Jakarta, ILLINI NEWS – Beberapa perusahaan Jerman telah menyewa penyelidik swasta untuk menyelidiki apakah karyawan yang cuti sakit jangka panjang sakit. Cara ini dinilai efektif untuk menyingkirkan pekerja yang tidak produktif.
Menurut AFP, agen detektif swasta, Lentz Group di Frankfurt, mengalami peningkatan bisnis sebagai hasilnya. Marcus Lentz, pendiri perusahaan, mengungkapkan bahwa timnya menerima hampir 1.200 komisi dalam setahun atau sekitar dua kali lipat dari jumlah tahun sebelumnya.
Menurut badan statistik federal Destatis, pekerja Jerman akan mengambil rata-rata 15,1 hari cuti sakit pada tahun 2023, naik dari 11,1 hari pada tahun 2021.
Tingginya tingkat pengangguran ini diperkirakan akan menurunkan PDB Jerman sebesar 0,8 persen pada tahun 2023 sehingga menyebabkan kontraksi ekonomi sebesar 0,3 persen.
TK, salah satu perusahaan asuransi kesehatan wajib terkemuka di Jerman, juga melaporkan rata-rata cuti sakit yang lebih tinggi yaitu 14,13 hari di antara karyawan yang diasuransikan dalam sembilan bulan pertama tahun 2024.
Menurut data Organisasi untuk Pembangunan Ekonomi (OECD), orang Jerman akan kehilangan rata-rata 6,8 persen jam kerja mereka pada tahun 2023 karena sakit, lebih buruk dibandingkan negara-negara Uni Eropa (UE) lainnya seperti Prancis, Italia, dan Spanyol.
Salah satu kemungkinan penyebab tingginya angka cuti sakit adalah kemudahan mendapatkan izin cuti medis karena kebijakan pascapandemi.
Selama pandemi Covid-19, Jerman memperkenalkan sistem yang memungkinkan pekerja dengan gejala ringan menerima sertifikat cuti sakit melalui telepon.
Kebijakan ini ditengarai akan banyak diterapkan pascapandemi. Banyak orang mencurigai penyakit seperti batuk atau berpura-pura gejalanya saat menelepon untuk mendapatkan cuti sakit.
Di Jerman, pekerja yang sakit berhak mendapat gaji penuh dari majikannya selama enam minggu dalam setahun. Setelah jangka waktu tersebut, lembaga asuransi kesehatan akan mengambil alih dengan membayarkan tunjangan sakit.
Karena adanya beban keuangan, beberapa perusahaan beralih ke peneliti swasta untuk melakukan penelitian guna mengatasi kekurangan tenaga kerja, meskipun biayanya mungkin tinggi.
“Semakin banyak perusahaan yang tidak mau menerima cuti sakit. Jika seseorang cuti sakit selama 30, 40 atau terkadang hingga 100 hari dalam setahun, maka suatu saat karyawan tersebut menjadi tidak menarik bagi perekonomian pemberi kerja,” Lentz . katanya kepada AFP.
(hsy/hsy) Simak videonya di bawah ini: Video: Perjalanan Shin Tae Yong Bersama Timnas Indonesia