Jakarta, ILLINI NEWS – Sektor perbankan kembali menghadapi masalah likuiditas tahun ini. Pada awal tahun, pertumbuhan dana pihak ketiga (TFP) tampak membaik dibandingkan tahun lalu, namun melambat pada paruh kedua tahun ini.
Terlihat bahwa mulai Juni 2024, pertumbuhan simpanan akan mengalami penurunan sebesar 8,3% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, dari Juli menjadi 7,5%, dari Agustus menjadi 6,8%, dari September menjadi 6,7%, dan dari Oktober menjadi 6%. Hingga bulan November, pertumbuhan PDB sedikit meningkat, yakni menjadi 6,3% pada tahun lalu.
Peringatan likuiditas telah berjalan sejak tahun lalu. Sejak Desember 2023, pertumbuhan DPK hanya mencapai 3,8% secara tahunan (yearly). Posisi tersebut merupakan yang terendah sejak tahun 1999 atau sejak era Reformasi.
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) melaporkan kelompok perbankan besar atau yang memiliki modal inti melebihi Rp 70 triliun menguasai 52,4% simpanan masyarakat di perbankan. Kelompok ini juga mendorong pertumbuhan DPK, sedangkan bank kecil justru sebaliknya.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Ray mengatakan lambatnya pertumbuhan DPK perbankan terutama disebabkan oleh DPK yang juga dipengaruhi oleh banyaknya alternatif sarana investasi.
Selain itu, Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. (BTN) Nixon Napitupoulou mengatakan likuiditas masih tersedia di pasar namun mahal karena tingginya suku bunga.
“Likuiditas aman, likuiditas bukan masalahnya. Satu-satunya masalah adalah harga. Jadi ‘Apakah likuiditas ketat?'” “Definisi ketatnya adalah pesan bahwa tidak ada likuiditas, namun harga sedang naik,” kata Nixon.
Gubernur Bank Indonesia Perry Varjiyo mengatakan likuiditas perbankan cukup untuk mendukung penyaluran kredit. Salah satu indikatornya adalah rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) pada September sebesar 25,4%, lebih tinggi dibandingkan rata-rata tahun sebelumnya.
Gubernur BI Perry Wardjio mengatakan AL/DPK berkisar 15% pada tahun-tahun sebelumnya. “Dari sisi makroprudensial, kami juga akan memastikan kecukupan likuiditas di sektor perbankan secara keseluruhan,” ujarnya.
Ketakutan Jokowi
Likuiditas sebenarnya menjadi salah satu ketakutan Presiden Indonesia Joko Widodo periode 2019-2024 menjelang akhir masa jabatannya. Di penghujung tahun 2023, Jokowi menyampaikan kekhawatirannya akan mengeringnya peredaran uang, padahal pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berkisar 5%.
Jokowi menilai permasalahan tersebut disebabkan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan BI yang terlalu banyak menerbitkan instrumen yaitu Surat Berharga Negara (SBN), Surat Berharga Bank Indonesia Rupiah (SRBI), dan Surat Berharga Valuta Asing Bank Indonesia (SVBI).
“Jangan beli semuanya terlalu banyak, saya bilang ke BI dan SBN, itu bagus, tapi agar sektor riilnya terlihat lebih baik dari tahun lalu,” kata Jokowi dalam Rapat Tahunan Bank Indonesia (PTBI) di Kantor Pusat BI, Jakarta.
Namun Kepala Bank Indonesia Perry Varjio membantahnya. Ia mengatakan, imbal hasil SRBI tenor 6, 9, dan 12 bulan mulai 12 Juli 2024 tercatat masing-masing sebesar 7,30%, 7,39%, dan 7,43%, tidak ada fenomena perpindahan.
Crowding sendiri merupakan istilah yang menggambarkan penyerapan aliran dana dari pasar keuangan ke dalam satu otoritas instrumen sehingga menyulitkan pelaku pasar keuangan untuk memperoleh likuiditas.
Selain menampik adanya ketatnya likuiditas, Perry menilai kehadiran SRBI dengan imbal hasil tinggi juga tidak menciptakan ketatnya likuiditas. Pasalnya, likuiditas perbankan masih tinggi, terlihat dari data rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) yang masih tercatat tinggi yakni 25,36%.
