Catatan: Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan dewan redaksi illinibasketballhistory.com.
Kabar meninggalnya mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis Anestesiologi (PPDS) Universitas Diponegoro (Undip), Dr. Aulia Risma Lestari mengatasi kesedihan. Tidak hanya pihak keluarga, namun juga civitas akademika luas tempat mendiang menimba ilmu, serta seluruh mahasiswa kedokteran yang sedang menempuh pendidikan di sekolah spesialis di negeri ini.
Meski masih dikonfirmasi oleh Dr. Namun Aulija, kejadian ini menandai puncak gunung es terkait sulitnya memperoleh pendidikan dokter spesialis di Indonesia. Mahasiswa residensi, sebutan bagi mahasiswa program kedokteran khusus, harus bekerja berjam-jam tanpa dibayar, namun juga diwajibkan belajar untuk menjadi dokter spesialis yang harus melayani pasien 84 jam seminggu di rumah sakit umum. Sebagai perbandingan, jam kerja mahasiswa residen di rumah sakit umum bisa dua kali lipat beban kerja masyarakat Indonesia, meski Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) menyatakan jam kerja adalah 40 jam per minggu. Beban jam kerja yang panjang sungguh tidak masuk akal jika dihitung sesuai peraturan ketenagakerjaan negara ini. Jam kerja bagi pelajar yang tinggal di Indonesia saat ini serupa dengan model belajar di AS, yaitu 80 jam per minggu, namun perbedaannya adalah pelajar luar negeri bekerja dengan jam kerja lebih lama dan diberi kompensasi sesuai dengan nilainya. Banyak data yang menunjukkan rata-rata gaji dokter residen di AS bisa mencapai 900 juta. Rp per tahun.
Di Australia, dokter residen memperoleh penghasilan antara Rp900 hingga Rp1,2 miliar per tahun. Bahkan di India, negara yang PDB per kapitanya masih lebih rendah dibandingkan Indonesia, dokter residen juga dibayar. Gaji dokter residen di negeri ini berkisar antara 5 hingga 11 juta. Rp per bulan. secara kolektif di negara ini. Uang bukanlah segalanya, namun segalanya membutuhkan uang untuk bertahan hidup.
Tekanan uang ini juga menjadi masalah nyata jika seorang dokter umum ingin menjalani pelatihan sebagai dokter spesialis. Kasarnya, untuk menjadi dokter spesialis, jika tanpa beasiswa, dibutuhkan biaya pendidikan hingga Rp 1 miliar. Jumlah yang tentunya tidak sedikit, dalam hal ini dr. Aulia dan banyak residen yang belajar di program beasiswa. Sebelum meninggal, dokter muda dan cerdas kelahiran Tegali, Jawa Tengah ini mengeluhkan kesibukannya belajar dan bekerja di rumah sakit umum.
Bahkan almarhum dikabarkan mempertimbangkan untuk mundur dari PPDS namun akhirnya memutuskan tetap tinggal karena menuntut pengembalian dana beasiswa yang jumlahnya sedikit dan jarang, yang sepertinya terlalu banyak untuk disebutkan kepada Dr. Aulia akibat akibat perilaku kekerasan yang dilakukan orang dewasa. Tuduhan tersebut tampaknya dilontarkan dalam konteks tanggung jawab dan beban kerja dokter residen, kecuali Drs. Auliya, sebenarnya pemerintah harus mencari solusi bagi para dokter residen yang berusaha menjadi dokter spesialis. Bukankah kita masih membutuhkan banyak dokter spesialis, setidaknya menurut informasi yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di PPDS RSPPU awal tahun 2024. Hingga bulan Mei, saat ini jumlah dokter dan jumlah penduduk di Indonesia hanya 0,46 per 1000 penduduk. Hal ini menempatkan Indonesia pada peringkat 147 dalam hal jumlah dokter spesialis. Menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes), juga menunjukkan bahwa Indonesia saat ini kekurangan 124.000 dokter umum dan 29.000 dokter spesialis. Fakta lain menunjukkan Indonesia hanya mampu melatih 2.700 dokter spesialis setiap tahunnya.
Dari jumlah tersebut, pekerjaan dokter spesialis belum merata dan masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, dimana sekitar 59% dokter spesialis Indonesia bekerja. Permasalahan tersebut juga diperparah dengan kenyataan bahwa dokter residen yang berjuang untuk mendapatkan gelar tampaknya berada di dua institusi yang menaunginya selama ini, yakni. di lembaga pendidikan dan rumah sakit pendidikan.
Dari segi akademik, mahasiswa residen berstatus mahasiswa Fakultas Kedokteran milik Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Namun karena mereka bekerja tanpa dibayar di rumah sakit, maka status mereka pun menjadi milik Kementerian Kesehatan. Situasi ini semakin pelik karena ketika berita meninggalnya dr. Yang Mulia, dalam waktu singkat Kementerian Kesehatan melalui Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan (Dietjen Jankes) mengeluarkan nomor TK.02.02/D/44137/2024 tentang penghentian sementara program pelatihan anestesi Undip Semarang di Kariadi RSUD. semarang. dugaan bullying yang berujung pada bunuh diri salah satu siswa program pendidikan tersebut. Alasan penghentian sementara tersebut terkait dengan investigasi yang dilakukan Kementerian Kesehatan.
Penulis menilai masih terlalu dini bagi Kementerian Kesehatan untuk mengambil keputusan. Dengan adanya keputusan tersebut, sebenarnya kekurangan pihak RS pemerintah, dengan ditutupnya sementara program pelatihan tersebut, maka sedikitnya ada 84 calon dokter dari FC Undip yang tidak lagi mencurahkan waktu dan tenaganya. mendukung pekerjaan medis di RS Kariadi. Tentu saja hal ini berdampak sangat buruk terhadap pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang berobat, dan permasalahan yang akan dihadapi calon dokter di masa depan patut menjadi perhatian serius para politisi negeri ini. Pihak berwenang tidak hanya harus menghukum, tetapi juga memberikan pelayanan terbaik kepada mereka, calon dokter spesialis yang sudah bekerja dengan sukses. (mikrofon / mikrofon)