Catatan: Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan tim redaksi illinibasketballhistory.com.
Di desa yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan, Kunwan “Chatpor” tiba-tiba menjadi pusat perhatian. Dengan TikTok, ia mampu menarik banyak orang di sekitarnya sebagai pembuat konten, namun biasanya tidak untuk dijual seperti live streaming. Bersama rekan-rekannya, Gunavan menari dengan harapan mendapat hiburan digital dari penonton – sebuah aksi sederhana yang menjadi daya tarik tersendiri.
Ada yang menonton siarannya dengan rasa geli, ada pula yang merasa kasihan. Namun, alasan di balik tren ini sebenarnya terletak pada sulitnya perekonomian dan tekanan hidup. Tidak diperlukan keahlian atau investasi besar, cukup ponsel, akses internet, dan keinginan untuk menangani layar.
Dengan adanya budaya Soran, masyarakat desa sangat antusias untuk ikut serta, menjadikan TikTok sebagai tempat berkumpul virtual. Apa yang tampak sederhana, dalam batas-batasnya, merupakan cerminan dari kenyataan bahwa kreativitas berbatasan dengan dilema etika. Layar ponsel menjadi medan pertempuran tempat mereka menari dan bersorak untuk bertahan hidup.
Fenomena ini sebenarnya bukan yang pertama, ada banyak variannya. Kegiatan tersebut mirip dengan konten-konten yang pernah viral di masa lalu, seperti kisah seorang nenek lanjut usia yang tenggelam dalam “mandi lumpur” live di TikTok. Tampaknya hal ini tidak akan menjadi akhir jika akar permasalahannya tidak ditangani secara hati-hati dan serius.
Selain itu, penghasilan yang menarik, diperoleh dengan cepat dan tanpa perlu kerja keras, menjadi motivasi utama fenomena sosial ini. Di tengah hiruk pikuk ruang publik, penampilan berubah menjadi positif dan negatif.
Siaran mereka mungkin menghibur, namun menimbulkan pertanyaan: Apakah peristiwa seperti itu akan menjadi hiburan sesaat, atau malah berkembang menjadi realitas sosial yang bertahan lama? Apakah kita, sebagai penonton, bertanggung jawab tidak hanya untuk mendorong mereka menari demi kelangsungan hidup, tetapi juga menyediakan tempat yang lebih baik?
TikTok sebagai “Game Changer” Sejak popularitas TikTok meledak di Indonesia pada bulan September 2017, aplikasi ini telah menjadi “game changer” yang menghubungkan orang-orang dari berbagai kalangan dengan cara hidup baru.
Menurut Statista (2023), jumlah total pengguna Internet di Indonesia telah mencapai 212 juta orang, yang berarti 83% dari jumlah penduduk Indonesia, menjadikannya pengguna Internet terbesar keempat di dunia setelah Tiongkok, India, dan Amerika Serikat. Saat ini menggunakan internet.
TikTok meluncurkan fitur TikTok Shop baru dengan live streaming pada pertengahan April 2021. Pada awal tahun 2023, jumlah pengguna TikTok di Indonesia mencapai 110 juta orang. Dari sumber yang sama, Indonesia disebut-sebut memiliki pengguna TikTok terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat yang mencapai 113 juta pengguna.
Meski TikTok merupakan platform terpopuler keempat di Indonesia setelah WhatsApp, Instagram, dan Facebook, pertumbuhan tahunannya meningkat drastis dalam waktu singkat dibandingkan platform lain, menurut data yang dirilis SGA.
Menurut survei social commerce tahun 2023 yang dilakukan oleh Rakuten Insight di Indonesia, sekitar 56% responden mengatakan mereka telah menggunakan TikTok dalam 12 bulan terakhir. Survei yang sama menemukan bahwa sekitar 40 persen konsumen di Indonesia berbelanja secara teratur melalui media sosial, sosioekonomi ekonomi yang lemah, digitalisasi yang instan, akses Internet yang buruk, dan penggunaan media sosial yang tinggi, mendorong semua orang untuk menjadi pembuat konten, bahkan dengan cara yang tidak konvensional. . Mulai dari pelosok desa hingga perkotaan, di balik potensi ekonomi tersebut terdapat sisi gelap, seperti tren mengemis secara online atau konten yang digunakan untuk donasi massal. Seperti insiden “Mudpath” dan konten serupa, ini menunjukkan bagaimana media sosial bisa menjadi tempat eksploitasi keuangan yang tidak etis.
