Catatan: Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Dewan Redaksi illinibasketballhistory.com.
Pembentukan Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) di bawah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tidak lepas dari hasil pelaksanaan reformasi yang bertujuan untuk meningkatkan pengelolaan keuangan publik di Indonesia. Setelah semangat mewujudkan tata pemerintahan yang baik muncul, pemerintah pusat mengambil langkah perubahan melalui reformasi hukum, reformasi organisasi, dan reformasi birokrasi.
Reformasi hukum tersebut dibarengi dengan berlakunya Undang-undang Nomor 17 “Tentang Keuangan Negara” pada tahun 2003, dan kemudian Undang-Undang Nomor 1 “Tentang Perbendaharaan Negara” pada tahun 2004. Kedua ketentuan ini merupakan awal pelaksanaan reformasi perbendaharaan (organisasi).
Kantor vertikal regional Departemen Keuangan adalah Administrasi Pelayanan Perbendaharaan Negara atau KPP. KPPN bertugas melaksanakan kewenangan perbendaharaan dan bendahara utama, menyalurkan pembayaran dari rekening APBN, serta mengelola anggaran pendapatan dan belanja melalui kas negara dan kas negara sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Keberadaan kantor yang menjalankan fungsi pembayaran kepada negara sudah lama diketahui masyarakat. Namun namanya yang semula Badan Perbendaharaan Negara (KBN), Badan Perbendaharaan Negara (KPN), dan Badan Perbendaharaan Negara (KKN), mengalami beberapa kali perubahan, dan digabung dengan Badan Perbendaharaan Negara dan Departemen Perbendaharaan (KPKN) pada tahun 1990. ) dan akhirnya menjadi KPPN sejak tahun 2005.
Reformasi birokrasi dilakukan pada tahun 2007-2008 dengan dibentuknya Pilot CPP. Praktik perpajakan ilegal atau praktik penerimaan tip atas layanan yang diberikan perlahan tapi pasti telah diminimalkan atau bahkan dihilangkan melalui reformasi layanan, misalnya restrukturisasi organisasi. Menyederhanakan SOP, menjadikan sumber daya manusia adil dan memadai dalam hal remunerasi.
Pelayanan zero cost atau gratis telah menjadi standar pelayanan bagi 181 KPPN yang tersebar di seluruh Indonesia dan hal ini telah diterapkan dalam praktik; Banyak tanggapan dan referensi positif yang datang dari pemangku kepentingan dan masyarakat. Perubahan lainnya adalah Surat Perintah Pembayaran (SPM) yang tidak ditandatangani dalam bentuk kertas diterbitkan dalam bentuk ADK yang dilengkapi dengan pengamanan berupa pin PPSPM (2012).
Reformasi ini dilakukan mengingat maraknya penyalahgunaan kekuasaan pada masa “zaman kebodohan” seperti penyaluran dana publik secara ilegal (dengan memalsukan tanda tangan SPM), manipulasi DIPA, bahkan proyek palsu. Kondisi ini perlu direformasi untuk pengelolaan keuangan publik yang lebih baik, transparan dan akuntabel.
Reformasi hukum, organisasi, dan birokrasi yang dilakukan terus membuahkan hasil positif. LKPP tahun 2016 berhasil memperoleh kesimpulan Tidak Wajar (WTP) dari BPK, menggantikan status wajar pada tahun sebelumnya menjadi status khusus (WDP).
Pencapaian ini merupakan yang pertama sejak tahun 2004 dalam 12 tahun penanggung jawab pelaksanaan APBN dalam bentuk LKPP. Keberhasilan tersebut diraih setelah Kementerian Keuangan meluncurkan Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SBS) dan Badan tersebut. Sistem Penerapan Keuangan Bertingkat (SAKTI).
SPAN merupakan suatu sistem terpadu yang mengatur proses pengelolaan APBN mulai dari perencanaan/penganggaran hingga pelaporan atas nama Bendahara Negara (BUN/menteri keuangan).