Likuiditas adalah tantangan lain tahun depan
Masalah likuiditas juga akan menjadi masalah bagi para bankir tahun depan. Sebab, perbankan tidak hanya bersaing satu sama lain untuk mendapatkan dana masyarakat, namun juga dengan pemerintah. Tantangan ini telah menjadi masalah bahkan bagi raksasa perbankan di Indonesia.
Kepala Ekonom PT Bank Syariah Indonesia Tbk. (BRIS) Banjaran Surya Indrastomo mengatakan tahun depan merupakan batas waktu pembayaran surat utang pemerintah sekitar Rp 700 triliun per tahun untuk tiga tahun ke depan. Seiring dengan rata-rata penerbitan utang tahunan pemerintah sekitar Rp600 triliun, pemerintah mempunyai kebutuhan likuiditas sekitar Rp1.300 triliun per tahun.
Artinya kalau sudah siap sebaiknya diganti. Kecuali ada rencana lain yang tidak memerlukan penggunaan modal kerja, jelas Banjaran dalam Shariah Economic Outlook di kantor pusat BSI. Senin (30/12/2024).
Selain itu, ia mengatakan pembentukan pemerintahan baru juga membutuhkan “pendanaan baru”. Pada saat yang sama, terdapat kebutuhan untuk membiayai beberapa program negara baru. Terkait hal tersebut, Banjaran mengatakan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% karena kebutuhan tersebut.
Bank juga harus bersaing dengan pemerintah yang menerbitkan instrumen dengan imbal hasil yang menarik. Misalnya, Obligasi Negara Ritel (ORI) dengan tingkat kupon lebih dari 6% memiliki jangka waktu 3 tahun.
Oleh karena itu, tidak heran jika fenomena “perang” insentif, cashback, dan hadiah yang terjadi di industri perbankan pada tahun ini akan terus berlanjut pada tahun depan. Anton Hermavan, Direktur Utama Krom Bank (BBSI), mengatakan dana pihak ketiga (DPK) saat ini menjadi incaran perbankan dan semua orang berusaha mendapatkannya.
“Jadi sebenarnya perang insentif, perang uang kembali, perang harga adalah hal yang terjadi tahun ini. Saya kira tahun depan tidak berhenti, terus,” kata Anton di Penang Bistro, Selasa (3/12/2024) tadi.
Bank-bank besar takut terhadap ekspansi kredit
Sementara itu, Ekonom LPPI Ryan Kiryanto mengatakan perbankan secara umum memiliki “masalah besar” pada likuiditas. Hal ini terlihat dari posisi Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan yang mencapai 87,50% per Oktober 2024, menandakan likuiditas Bank Indonesia sudah ketat.
“Ini jelas menunjukkan bahwa ruang bagi perbankan kita untuk agresif dalam menyalurkan [kredit] semakin terbatas. Apalagi bank-bank yang pendekatannya konservatif. Yang konservatif adalah bankir yang tidak mau melakukan akselerasi. Tidak terburu-buru, tapi “agresif. Kalau LDR suatu bank 80% ke atas pasti hati-hati, hati-hati, artinya tidak terlalu bersemangat untuk ekspansi,” jelas Ryan di Jakarta Selatan, Jumat (20/12/2024) .
Misalnya PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) ini dianggap “terlalu banyak cair”. Jika mengacu pada laporan keuangan BCA triwulan III-2024, posisi LDR sebesar 75,1%, berada di bawah batas bawah giro wajib minimum (GWM) LDR yang ditetapkan Bank Indonesia (BI), yakni 78%-92. %.
Sanksi akan dikenakan kepada bank yang melanggar kewajiban pelaksanaan GWM. Pada periode yang sama tahun lalu, LDR BCA juga berada di bawah kisaran LDR GWM terendah BI yakni hanya 67,41%. Artinya, BCA akan selalu lebih memilih membayar denda dibandingkan memberikan pinjaman yang tidak bersifat ‘kehati-hatian’.
Terkait hal tersebut, EVP Corporate Communications and Social Responsibility BCA Hera F. Haryn mengaku pihaknya berkomitmen menjaga pertumbuhan kredit namun tetap mempertimbangkan prinsip kehati-hatian.
