Keuntungan BRI naik 2,4% sementara kualitas kredit tetap lemah sementara NASDAQ memangkas data lowongan kerja hingga mencapai rekor tertinggi.
JAKARTA, ILLINI NEWS – Pasar keuangan Indonesia semakin melemah meski sentimen konflik di Timur Tengah mulai mereda. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melanjutkan rekam jejak negatifnya dan menutup lima sesi perdagangan berturut-turut di zona lemah. Sementara itu, rupee berada di level terendah sejak Agustus 2024 terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Pada penutupan perdagangan Selasa (29/10/2024), IHSG menguat 0,37% ke 7.606,60. Pada perdagangan, IHSG anjlok hingga ke level terdalam di 7.587,21.
Volume perdagangan tercatat lebih dari 28,68 miliar lembar saham dan frekuensi perdagangan melebihi 1,28 juta kali. Total nilai transaksi mencapai Rp 10,75 triliun. Sebanyak 249 saham menguat, 305 saham melemah dan 232 saham stagnan.
Enam sektor masih berakhir diperdagangkan di zona merah, dengan sektor energi tertekan cukup dalam sebesar 1,49%, disusul sektor keuangan yang melemah 1,04%, dan sektor konsumen non-siklikal melemah 0,35%. Selain itu, sektor kesehatan mengalami tekanan sebesar 0,14%, sektor siklus konsumen turun 0,11%, dan sektor utilitas turun 0,01%.
Bersamaan dengan IHSG, rupee kembali terdepresiasi terhadap dolar AS di tengah penantian rilis data ketenagakerjaan AS serta ketidakpastian arah kebijakan politik Jepang yang berpotensi mempengaruhi kebijakan suku bunga.
Berdasarkan data Refinitiv, rupee ditutup melemah 0,22% di Rp 15.755/US$ pada akhir perdagangan Selasa (29/10/2024). Sehari penuh, rupiah berfluktuasi pada kisaran Rp 15.720/US$ hingga Rp 15.777/US$.
Pelemahan tersebut merupakan yang terdalam sejak IDR menguat ke 15.830/US$ pada 13 Agustus 2024.
Kepala Bidang Pengelolaan Aset Mata Uang dan Surat Berharga BI Edi Susianto mengatakan, tekanan terhadap nilai tukar rupiah juga dirasakan mata uang Asia lainnya. Ia mengatakan, tekanan ini tercipta karena situasi global yang kurang mendukung.
“Saya melihat beberapa nilai tukar mata uang Asia hari ini melemah terhadap dolar AS, faktor pendorongnya berasal dari sentimen global yang kurang menguntungkan,” kata ED saat dihubungi, Selasa, (29/10/2024).
Eddy menjelaskan, kondisi global membuat perkembangan produksi data dasar Amerika Serikat melebihi ekspektasi pasar. Dia mengatakan rilis data tersebut melemahkan ekspektasi penurunan suku bunga Fed Funds Rate (FFR) yang lebih agresif.
“Selain itu, pernyataan pejabat The Fed cenderung tidak terlalu ambigu,” ujarnya.
ED mengatakan, tekanan ini juga tercipta karena adanya aksi balasan Israel terhadap Iran. Ia mengatakan, situasi geopolitik mendorong penguatan Indeks Dolar AS (DXY). Terakhir, dia mengatakan tekanan ini juga disebabkan oleh hilangnya data dasar di China dan Eropa.