illini news Menakar Putusan MK Hapus Presidential Threshold & Tantangan Demokrasi

Catatan: Artikel ini tidak mencerminkan pendapat pribadi penulis dan pandangan redaksi illinibasketballhistory.com

Keputusan Mahkamah Konstitusi (CJC) untuk menghapuskan tuntutan presiden telah membuka babak baru dalam demokrasi dan persaingan pemilu di Indonesia. Keputusan tersebut juga menjawab kekhawatiran banyak ilmuwan politik terhadap menurunnya kualitas pemilu.

Dengan menghapuskan persyaratan 20 persen kursi KHDR atau 25 persen suara nasional untuk mencalonkan diri sebagai presiden, Mahkamah Konstitusi mengurangi kekhususan politik partai dan memberikan ruang baru bagi setiap partai di parlemen untuk mengajukan calon. Capaian ini memberi harapan dan paradigma baru dalam perlombaan politik nasional kita, meski sudah beberapa kali dikemukakan oleh berbagai elemen masyarakat sipil.

Sejak diterapkan pada pemilu presiden tahun 2004, Presidential Threshold (PT) lambat laun menjadi alat penentu dalam menentukan struktur koalisi pemerintahan di masa depan.

Koalisi multi-partai disatukan oleh tujuan ambisius untuk memenangkan 20 persen kursi di KHDR, yang tidak didasarkan pada kesamaan ideologi, pandangan demokratis atau nilai-nilai sosial, untuk mencalonkan calon presiden.

Akibatnya, sistem PT dinilai hanya mencerminkan kepentingan jangka pendek aliansi politik partai dan tidak menghasilkan kepemimpinan nasional yang kuat melalui pemilu yang kompetitif. Selain itu, PT membatasi kerja sama politik dengan kelompok elit partai besar yang menguasai mayoritas kursi di parlemen.

Oleh karena itu, upaya MK menghilangkan rumusan PT mengajak semua pihak untuk mengkaji kembali peluang dan risiko yang ditimbulkan oleh keputusan tersebut.

Manfaat yang paling nyata adalah redistribusi partisipasi partai politik. Dengan dihapuskannya PT, ruang kerja sama semakin terbuka: partai-partai kecil dan menengah kini mempunyai kesempatan yang sama untuk mengajukan calon pemimpin.

Meski peluang ini tidak menjamin keberagaman calon presiden yang akan diusung, namun membuka jalan bagi pencalonan pemimpin alternatif di masa depan. Pada saat yang sama, pemilu tidak boleh didominasi oleh nama-nama lama dan masyarakat akan memilih lebih banyak nama. Wacana politik nasional berpotensi diperkaya dengan kehadiran tokoh-tokoh baru.

Namun kita tidak bisa menutup mata terhadap risiko yang mungkin timbul. Tanpa mekanisme pemilihan pendahuluan yang kuat, kita mungkin menghadapi situasi di mana akan ada terlalu banyak kandidat yang bersaing dalam pemilihan presiden.

Hal ini tidak hanya akan mempersulit pemilih dalam memilih, namun juga dapat menimbulkan perpecahan politik yang ekstrem. Dalam kasus kedua, kita harus berhati-hati agar tidak terjerumus ke dalam kemarahan akibat perpecahan politik yang tidak terkendali.

Tantangan lain yang perlu dipertimbangkan adalah risiko keberlanjutan dan tata kelola. Seorang presiden yang dipilih dalam sistem non-PT mungkin menghadapi kesulitan dalam memperoleh dukungan politik di parlemen tanpa basis koalisi yang kuat. Pengalaman demokrasi kita menunjukkan bahwa efektivitas pemerintahan bergantung pada keharmonisan hubungan antara eksekutif dan legislatif.

Ada beberapa hal yang perlu diingat ketika merespons perubahan drastis ini. Pertama, penting untuk memperkuat sistem seleksi calon presiden. KPU harus memiliki mekanisme yang lebih kuat untuk menjamin kualitas dan kapasitas setiap calon yang diajukan. Kriteria pengangkatannya harus lebih obyektif dan obyektif.

Kedua, ada kebutuhan mendesak untuk mengubah undang-undang pemilu. Perubahan regulasi tidak boleh sebatas pada pencabutan kekuasaan presiden saja, namun harus mencakup aspek teknis penyelenggaraan pemilu dalam mekanisme pembentukan pemerintahan. Hal ini penting untuk menciptakan kerangka hukum yang komprehensif dan dapat diprediksi.

Ketiga, memperkuat pendidikan politik masyarakat, berpartisipasi aktif dalam pengawasan bersama. Dengan jumlah calon yang lebih banyak, pemilih harus mempunyai kapasitas yang cukup untuk melakukan penilaian kritis dan seleksi, serta memantau dan mengendalikan jalannya kompetisi. Partai politik, pemerintah dan masyarakat sipil harus bekerja sama untuk menjamin pendidikan politik yang berkualitas.

Keempat, partai-partai politik yang bertugas membangkitkan kembali para pemimpin nasional yang terguling harus memperkuat sistem pembentukan dan rekrutmen personel mereka. Tanpa batasan presiden, godaan untuk mencalonkan kandidat yang populer namun memiliki potensi paling kecil akan semakin kuat. Klien harus menunjukkan dalam proses rekrutmen bahwa mereka dapat menghasilkan kandidat yang berkualitas.

Terakhir, penting untuk memperkuat lembaga pengawas. Bawasli dan organisasi pemantau pemilu lainnya harus meningkatkan kapasitas mereka karena proses politik mungkin menjadi lebih kompleks. Integritas pemilu harus dijaga selama perubahan sistemik.

Keputusan Mahkamah Konstitusi ini memungkinkan kita untuk merestrukturisasi sistem demokrasi kita menjadi lebih inklusif, terbuka dan kompetitif. Tuduhan bahwa Indonesia hanya bisa menciptakan demokrasi prosedural yang tidak berarti bisa dijawab dengan putusan Mahkamah Konstitusi karena hanya meneruskan kekuasaannya selama lima tahun tanpa perubahan.

Hal ini harus kita pertahankan agar pergerakan kemajuan tidak terhenti lagi akibat tindakan elit dan kompromi yang tidak perlu. Inisiatif reformasi Mahkamah Konstitusi harus disambut dengan partisipasi seluruh pemangku kepentingan untuk memastikan bahwa perubahan ini membawa Indonesia menuju demokrasi yang lebih maju.

Pembubaran PT merupakan salah satu poin penting yang membuktikan bahwa upaya memperbaiki aliran demokrasi tidak gagal sama sekali. Jadi pertanyaan kuncinya adalah bagaimana memastikan bahwa perubahan-perubahan ini membawa Indonesia menuju demokrasi yang lebih substantif, bukan sekedar prosedural. (mq/mq)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *