Jakarta, ILLINI NEWS. Toko kelontong menjadi salah satu alternatif masyarakat Indonesia dalam berbelanja sehari-hari. Akses yang mudah menjadi alasan utama toko kelontong tidak pernah sepi.
Namun, tahukah Anda bahwa toko kelontong bukanlah ide orang Indonesia?
Sejarah membuktikan bahwa toko kelontong di Indonesia bermula dari kebiasaan berbelanja para pendatang Tionghoa. Tidak diketahui secara pasti kapan, namun yang pasti dimulai pada masa kolonial.
Saat itu, para pendatang Tionghoa yang kemudian menetap di Indonesia mencari uang melalui bisnis. Awalnya mereka berjualan di pasar, namun lambat laun mereka mulai menjual produknya.
Saat berjualan, para pedagang Tionghoa menggunakan kebiasaan yang tidak dimiliki orang lain, yaitu membuat keributan untuk menarik perhatian orang. Awalnya mereka hanya berteriak. Namun sedikit demi sedikit mereka mulai menggunakan alat.
Alat ini terbuat dari logam dan berbentuk lingkaran kecil yang harus dipukul dengan pendulum kayu. Jika Anda menyambungkan pendulum kayu dan logam, keduanya akan menghasilkan suara yang berbeda.
Bunyinya “tong…tong”. Atau jika ketukan setrika semakin kencang maka akan berubah menjadi “klontong…klontong”. Oleh karena itu, pembeli mengasosiasikan pedagang Tiongkok sebagai pedagang grosir.
Sejarawan Peter Carey merinci dalam Masyarakat Jawa dan Tionghoa (1985) bahwa masyarakat Tionghoa lazim menggunakan metode komoditas untuk menjual kebutuhan sehari-hari. Diantaranya kapas, garam, tembakau, jahe, sutra bahkan opium yang disebut narkotika.
Dengan berjualan berjalan kaki, mereka bisa menjangkau banyak tempat yang masih alami. Dengan berkembangnya wilayah perdagangan, pelanggan menjadi lebih akrab dengan pedagang Cina, yaitu pedagang grosir. Orang Cina menjadi kaya.
Kegigihan dan kegigihan para saudagar Tiongkok dalam menjual barang kepada calon pembeli akhirnya membuat mereka terkenal.
Seiring meningkatnya popularitas, mereka tidak lagi berjalan kaki, melainkan menggunakan alat atau jasa orang lain untuk mengangkut barang. Bahkan, perlahan-lahan mereka mulai rutin menjual apa yang disebut toko dalam bahasa Cina Hokkien.
Toko sendiri berasal dari bahasa Cina Hokkien yang berarti “tempat menjual barang”. Saat orang Tionghoa berbelanja di toko, pelanggan masih menyebut mereka pedagang, bukan pemilik.
Dennis Lombard dalam Nusa Java Cross Culture (2005) menjelaskan, pemilik toko Tionghoa biasanya mempunyai pola tersendiri.
Mereka menempatkan toko-toko di sepanjang jalan, di mana dua baris toko berdiri berhadapan dengan toko-toko pesaing. Hal ini serupa dengan konsep toko retail modern, khususnya Indomaret dan Alfamart, yang seringkali letaknya bersebelahan.
Selain itu, di toko kelontong, orang Cina dengan hati-hati menata produk di rak. Tujuannya untuk menarik dan mempromosikan pembeli. Cara orang Cina melakukan pembelian melalui toko telah terbukti efektif.
Mereka bisa memperoleh kekayaan. Begitu pula masyarakat dapat dengan mudah mengakses kebutuhan sehari-harinya. Keberhasilan ini kemudian menginspirasi banyak orang Tiongkok lainnya untuk membuka toko kelontong. Pada tahun 1950an, banyak orang Tionghoa yang membuka toko kelontong di desa-desa terpencil dan kota-kota besar di Indonesia.
Saat ini, tidak hanya makanan Cina yang beredar di toko kelontong. Banyak orang dari negara lain juga mengikuti hal yang sama. Oleh karena itu, toko kelontong menjadi sebutan untuk setiap toko yang menjual barang sehari-hari. (mfa/sef) Saksikan video di bawah ini: Video: Kabar Prospek Bisnis Perawatan Rambut Lokal Mendunia Artikel Berikutnya Ini Alasan Sukarno Larang Orang China Berbisnis di Indonesia