Jakarta, ILLINI NEWS – Menjelang lengsernya Presiden Joko Widodo, hal-hal yang dikhawatirkannya menjadi kenyataan. Akhir tahun lalu ia menyinggung penurunan nilai mata uang di Indonesia sementara pertumbuhan ekonomi berkisar 5%.
Kepala Negara saat itu mencatat, permasalahan tersebut terjadi karena sebagian besar uang rakyat masuk ke instrumen investasi Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia, seperti Surat Berharga Negara (SBN), Surat Berharga Bank Indonesia Rupiah (SRBI), dan Bank Indonesia. Luar negeri. Surat Berharga Keuangan (SVBI).
“Bisa jadi yang digunakan untuk membeli SBN, atau SRBI, atau SPBI terlalu banyak, sehingga realisasinya lebih sedikit,” kata Jokowi dalam Rapat Tahunan Bank Indonesia 2023, Sabtu (5/10/2024).
Setelah kekhawatirannya disampaikan, likuiditas bank mulai menunjukkan perbaikan. Pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) lebih cepat, meski masih tertinggal jauh dibandingkan pertumbuhan kredit.
Namun pada semester I tahun ini, pertumbuhan DPK melambat selama dua bulan berturut-turut. DPK tumbuh lambat, terutama dalam kondisi uang saat ini. Hal ini meningkatkan kekhawatiran Jokowi sebelum ia mengundurkan diri pada bulan Oktober.
Bank Indonesia (BI) mengindikasikan pertumbuhan DPK akan melambat menjadi 7,5% (YoY) pada Juli 2024 atau lebih rendah dibandingkan Juni 2024 yang sebesar 8,2% YoY. DPK turun selama dua bulan berturut-turut setelah mencapai puncaknya sebesar 8,5% YoY pada Mei 2024.
Lambatnya pertumbuhan DPK terlihat baik dalam rupiah maupun valuta asing (valas). Yield DPK Rupiah pun turun menjadi 5,9% yoy pada Juli 2024 dan devisa pun turun hingga 16,7% yoy.
Hal ini diikuti dengan menurunnya kelas menengah di Indonesia. Bagian ini harus merupakan kelas yang mempunyai distribusi pendapatan total.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), kelas menengah Indonesia menyusut sejak krisis global Covid-19. Pada tahun 2019, jumlah masyarakat kelas menengah di Indonesia sebanyak 57,33 juta jiwa atau 21,45% dari total penduduk. Kemudian pada tahun 2024 hanya tersisa 47,85 juta orang atau 17,13%.
Artinya, sebanyak 9,48 juta warga kelas menengah telah meninggalkan ruang kelas. Sebab, data kelompok menengah lemah atau middle class harusnya bertambah, dari tahun 2019 hanya 128,85 juta jiwa atau 48,20% dari total penduduk, menjadi 137,50 juta jiwa atau 49,22% dari total penduduk.
Demikian pula pada tahun 2019, kelompok penduduk miskin juga meningkat dari 54,97 juta orang atau 20,56% menjadi 67,69 juta orang atau 24,23% dari total penduduk pada tahun 2024. Artinya, jumlah kelas menengah akan semakin berkurang.
“Kami menemukan masih ada luka pandemi Covid-19 di kalangan kelas menengah,” kata Direktur BPS Amalia Adininggar Widyasanti.
Sementara itu, pertumbuhan tabungan masyarakat di bawah Rp100 juta pada Juli 2016 hingga Juli 2019 tercatat sebesar 26,3%. Sedangkan mereka yang memiliki tabungan Rp100 juta hingga Rp200 juta meningkat 29,4% pada periode yang sama.
Pertumbuhan tersebut mengalami penurunan dibandingkan Juli 2021 hingga Juli 2024 yang hanya meningkat sebesar 11,9% pada masyarakat berpendapatan kurang dari Rp100 juta dan meningkat sebesar 13,3% pada masyarakat penerima uang Rp100 juta hingga Rp200 juta. .
Berbeda dengan mereka yang mempunyai tabungan lebih dari Rp 5 miliar atau sebagian besar dihimpun oleh perusahaan komersial; mereka akan mendapat peningkatan.
Pada Juli 2016 hingga Juli 2019 tercatat terjadi peningkatan sebesar 29,7% dan pada Juli 2021 hingga Juli 2024 kembali meningkat yaitu 33,9%.
Ketua Dewan Direksi LPS (DK) Purbaya Yudhi Sadewa memperkirakan pertumbuhan bisnis DPK bisa tumbuh double digit di tahun mendatang. Menurutnya, hal tersebut bisa dicapai dengan mencapai pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 7% hingga 8%.
“Iya, kalau ekonominya bagus, pertumbuhan DPKnya juga bagus, uang saya [LPS] akan meningkat. Ekonomi juga stabil, maka uangnya akan tumbuh. Jadi ekspektasi kita seperti itu dan peluangnya besar terbuka,” ujarnya usai Bloomberg CEO Forum di St Regis Jakarta, Rabu (9/04/2024).
Purbaya juga menambahkan, jika ada pertumbuhan bisnis segera di tahun depan, angka DPK bisa kita gandakan.
Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. (BTN) Nixon Napitupulu mengatakan pendapatan ada tapi mahal karena dampak tingginya suku bunga yang diperkirakan akan terus berlanjut.
“Likuiditas aman, likuiditas tidak jadi masalah. Yang jadi masalah hanya harga. Jadi ketika Anda bertanya, ‘Apakah likuiditas ketat?’ Nixon dari Perumahan Pesona Kahuripan 9, Kabupaten Bogor mengatakan, “Pokoknya kata-katanya bukan modal, tapi harganya naik. Jadi beli baju, punya baju, tapi harganya naik,” kata Nixon dari Perumahan Pesona Kahuripan 9, Kabupaten Bogor, Minggu (8/9/2024) lalu.
Sementara itu, Direktur Keuangan dan Strategi PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) Sigit Prastowo mengatakan pendapatan masih menjadi perhatian utama perseroan pada semester II-2024. Hal ini sejalan dengan rasio pinjaman terhadap simpanan bank-bank milik negara yang mengalami peningkatan.
Ia menambahkan, permintaan kredit sangat tinggi. Namun hal tersebut tidak tertutupi oleh tingginya pertumbuhan DPK atau dana pihak ketiga.
“Kemudian yang kedua, dari segi pertumbuhan atau permintaan kredit sangat tinggi. Jadi secara keseluruhan, pertumbuhan kredit perekonomian lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan keuangan. Di dalam negeri, pinjaman tumbuh sekitar 11-12%, uang tumbuh sebesar 7%. -8%.
Selain itu, Efdinal Alamsyah, Direktur Kepatuhan OK Company, mengatakan penghematan mengalami penurunan sekitar 12% year-on-year (yoy) per 4 September 2024.
Menurut Efdinal, pengurangan pembelian menyebabkan konsumen mengalihkan pengeluarannya ke kebutuhan pokok atau barang yang lebih penting.
“Hal ini mungkin mencerminkan perubahan model bisnis, misalnya penurunan kategori bisnis seperti hiburan atau restoran, sementara ada peningkatan pada kategori makanan, minuman, atau perlengkapan rumah tangga,” ujarnya saat dihubungi ILLINI NEWS, Kamis (6 /9/2024 ).
(fsd/fsd) Simak video di bawah ini: Tantangan pengelolaan keuangan di Timur Tengah akibat krisis ekonomi mendatang menjadi ketakutan terbesar Jokowi. Tinggalkan Kantor Presiden