JAKARTA, ILLINI NEWS – Masyarakat Indonesia bersiap menghadapi beban yang semakin berat seiring dengan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025.
Jika kita melihat negara-negara Asia lainnya, PPN IR merupakan PPN tertinggi kedua di ASEAN.
Menurut data yang dirilis PricewaterhouseCoopers (PwC), Indonesia menjadi salah satu negara dengan pajak pertambahan nilai (PPN) tertinggi di kawasan ASEAN pada tahun 2023-2024.
Tarif PPN Indonesia akan naik menjadi 11% mulai 1 April 2022, naik dari sebelumnya 10%. Kini pemerintah bersiap menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen pada tahun depan.
Tarif ini sesuai dengan tarif PPN Filipina saat ini sebesar 12 persen. Sedangkan Kamboja dan Vietnam masing-masing mencapai 10 persen. Singapura kemudian mengenakan GST sebesar 9%.
Dan kini Malaysia berada di posisi ke-6. Tarif pajak penjualan terpisah tetap sebesar 10% untuk sebagian besar barang.
Sedangkan pajak pelayanan merupakan pajak perputaran persediaan dan jasa, termasuk layanan digital. Ada juga pajak penjualan sebesar 5% atau 10% atas penjualan barang dagangan.
Pemberlakuan kembali Pajak Penjualan dan Jasa di Malaysia terjadi setelah negara tersebut sempat menerapkan Pajak Barang dan Jasa antara bulan April 2015 dan Juli 2018.
Makanan, minuman, parkir dan telekomunikasi tidak termasuk dalam kenaikan ini, sehingga tetap berada pada angka 6%.
Jaringan pajak jasa akan diperluas ke jasa logistik (6%), jasa perantara dan pesan teks, serta tempat karaoke. Dan pajak barang mewah baru akan diberlakukan pada penjualan perhiasan dan jam tangan.
Ada Thailand dan Laos yang tarif PPNnya sama yaitu 7%.
Myanmar mengenakan pajak bisnis standar sebesar 5%. PwC menjelaskan bahwa tidak ada PPN di negara tersebut.
Dan Timor Leste dengan pajak penjualan impor sebesar 2,5 persen.
Bersiaplah untuk PPN
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan tarif PPN yang diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP) sebaiknya diterapkan naik menjadi 12% pada Januari 2025.
Pernyataan itu disampaikannya dalam diskusi kerja bersama anggota DPR di Komisi XI DPR. Banyak anggota DPP yang kemudian mempertanyakan kemungkinan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen pada tahun 2025.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, dirinya telah berdiskusi panjang dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengenai penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% pada tahun 2025. Semua indikator menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
“Tidak membabi buta, tapi APN harus tetap sehat,” kata Sri Muliani saat rapat kerja dengan Komite XI DPR di Gedung DPR, Rabu (13/11/2024).
Penerapan tarif baru tersebut dijelaskan dalam Harmonisasi Undang-undang Perpajakan (UU HPP). Kenaikan tarif PPN akan dilakukan secara bertahap dari 10% menjadi 11% pada tahun 2022 dan kemudian menjadi 12% pada tahun 2025.
Shri Mulyani berkomitmen memastikan kebijakan, termasuk akses masyarakat, dapat dilaksanakan dengan hati-hati. Hal ini untuk memastikan masyarakat mendapat penjelasan lebih lengkap dan menghindari gangguan.
Namun perlu diingat, perekonomian Indonesia saat ini sedang berada dalam tekanan, konsumsi masyarakat diperkirakan akan menurun hingga kuartal III-2024.
Pada triwulan III tahun 2024, tingkat konsumsi rumah tangga yang menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi dengan kontribusi sebesar 53,08% terhadap produk dalam negeri hanya mampu tumbuh sebesar 4,91%, laju pertumbuhan triwulan II tahun 2024 sebesar 4,93% lebih sedikit.
Situasi ini pada triwulan III-2024, pertumbuhan ekonomi hanya sebesar 4,95%, dibandingkan 5,11% pada triwulan II-2024 dan 5,05% pada triwulan I-2024. Badan Pusat Statistik (BPS).
Menurut Sri Mulyani, selama kenaikan PPN, pemerintah terus memberikan pembebasan pajak agar daya beli masyarakat tidak berkurang, misalnya banyak jenis barang atau jasa yang tidak dikenakan pajak.
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adis Lukman mengatakan, meski industri makanan dan minuman tumbuh, namun keuntungannya menyusut.
“Persaingan semakin ketat, kenaikan harga bahan baku, energi, logistik, semuanya dalam persaingan ekonomi ini semakin ketat. Ini karena pengaruh geopolitik global, keuangan, dan lain-lain,” tuturnya. Adhi di ILLINI NEWS usai pameran SIAL Interfeed di JI-Exhibition, Rabu (13/11/2024).
Selain itu, pemerintah mungkin akan merevisi rencana kenaikan pajak pertambahan nilai sebesar 12 persen karena industri ini mungkin akan lebih dirugikan. Selain itu, daya beli masyarakat juga belum membaik.
“Jadi dalam situasi seperti ini perlu adanya penguatan agar industri makanan dan minuman bisa mencari bahan alternatif yang lebih positif dan efisien. Dan tentunya hal ini harus didukung oleh pemerintah, karena jika pemerintah masih ingin meningkatkan nilai tambah pajak. , hal ini pasti akan berdampak pada sektor industri, khususnya industri makanan dan minuman,” kata Adi.
M. Faisal, Direktur Eksekutif Reformasi Ekonomi (CORE) menilai tekanan masyarakat tercermin dari melemahnya Indeks Keyakinan Konsumen (IKK).
Melihat kondisi tersebut, Faisal berpesan kepada pemerintah untuk tidak mengeluarkan kebijakan yang tidak meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap kondisi perekonomian ke depan. Dia mengatakan, kebijakan yang bisa diambil adalah membatalkan rencana kenaikan pajak pertambahan nilai menjadi 12 persen.
“Jika kebijakan ke depan tidak berupaya membalikkan keadaan, namun malah memperburuk keadaan, maka hal ini dapat meningkatkan tekanan terhadap konsumsi rumah tangga,” kata Faisal kepada ILLINI NEWS.
Riset ILLINI NEWS
[dilindungi email] (lihat/lihat)