Jakarta, ILLINI NEWS – Para ekonom memastikan daya beli masyarakat melemah. Selain tercermin dari pertumbuhan ekonomi dan konsumsi masyarakat yang turun di bawah 5% pada triwulan III 2024, masih banyak indikator lain yang menunjukkan permasalahan daya beli tersebut.
Kepala Ekonom BSI Banjaran Surya Indrastomo mengatakan penurunan daya beli masyarakat pada kuartal III 2024 dipicu oleh berbagai permasalahan, mulai dari dampak krisis pandemi Covid-19 hingga normalisasi harga komoditas global. level tersebut, dan melemahnya aktivitas ekonomi di negara-negara tujuan ekspor Indonesia, seperti Tiongkok.
“Dan sekarang kita kembali ke keadaan sebelumnya dimana dalam kasus Indonesia sangat bergantung pada ekspor ke Tiongkok dan Tiongkok sendiri belum pulih. Permintaan dalam negeri, ekspor, dan investasi berkontribusi terhadap perekonomian ini,” kata Banjaran di ILLINI NEWS. Program Makan Siang Kekuatan. , dikutip Kamis (14-11-2024).
Hal ini jelas berdampak pada menurunnya aktivitas sektor manufaktur dan industri lainnya. Hal tersebut menimbulkan banyak pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai industri sehingga mengakibatkan hilangnya pendapatan kelas pekerja.
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat sebanyak 59.764 pekerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga Oktober 2024. Angka tersebut meningkat dibandingkan bulan sebelumnya dan tahun lalu. Tercatat, total PHK pada Oktober 2024 meningkat 12,78% dibandingkan September 2024 sebanyak 52.993 pekerja, dan meningkat 31,13% dari Oktober 2023 sebanyak 45.576 pekerja.
“Datanya banyak, April-Agustus terjadi penurunan jumlah peserta BPJS Ketenagakerjaan. Jadi masyarakat yang di-PHK itu yang mendapat manfaat awalnya,” kata Banjaran.
“Jadi sebetulnya bukan lebih defensif, tapi sebenarnya bagi masyarakat menengah ke bawah ada pelemahan daya beli. Dalam konteks BSI, kita punya indeks konsumsi muslim yang dalam 6 bulan terlihat peningkatan belanja kebutuhan tersier tapi penurunan kebutuhan primer,” tegasnya.
Kondisi ini diperburuk dengan data penurunan jumlah kelas menengah di Indonesia. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kelas menengah di Indonesia pada tahun 2019 sebanyak 57,33 juta jiwa atau setara dengan 21,45% total penduduk. Jadi pada tahun 2024 hanya berjumlah 47,85 juta jiwa atau setara 17,13%.
Artinya, sebanyak 9,48 juta warga kelas menengah telah putus sekolah. Seiring dengan bertambahnya data kelompok kelas menengah rentan atau calon kelas menengah, dari tahun 2019 hanya 128,85 juta jiwa atau 48,20% dari total penduduk, menjadi 137,50 juta jiwa atau 49,22% dari total penduduk.
Begitu pula dengan jumlah kelompok berisiko kemiskinan yang juga meningkat sejak tahun 2019 sebanyak 54,97 juta orang atau 20,56%, menjadi 67,69 juta orang atau 24,23% dari total penduduk pada tahun 2024. Hal ini menunjukkan bahwa banyak kelompok kelas menengah yang keluar dari kelompok kelas tersebut. .
Solusi menghadapi melemahnya daya beli
Untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut, Banjaran menilai peran pemerintah semakin sentral saat ini. Selain meningkatkan belanja pemerintah untuk memanfaatkan sisi permintaan perekonomian, stimulus fiskal yang tepat sasaran untuk menciptakan lapangan kerja dan investasi juga penting.
“Jadi kita menghadapi kenyataan bahwa pada dasarnya kapasitas produktivitas kita di bidang manufaktur terbatas, sehingga kita harus mencari buffer strategis lain yang perlu digalakkan untuk memberikan dorongan pada perekonomian,” ujarnya.
Dalam konteks ini, dia menyarankan agar pemerintah juga memikirkan penciptaan lapangan kerja yang sesuai dengan keterampilan atau kemampuan yang relatif tersedia pada angkatan kerja Indonesia.
Dikatakannya, keterampilan tenaga kerja di Indonesia lebih fokus pada aspek pelayanan, sehingga bidang-bidang industri pariwisata bisa didorong, termasuk dukungan ekosistem digital yang kini populer dengan istilah gig labor seperti ojol atau pos.
“Jadi, segala sesuatu yang berkaitan dengan service base perlu didorong dalam konteks ini. Karena kita tahu gig economy itu adalah bumper yang sifatnya sangat bergantung pada hubungannya dengan mobilitas, belanja, rekreasi dan dalam konteks ini kita perlu tahu. pola-pola yang mendukung ekonomi digital kita menjadi lebih aktif, baik itu pengurangan bea masuk yang “dikenakan di sana atau insentif yang memberikan tambahan pendapatan kepada hampir lebih dari 10 juta anggotanya tetapi menyebar ke UMKM,” ungkapnya. Banjaran.
Ia mengingatkan, pendekatan ini penting karena struktur perekonomian Indonesia yang berpenduduk lebih dari 60 juta jiwa masih ditopang oleh aktivitas ekonomi perorangan atau usaha kecil dan menengah yang bergantung pada permintaan masyarakat.
Solusi lain, yang agak ekstrem, adalah pemerintah secara agresif membuka kembali keran pengiriman pekerja ke luar negeri. Sebab selain sulitnya menciptakan lapangan kerja di dalam negeri, pemerintah saat ini juga sangat membutuhkan mata uang asing untuk menjaga stabilitas eksternal.
“Kita butuh devisa masuk, kita butuh investasi masuk, tapi kita tahu investasi itu butuh jangka waktu dan prosesnya tidak singkat. Jadi cakupannya ke jasa ekspor, di luar,” ujarnya.
Opsi selanjutnya yang ditekankannya adalah kebijakan moneter yang berpihak pada pertumbuhan ekonomi harus segera diprioritaskan. Karena dengan suku bunga yang murah, biaya pembiayaan bisa ditekan sehingga ekspektasi atau permintaan akan lebih tinggi dan hal ini tentunya akan merangsang perekonomian.
Artinya, kita melakukan perubahan sektor untuk menciptakan lebih banyak permintaan lapangan kerja dan investasi untuk mengatasi tantangan berat tahun ini dan tantangan terberat tahun depan, tegasnya.
Ia berharap pengelolaan berbagai solusi tersebut harus dipastikan oleh pemerintah agar dapat terwujud. Tanpa solusi yang efektif, ia khawatir pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan akan semakin tertahan hingga di bawah 5%.
“Karena untuk pertama kalinya kita tumbuh di bawah 5% dan mungkin kita akan terus tumbuh di bawah 5% kecuali kita menemukan senjata untuk mendorong pertumbuhan dalam 3 bulan ini,” kata Banjaran.
(arj/haa) Simak videonya di bawah ini: Video: Belanja Warga Indonesia Melemah, Pengusaha Ritel Surati Prabowo Artikel selanjutnya Dampak menakutkan gelombang PHK di Indonesia mulai terasa di kantong WNI