“Melalui likuiditas yang kuat, kami berkomitmen menjaga pertumbuhan kredit yang berkualitas tetap stabil. Kami siap meningkatkan alokasi kredit ke berbagai sektor dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian,” kata Gera kepada ILLINI NEWS, Senin (24/12/) 2024).
Credit spread BCA diperkirakan akan sebesar 11,1% (secara tahunan) pada September 2024 dan lebih tinggi dibandingkan perbankan yang mencapai 10,85% pada periode yang sama. Sedangkan LDR BCA hanya meningkat 7,69%.
“Secara fundamental, BCA berkomitmen untuk menjaga keseimbangan antara kecukupan likuiditas dan ekspansi kredit yang sehat. BCA juga senantiasa mengelola likuiditas secara prudent dan memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam penerapan manajemen risiko,” kata Gera.
Hal ini tidak mengherankan karena pertumbuhan DPK BCA hanya mampu tumbuh tipis 3,4% menjadi Rp 1,125 triliun pada September 2024.
Situasi yang dialami BCA serupa dengan yang dialami perbankan nasional. Pertumbuhan kredit perbankan nasional terus meningkat sebesar dua digit, naik 10,92% menjadi Rp7,657 triliun pada Oktober 2024.
Namun pertumbuhan DPK jauh lebih rendah yakni 6,74% dari tahun lalu sebesar Rp 8,751 triliun pada periode tersebut. Kemudian terdapat gap sebesar 4,18% antara tingkat pertumbuhan pinjaman dengan pembiayaan perbankan nasional.
“Jika pertumbuhan kredit jauh lebih cepat dibandingkan pertumbuhan simpanan, maka suatu saat bank, saya tidak mengatakan berhenti, harus terus melakukan ekspansi, tapi mungkin, jika memungkinkan, akan lebih ketat jika memungkinkan. Agar kondisi likuiditas bank swasta tidak terlalu ketat,” tambah Ryan.
Bank swasta terbesar kedua di Indonesia CIMB Niaga (BNGA) juga lebih memilih menargetkan DPK dengan target pertumbuhan 8% dan merevisi target spread pinjamannya menjadi 6% tahun ini. Direktur Utama CIMB Niaga Lani Dharmawan mengatakan, revisi tersebut dilakukan karena biaya pembiayaan yang tidak sesuai ekspektasi pihaknya.
“Cost of fund saat ini masih tinggi dan daya beli masyarakat kelas menengah agak menurun sehingga hal ini juga akan menimbulkan kendala bagi pertumbuhan kredit dan DPK. Tak heran jika rapat RBB juga sulit. Pinjaman tersebut akan kami pertimbangkan kembali mengingat cost of fund tidak sesuai ekspektasi karena jika dipaksakan akan berdampak buruk bagi kualitas aset ke depan,” jelas Lani, Selasa (26/11) lalu. /2024) saat dihubungi ILLINI NEWS.
Ditanya mengenai berbagai faktor seperti kenaikan PPN dan melemahnya nilai tukar rupee yang akan berdampak pada sektor perbankan pada tahun depan, Lani mengatakan biaya pendanaan perbankan akan tetap tinggi.
“Tahun depan perbankan harus melakukan perhitungan secara matang dan mendalam mengingat cost of fund masih tinggi. Karena suku bunga acuan diperkirakan belum turun awal tahun depan,” kata Lani kepada ILLINI NEWS, Jumat (20) /12/ 2024).
Menurut dia, perbankan harus bisa menghitung rasio kredit bermasalah (NPL) terhadap cadangan (CKPN) yang mampu menyerap net interest margin (NIM).
“Secara fundamental, perbankan harus bisa membaca kondisi dan kondisi perekonomian untuk memutuskan apakah akan menaikkan atau melunakkan,” pungkas Lani (mkh/mkh) Tonton Video Di Bawah: Vidoe: Langkah APUVINDO Dukung BI Dukung Rupee & Peningkatan Likuiditas Artikel selanjutnya Ketakutan Jokowi terhadap masa jabatannya menjadi nyata, kata para bankir