SAKTI merupakan suatu sistem yang mengintegrasikan proses perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan dan pelaporan anggaran pendapatan dan belanja negara pada K/L yang disebut satuan kerja (stakeholder KPPN) pada lembaga pemerintah atau daerah.
DIPA, SP2D (Surat Perintah Pembayaran Dana), Bukti Penerimaan Negara dll. Dengan sumber dokumen yang sama, antara lain SPAN oleh BUN dan SAKTI untuk satker, maka diterbitkan laporan keuangan sebagai berikut: Laporan keuangan, yang merupakan bentuk pelaporan kinerja anggaran.
Sebelumnya, sebelum penerapan SPAN dan SAKTI, KPPN dan Satker telah mempunyai database sendiri. Hal ini dapat memberikan gambaran mengenai kualitas laporan keuangan (FS) yang dihasilkan, sehingga wajar jika BPK mengeluarkan opini WDP atau bahkan mengeluarkan disclaimer terhadap produk LF yang dihasilkan.
DJPb terus mengalami perubahan dengan cara yang berbeda dari sebelumnya. Sebagai seorang kasir/BUN, cara pandangnya perlu diubah dan disesuaikan dengan kebutuhan nyata. “DJPb baru di kota” merupakan semangat baru untuk menjadikan DJPb bekerja melebihi tugasnya. Salah satu caranya adalah dengan mempertegas nilai-nilai Adaptable, Trustworthy, Digital, Accountable dan Loyal atau disingkat HandDAL.
Agar dapat memberikan rekomendasi kebijakan sesuai kondisi daerah, DJPb harus mampu memanfaatkan data yang berlimpah untuk membaca, menganalisis, dan merasakan denyut perekonomian di daerah secara komprehensif dan akurat. Hal ini akan dilakukan melalui penerapan Regional Chief Economist (REC).
RCE menghasilkan berbagai kajian, analisis dan rekomendasi kebijakan yang dapat digunakan dalam pengambilan kebijakan di tingkat daerah dan pusat. DJPb juga memperluas manfaatnya melalui peran barunya sebagai Penasihat Keuangan (FA), yang secara aktif bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk berbagi informasi, membantu atau melatih pengelolaan keuangan publik.
Peran FA dilandasi oleh pemahaman pengelolaan keuangan publik yang baik, tidak hanya dari segi APBN saja, namun juga pemahaman Pemerintah Daerah terhadap pengelolaan APBD.
Sebagai organisasi yang terus berkembang, DJPb tidak hanya berfokus pada bidang-bidang baru, namun juga pada industri-industri lama seperti perbendaharaan. Hal ini ditandai dengan penyaluran Transfer Ke Daerah (TKD) melalui KPPN yang diawali dengan penyaluran Dana Penyaluran Pribadi Fisik (PDF) dan Dana Desa pada tahun 2017 dan akan diperluas ke seluruh penyaluran TKD melalui KPPN mulai tahun 2023. Penyaluran TKD akan memperkuat fungsi Kanwil dan CPP dalam memenuhi peran FA.
DJPb telah melalui proses transformasi yang panjang dalam perjalanannya hingga mencapai titik tersebut. DJPb telah beroperasi hampir dua dekade sejak Undang-Undang Perbendaharaan Negara Nomor 1 Tahun 2024 disahkan pada tahun 2004.
Tantangan dan pengalaman dalam kurun waktu yang panjang menjadi motivasi DJPb untuk merespon dengan cepat perubahan-perubahan yang muncul. Kesuksesan ini tentu bukanlah titik akhir.
Sejalan dengan tema Hari Dinas Perbendaharaan ke-20 tahun ini, “20 Tahun Perubahan Berkelanjutan Perbendaharaan Indonesia dalam Melayani Negeri”, kami berharap DJPb terus menerapkan tata kelola yang baik dengan tetap menjaga semangat dalam menjalankan tugas dan fungsi organisasinya. (miq/miq)