai sebesar 12% pada tahun 2025 kini menarik perhatian.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, ada pembahasan panjang dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memberlakukan pajak pertambahan nilai sebesar 12% pada tahun 2025. Semua indikator menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
“Kita tidak buta, tapi APBN tetap harus tetap sehat,” kata Sri Mulyani saat rapat kerja dengan Komite XI DPR di Gedung DPR, Rabu (13 November 2024).
Penerapan tarif pajak baru diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Kenaikan tarif PPN akan dilakukan secara bertahap, yaitu dari 10% menjadi 11% pada tahun 2022 dan 12% pada tahun 2025.
Kenaikan PPN diperkirakan akan menurunkan daya beli masyarakat dan menambah beban perekonomian Indonesia. Dengan kenaikan PPN, masyarakat harus membayar lebih untuk suatu barang. Padahal, konsumsi Indonesia menempati 53-56% dari total konsumsi.