Jakarta, ILLINI NEWS – Menjadi seorang jenderal merupakan dambaan seluruh prajurit berpangkat paling bawah. Namun, apa jadinya jika prajurit yang meraih impian tersebut pensiun dini dan menjadi penjual ayam?
Hal inilah yang dialami Marsekal TNI (Purn) Sri Mulyono Herlambang. Setelah bekerja keras menjadi jenderal bintang tiga, Sri Muyono tiba-tiba pensiun dan fokus berjualan ayam.
Sri Mulyono Herlambang merupakan prajurit TNI dari Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Awalnya, ia memulai karirnya sebagai pilot dan berlanjut sebagai perwira tempur hingga menjadi Panglima Tertinggi TNI Angkatan Udara. Pada November 1965, Sri diangkat menjadi Kepala Staf Udara oleh Soekarno menggantikan Omar Dani.
Meski begitu, penunjukan Sri terjadi setelah badai besar dalam politik Indonesia, yakni Gerakan 30 September (G30S) yang mengakibatkan tewasnya seorang perwira TNI. Pasca G30S, AURI menjadi unit yang paling diwaspadai lawan politik Sukarno karena dituduh ikut operasi darah.
Dikutip dari Kronik’65 (2017), Soekarno sebenarnya membantah tudingan tersebut namun tidak bisa menghentikan tudingan tak berdasar terhadap AURI. Faktanya, reputasi AURI terus terpuruk. Memang ada pergantian pejabat senior, seperti Omar Dhani yang digantikan sebagai Kepala Staf Udara oleh Sri Mulyono. |
Namun karir Sri sebagai Kepala Staf tidak bertahan lama. Empat bulan kemudian, dia juga digantikan. Menurut Humaidi dalam “Politik Militer TNI Angkatan Udara pada Masa Pemerintahan Sukarno” (2008), perubahan tersebut merupakan bentuk pembersihan internal di lingkungan TNI AU, karena mereka semua mempunyai hubungan dekat dengan Sukarno dan diduga ikut serta dalam G30S. Faktanya, tidak ada bukti bahwa dia terlibat. |
Bahkan, tudingan tersebut berujung pada penahanan Omar al-Dani dan Sri oleh pemerintah Orde Baru. Sri ditahan hanya satu tahun. Sedangkan Omar sempat ditahan cukup lama. Ketika kerusuhan besar ini terjadi, Sri mengundurkan diri dari TNI AU pada 1 April 1967 setelah 17 tahun mengabdi. Mulai dari masyarakat hingga peternak ayam
Ketika tak lagi berpangkat marshal (alias jenderal bintang tiga), Sri berubah pikiran dan memulai hidup baru sebagai peternak ayam.
“Dengan begitu, saya terhindar dari rasa iri dan dengki yang merupakan ciri khas pergantian rezim. Sebab, siapa peduli ayam, kata Sri Mulyono Herlambang kepada Tempo (29 Agustus 1999).
Ia berbisnis di pekarangan rumahnya di kawasan Jakarta Selatan dengan mengimpor ayam petelur dan ayam broiler dari Amerika Serikat dan Jepang. Pada tahun 1970-an, masyarakat Indonesia lebih menyukai ayam asli sehingga kemunculan ayam kampung yang diusung Sri dianggap sebagai sumber kekayaan. |
Meski begitu, bagi seorang prajurit sejati, berbisnis bukanlah hal yang mudah, apalagi beternak ayam. Namun, dia terus mengejarnya karena itu adalah satu-satunya nyawanya. |
“Saya tidak mempunyai hobi beternak ayam. Tapi karena harus beternak ayam, saya mencobanya,” kata Sri Mulyono Herlambang dalam Apa dan Sapa Wong Indonesia 1983-1984 (1984: 276).
Pada akhirnya, keyakinan ini benar. Usaha ayam Sri sukses di pasaran. Ia juga mendirikan PT Daria Poultry Farm. Produksi ayam broiler mingguan yang terjual mencapai 750 ekor. Bahkan, pada 1980-an, ia bisa menjual 5.000 ekor ayam dan mendapat penghasilan Rp 250.000 per minggu. |
Kesuksesan bisnis ayam juga tak lepas dari kerja sama dengan pengusaha Bob Sardino. Sri memberi Bob 50 ekor ayam gratis sebagai dana untuk membuka restoran Kem Chicks. Selain sukses, Kem Chiks juga mendapat untung sebagai pemasok ayam. |
Seiring berjalannya waktu, Sri tidak hanya berjualan ayam, tapi juga terjun di bidang penerbangan. Mereka memperdagangkan suku cadang, perlengkapan bandara, transportasi udara dan konsultasi penerbangan, semuanya di bawah payung PT Conavi Aviation Consultant.
Karya Sri berakhir pada 21 Mei 1907 karena sakit. Sebelum kematiannya, ia kembali terkenal karena kesuksesan wirausahanya. (mfa/mfa) Tonton video di bawah ini: Video: Lirik tentang prospek bisnis global produk perawatan rambut lokal Artikel berikutnya Prajurit menjadi orang terkaya di Jawa, punya tanah di pinggiran kota Jakarta.