Catatan: Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan dewan redaksi illinibasketballhistory.com
Digitalisasi sistem pembayaran di Indonesia mengalami pertumbuhan yang signifikan. Bank Indonesia mencatat nilai nominal transaksi Quick Response Code Indonesian Standard atau QRIS mencapai Rp 229,96 triliun sepanjang tahun 2023. Jumlah ini meningkat sebesar 130,01% setiap tahunnya. Gubernur Bank Indonesia Perry Warzio mengatakan jumlah pengguna QRIS akan mencapai 45,78 juta pada tahun 2023. Di era digital yang berkembang pesat, akses terhadap layanan keuangan inklusif menjadi pilar utama dalam pemberdayaan perekonomian masyarakat. Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan tahun 2022 menunjukkan adanya peningkatan tingkat inklusi keuangan masyarakat Indonesia dari 76,19% pada tahun 2012 menjadi 85,10% pada tahun 2022. Pada tahun 2024, OJK menargetkan peningkatan menjadi 90% di Indonesia
Global Findex Database 2021 Bank Dunia menunjukkan jumlah unbanked people di Indonesia, yaitu individu yang cukup umur namun belum memiliki rekening bank, telah mencapai hampir 98 juta orang dewasa, atau setengah dari populasi orang dewasa di Indonesia. Menariknya, sekitar 55% dari populasi yang tidak memiliki rekening bank memiliki akses terhadap telepon seluler, sehingga membuka peluang besar untuk mengakses layanan keuangan digital.
Berbagai data tersebut menunjukkan pentingnya inovasi dalam layanan keuangan digital seperti dompet digital (e-wallet). Meski banyak masyarakat yang tidak memiliki rekening bank, namun keberadaan dompet digital memungkinkan mereka mengakses layanan keuangan. Berdasarkan data Statista, pada tahun 2022, jumlah pengguna dompet digital di Indonesia akan mencapai kurang lebih 107 juta pengguna, naik 17% dari 91,4 juta pengguna pada tahun lalu.
Layanan dompet digital memiliki potensi besar untuk mendukung inklusi keuangan dengan memberdayakan perekonomian masyarakat. Layanan ini telah mempermudah transaksi sehari-hari, mulai dari membayar tagihan hingga berbelanja online, dan telah mengubah cara orang menerima dan mengirim uang. Menurut data Statista, sekitar 40% transaksi pembayaran di e-commerce pada tahun 2022 akan berasal dari dompet digital. Peningkatan kemudahan transaksi digital ini mendorong pertumbuhan pengguna e-commerce di Indonesia yang jumlahnya diperkirakan akan tumbuh menjadi 58,63 juta pada tahun 2023 dan mencapai 99 juta pada tahun 2029.
Untuk lebih meningkatkan peran ini, diperlukan ekosistem pembayaran terbuka yang mendukung interoperabilitas, memprioritaskan kolaborasi antara berbagai layanan keuangan, mempertahankan protokol dan standar terbuka, dan mendukung inovasi dengan tingkat keamanan yang tinggi. Ekosistem pembayaran terbuka memungkinkan penyedia layanan pembayaran yang berbeda untuk berkomunikasi dan berkolaborasi, sehingga memudahkan pengguna untuk melakukan transaksi lintas platform. Hal ini dijelaskan oleh Bank Indonesia dalam “Cetak Biru Sistem Pembayaran Indonesia 2025”.
Ekosistem sistem pembayaran digital yang mendukung interoperabilitas sangat penting untuk memastikan kemampuan berbagai sistem atau platform pembayaran untuk berkomunikasi dan bekerja sama secara efektif. Hal ini akan meningkatkan aksesibilitas dan kenyamanan bagi pengguna, serta mendorong ekosistem pembayaran yang lebih terintegrasi. Interoperabilitas memungkinkan para pemain di industri keuangan digital untuk memberikan layanan yang jauh melampaui pasar tradisional. Dengan kolaborasi ini, para pelaku keuangan digital tidak hanya akan menjadi instrumen pembayaran tetapi juga portal untuk layanan keuangan lainnya seperti tabungan, pinjaman, dan asuransi, yang menyediakan akses keuangan bagi banyak orang yang tidak terlayani oleh sistem keuangan tradisional. Sebagai pengawas sistem pembayaran nasional, Bank Indonesia berharap dompet digital dapat secara efektif menjangkau masyarakat unbanked dan underbanked.