Sekelompok mahasiswa UGM yang tergabung dalam Program Kreativitas Mahasiswa Ilmu Sosial dan Humaniora melakukan penelitian yang melibatkan 401 pengguna aktif TikTok secara nasional. Penelitian menunjukkan bahwa tindakan tertentu memanfaatkan empati masyarakat dan mendorong pengguna untuk menyumbang.
Alhasil, bermunculan berbagai jenis konten yang memanfaatkan TikTok sebagai sumber kekayaan baru. Konten ini dapat bervariasi dari yang menghibur hingga yang berbahaya. Fenomena ini disebut sebagai bentuk eksploitasi ekonomi modern. Selain itu, penelitian ini juga mengungkap perbedaan pendapat mengenai tren konten hadiah online yang sedang berkembang.
Banyak orang atau kelompok memilih jalur ini untuk mendapatkan penghasilan cepat. Kekuatan ekonomi yang sulit membuat jejaring sosial tampak seperti pilihan yang layak, bahkan dengan konten yang mengeksploitasi keterbatasan atau kesulitan hidup mereka.
Misalnya, Severn Digital telah menunjukkan bahwa dengan sedikit aksi di depan kamera, Anda bisa mendapatkan uang tanpa harus bekerja secara tradisional. Akibatnya, muncul dilema baru: di satu sisi, media sosial merupakan penyelamat finansial bagi sebagian orang, namun di sisi lain, tren mengemis secara online justru memperkuat eksploitasi digital yang semakin meningkat.
Ada beberapa faktor yang mendorong maraknya fenomena mengemis online, yang pertama dan terpenting, kondisi perekonomian yang sulit mendorong banyak orang untuk mencari alternatif penghasilan yang cepat dan mudah, meskipun melalui cara yang tidak konvensional. Kedua, kurangnya pengetahuan mengenai etika digital dan dampak negatif konten eksploitatif membuat banyak orang terjebak dalam praktik tersebut.
Ketiga, dorongan untuk menjadi populer di media sosial dan mendapatkan pengakuan dari banyak orang merupakan dorongan bagi sebagian orang untuk membuat konten kontroversial. Keempat, daya tarik utamanya adalah kemungkinan menghasilkan pendapatan besar dalam waktu singkat melalui dana abadi atau endowment.
Fenomena mengemis melalui internet mempunyai dampak negatif yang luas baik terhadap individu maupun masyarakat secara keseluruhan. Beberapa dampak negatif tersebut antara lain merendahkan martabat manusia dan memperkuat stigma negatif terhadap kelompok tertentu.
Alih-alih mencari solusi jangka panjang terhadap permasalahan kemiskinan, fenomena ini justru memperparah siklus kemiskinan. Pada akhirnya, eksploitasi dan konten berkualitas tinggi dapat mencemari ruang publik digital dan merugikan nilai-nilai sosial. Belum lagi berbahaya bagi kelompok rentan seperti anak-anak yang terpapar konten semacam ini yang berisiko mengalami eksploitasi dan kekerasan.
Mengatasi masalah ini memerlukan upaya multisektoral yang melibatkan pemerintah, masyarakat, dan platform digital. Sejumlah upaya bisa dilakukan, termasuk meningkatkan literasi digital. Masyarakat perlu diedukasi mengenai etika digital dan dampak negatif konten eksploitatif.
Sehingga pemerintah harus menetapkan peraturan yang tegas terhadap konten digital, terutama yang melibatkan anak-anak dan kelompok rentan. Kebutuhan akan mekanisme yang lebih efektif untuk mendeteksi dan membatasi konten yang melanggar pedoman sosial telah mendorong peran aktif platform digital seperti TikTok.
Fenomena mengemis secara online merupakan cerminan dari kompleksitas permasalahan sosial yang kita hadapi saat ini. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan kesadaran kolektif di seluruh lapisan masyarakat. Kita perlu menciptakan lingkungan digital yang sehat dan nyaman di mana setiap orang dapat berpartisipasi aktif tanpa mengeksploitasi orang lain. (mik/mik)