Jakarta, ILLINI NEWS – Rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada tahun depan menimbulkan kekhawatiran dari berbagai pelaku usaha. Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya mengatakan proses tersebut akan dilanjutkan, namun pengusaha meminta pemerintah menunda proses tersebut. Para pemimpin dunia usaha khawatir kenaikan PPN akan berdampak pada naiknya harga barang dan menurunkan daya beli masyarakat, terutama masyarakat kelas menengah ke bawah.
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja menegaskan kenaikan PPN akan berdampak langsung pada daya beli masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa daya beli telah turun sejak awal tahun 2024, dan kenaikan PPN akan memperburuk keadaan.
“Jadi, sejak awal kami meminta pemerintah menghentikan kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% karena berpotensi menurunkan daya beli masyarakat bawah. Karena kenaikan PPN ini akan mempengaruhi harga barang, maka harga barang akan naik,” kata Alphonzus usai ditemui di Santika ICE Hotel BSD Tangerang, Jumat (15/11/2024).
Alphonzus mengingatkan, daya beli masyarakat menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi di Indonesia, dengan pasokan dalam negeri mencapai 57% produk domestik bruto (PDB). Ia khawatir penurunan daya beli akan menghambat tujuan pemerintah menaikkan perekonomian sebesar 8%.
“Pangkalan masyarakat Indonesia dikuasai oleh kelas menengah yang jumlahnya kecil. Artinya, jika hal ini terganggu maka pertumbuhan ekonomi Indonesia juga akan terkena dampaknya. Karena sekitar 57% pertumbuhan ekonomi Indonesia dikendalikan oleh kekuatan dalam negeri. Jadi ini akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia, padahal pemerintah menginginkan 8%,” ujarnya.
Bersama Alphonzus, Ketua Harian Himpunan Pengusaha Ritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Budihardjo Iduansjah juga meminta pemerintah mempertimbangkan kembali rencana kenaikan PPN menjadi 12%.
Menurut dia, kenaikan tersebut akan berdampak pada aktivitas perekonomian para pengusaha, terutama karena mereka harus membayar pajak terlebih dahulu meski pembayaran dari pelanggan belum diterima seluruhnya.
“Pertama kita lihat harga naik, kedua pembayaran diterima, karena pajak harus dibayar di muka. Artinya kadang-kadang kita harus membayar pajak, padahal kita tidak menerimanya. PPN 12% terlalu tinggi, makanya kita pikirkan pajaknya,” kata Budi di acara yang sama.
Selain itu, Budihardjo juga mengatakan daya beli masyarakat belum sepenuhnya berkembang sehingga kenaikan PPN sendiri dinilai kurang tepat.
Selain itu, Alphonzus dan Budihardjo sepakat jika pemerintah terus menaikkan PPN sebesar 12%, maka perlu mendorong masyarakat agar memiliki daya beli yang lebih baik, terutama di kalangan masyarakat bawah.
“Kalau harus dilakukan (menaikkan) PPN sebesar 12% maka pendapatan pemerintah akan kembali ke bawah. Akan diberikan program-program yang berdampak ke bawah, sehingga daya beli naik ke atas,” jelasnya.
Alphonzus kali ini juga mengingatkan, kebijakan ekonomi yang semakin memberatkan masyarakat dan komersial telah menunjukkan keberhasilan dalam meningkatkan perdagangan, seperti pembatasan pajak olahraga dan pajak tanah yang sebelumnya dilakukan.
“Ini sudah ditetapkan, misalnya pajak olahraga, pembatasan pajak. Awal tahun ini pemerintah mengurangi pajak khusus, pajak rumah dulu kurang dari 10%, masing-masing pemerintah bersaing. Ada yang tarifnya adalah 25%, 35% dan seterusnya. Nah, mantan presiden Pak Jokowi hanya 10% yang mempromosikan minat terhadap uang. Dan kami yakin penjualannya akan meningkat,” jelas Alphonzus.
(wur) Simak videonya di bawah ini: Video: Presiden Prabowo Bisa Turunkan PPN Hingga 5% Cerita Selanjutnya