Ekosistem yang memupuk kolaborasi antar penyedia layanan juga menciptakan solusi baru yang menguntungkan pengguna. Kemudahan akses bagi unbanked untuk berintegrasi ke dalam perekonomian formal hanya dapat dicapai melalui kolaborasi berbagai pelaku pembayaran seperti bank, fintech, dan layanan keuangan digital lainnya. Integrasi dan kolaborasi memberikan solusi yang memungkinkan masyarakat melakukan transaksi sehari-hari dengan lebih efisien.
Dengan kemudahan akses yang diberikan teknologi ini, pengguna dapat melakukan transaksi keuangan dari mana saja, kapan saja, tanpa perlu mengunjungi cabang bank atau outlet keuangan fisik lainnya. Hal ini sangat penting terutama bagi kelompok masyarakat di daerah pedesaan atau yang sebelumnya terpinggirkan dari sistem keuangan tradisional dan mendorong pembangunan ekonomi. Dalam konteks ekonomi pembangunan, inklusi keuangan membantu meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau meningkatkan pengetahuan dan taraf hidup masyarakat. Dengan meningkatkan IPM dapat mencegah meningkatnya kesenjangan sosial dan kesenjangan pendapatan yang pada akhirnya membantu pemerintah untuk mengurangi tingkat kemiskinan masyarakat serta meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB).
Selain itu, protokol dan standar ekosistem terbuka juga menjadi bagian penting. Salah satu inisiatif utama adalah model yang memberikan prioritas pada kombinasi pendekatan industri, pendekatan regulasi, dan pendekatan kolaboratif. Model ini mencerminkan konsistensi kebijakan yang mengedepankan standardisasi pada berbagai instrumen pembayaran. Tidak hanya dalam konteks kebijakan di mana standardisasi dapat menciptakan lingkungan ekonomi keuangan digital yang mendukung interoperabilitas, namun juga bagaimana standardisasi telah mengonfigurasi opsi pembayaran yang efisien untuk masyarakat luas dan berdampak lebih luas pada inklusi keuangan.
Contoh nyata penerapan sistem pembayaran yang terbuka dan terintegrasi adalah QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) yang semakin memudahkan nasabah dalam melakukan pembayaran dari berbagai aplikasi keuangan digital dengan satu kode QR.
Semua orang bisa memindai. Inisiatif ini tidak hanya meningkatkan efisiensi transaksi sehari-hari tetapi juga memperkaya pengalaman pengguna secara keseluruhan sekaligus menyederhanakan proses pembayaran bagi merchant dan konsumen. Beroperasinya sistem pembayaran ini terbukti mendorong partisipasi masyarakat yang sebelumnya belum memiliki literasi keuangan yang memadai untuk berpartisipasi aktif di era ekonomi digital.
Dalam praktiknya, ekosistem terbuka seperti QRIS harus fokus pada peningkatan pola pikir pembayaran inklusif untuk memberikan pilihan yang memadai kepada masyarakat, terutama di daerah pedesaan, sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam sistem perekonomian nasional dan tidak terpinggirkan. Hal yang menghambat penerapan pembayaran inklusif seperti QRIS adalah munculnya metode pembayaran khusus yang dilakukan pelaku sektor pembayaran di berbagai pelaku usaha, baik offline maupun online. Bahkan saat ini, pembayaran khusus menghalangi masyarakat untuk melakukan transaksi. Jika QRIS ingin menjadi bauran kebijakan sistem pembayaran inklusif, maka QRIS harus menjadi persyaratan dalam praktik pembayaran di masyarakat dibandingkan mempromosikan metode pembayaran tertentu.
Sederhananya, sistem pembayaran adalah perpindahan uang dari satu pihak ke pihak lain, konsepnya sangat penting dalam kegiatan perekonomian nasional. Kita semua sebagai bank sentral, self-regulator, pelaku pembayaran, pelaku usaha, dan konsumen perlu mengelola bauran pembayaran terintegrasi seperti QRIS. Pengawasan peraturan perlu diperketat untuk memastikan bahwa pembayaran yang dikembangkan mendukung ekosistem yang terbuka dan inklusif.
Dengan mendorong prinsip ekonomi digital yang inklusif, Indonesia tidak hanya mempercepat inovasi dan persaingan, namun juga memastikan pertumbuhan ekonomi dapat diakses dan berkelanjutan untuk semua. Sebagai negara yang memiliki aspirasi global dan komitmen terhadap kemajuan teknologi, Indonesia sedang dalam perjalanan untuk menjadi pemimpin dalam ekonomi digital inklusif, setidaknya di tingkat regional.
(hura/hura)