Jakarta, ILLINI NEWS Indonesia – Peringatan likuiditas perbankan kembali aktif. Hal ini sejalan dengan pertumbuhan kredit yang jauh lebih tinggi dibandingkan dana pihak ketiga (DPK).
Mengutip data Bank Indonesia, per November 2024, pinjaman perbankan tumbuh 10,79% year-on-year (y-o-y), sedangkan dana pihak ketiga (DPK) tumbuh 6,3% year-on-year.
Sementara pada periode yang sama, rasio alat likuid terhadap non-core deposit (AL/NCD) mencapai 112,94 persen, dan rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) sebesar 25,57 persen.
Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk Tbk David E. Sumual mengatakan likuiditas perbankan masih sangat tinggi jika dilihat dari rasio, namun terbatasnya ketersediaan likuiditas tercermin dari harganya.
Kalau dilihat dari likuiditasnya dari segi harga atau suku bunga. Kalau dilihat dari harga misalnya antar bank cenderung naik, ujarnya kepada ILLINI NEWS, Selasa (14/1/2025).
Sebagai referensi, imbal hasil IndONIA tercatat sebesar 6,05% per 10 Januari 2025. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan BI rate yang berada di angka 6% per 18 September 2024.
Padahal, jika ditilik lebih jauh, pada pertengahan Agustus 2024 hingga Januari 2025, imbal hasil (yield) IndONIA seringkali lebih tinggi dibandingkan BI rate.
David melanjutkan, hal tersebut disebabkan oleh suku bunga Surat Berharga Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang kini mencapai 7,23%. Akibatnya instrumen investasi lain seperti deposito perbankan kurang menarik.
Likuiditas bank terbatas karena saling bersaing, pemerintah punya SBN, BI punya SRBI, bukan bank lain, ujarnya.
Hal ini sendiri menjadi kekhawatiran jika terus berlanjut dalam jangka panjang, pada akhirnya akan berdampak pada penyaluran kredit dan ketahanan sektor perbankan.
“Pada akhirnya, kami khawatir jika kondisi ini terus berlanjut,” kata David.
Secara terpisah, Kepala Ekonom BSI Banjaran Surya Indrastomo mengatakan tahun depan, surat utang pemerintah tahunan sekitar Rp700 triliun akan jatuh tempo dalam tiga tahun ke depan, kebutuhan likuiditas sekitar Rp1.300 triliun per tahun.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika fenomena perang saham banyak terjadi di sektor perbankan. Bank harus bersaing dengan pemerintah yang menerbitkan instrumen dengan imbal hasil yang lebih menarik
Sementara itu, Ekonom Center for Economic and Legal Studies (Celios) Nailul Huda sepakat, jika kondisi fund-fighting antara pemerintah dan perbankan terus berlanjut, maka akan menurunkan kemampuan bank dalam mengamankan pendanaan.
Sebab, perbankan akan sulit bersaing dengan SRBI yang memiliki imbal hasil lebih tinggi dan risiko lebih rendah dibandingkan deposito.
Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. (BTN) Nixon Napitupoulou mengatakan likuiditas saat ini masih tersedia di pasar, namun mahal.
“Likuiditas aman. Kendalanya cuma harga. Jadi kalau ditanya ‘Likuiditasnya terbatas?’
(mx/mx) Tonton video di bawah ini: video: BI. Perbankan ‘nikmati’ Kesenjangan Likuiditas Rp 295 Triliun Artikel berikutnya Kekhawatiran Jokowi di akhir masa jabatannya semakin nyata, berikut bukti terbarunya: