Catatan: Artikel ini merupakan opini penulis dan belum tentu mencerminkan pandangan redaksi illinibasketballhistory.com
Minyak dan gas alam merupakan sumber daya alam terpenting di Indonesia. Sumber daya alam (SDA) ini memberikan pendapatan dan energi penting bagi perekonomian nasional.
Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa pemerintah menyelenggarakan cabang-cabang penting produksi minyak dan gas bumi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Maksudnya, apakah landasan konstitusi sudah terlaksana dan membawa banyak manfaat bagi kehidupan masyarakat negeri ini?
Pertanyaan ini penting untuk ditanyakan karena menunjukkan peran negara dalam mengelola sumber daya alam untuk kepentingan masyarakat. Namun dengan terbitnya UU No. 21 Tahun 2001 mengubah sifat pengelolaan migas sehingga membatasi kewenangan negara.
Undang-undang ini menempatkan kontrak pemerintah melalui Komisi Pengaturan Perminyakan dan mengklasifikasikannya sebagai Business to Government (B2G). Selain itu, kontrak perdata dapat mengurangi penguasaan negara terhadap sumber daya alam, dimana jika terjadi perselisihan negara dapat dituntut ke arbitrase nasional.
Prinsip ini sebenarnya bertentangan dengan prinsip pengelolaan sumber daya alam yang harus berdasarkan hukum publik. Yakni, putusan Mahkamah Konstitusi no. 36/PUU-X/2012 menyatakan hubungan Komisi Pengatur Migas dengan pedagang bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.
Setidaknya Mahkamah Konstitusi (MK) menemukan tiga hal penting terkait pengelolaan migas oleh Badan Pengatur Migas yang dinilai bertentangan dengan konstitusi negara. Pertama, pemerintah tidak bisa langsung mengendalikan atau menunjuk BUMN untuk mengelola seluruh fasilitas migas.
Kedua, negara terikat pada isi kontrak bersama setelah penandatanganan Badan Migas. Akibatnya negara kehilangan kebebasan mengatur atau mengeluarkan kebijakan yang kontradiktif.
Ketiga, potensi penguasaan migas oleh badan hukum swasta dapat mengurangi keuntungan negara. Menyikapi hal tersebut, Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden No. 9 Tahun 2013 menetapkan SKK Nafta i gas sebagai pengganti sementara gas bumi BP Nafta i. Sayangnya, situasi sementara ini menimbulkan ketidakpastian hukum.
Ketidakpastian hukum ini dapat menghambat perkembangan industri minyak dan gas di Indonesia. Hal ini mengindikasikan adanya penurunan produksi minyak dalam negeri. SKK Migas sebagai wakil negara di bidang pengelolaan migas hampir identik dengan BP Migas karena masih mengikuti hukum perdata khusus BUMN. BUMN mempunyai keunikan sebagai pengelola migas di Indonesia. Usulan ini memungkinkan adanya peran unik BUMN dalam menyediakan kapasitas pengelolaan migas. Langkah ini setidaknya merupakan bentuk keleluasaan negara dalam mengelola sumber daya alam yang diberikan kepada negara ini.
Bersamaan dengan usulan tersebut, ada juga usulan agar SKK Migas menjadi BUMN khusus di bidang pengelolaan migas. Hal ini tentu menarik membahas rencana perubahan status SKK Migas menjadi BUMN tersendiri dalam rancangan reformasi UU Migas.
Menurut penulis, setidaknya ada dua permasalahan yang perlu dibenahi. Pertama, soal model konsesi dari negara kepada BUMN pada khususnya. Kedua, dengan adanya perubahan posisi SKK Migas maka posisinya dapat diperkuat dan kepastian hukum dalam pengelolaan yang baik dapat terjamin.
Sementara itu, sejak putusan Mahkamah Konstitusi No. 36/PUU-X/2012, agenda reformasi undang-undang migas masuk dalam rencana undang-undang nasional pemerintah. Sayangnya, hingga saat ini amendemen UU Migas belum mendapat kejelasan.
Padahal, audit ini sangat penting untuk menjamin kepastian hukum mengenai pengelolaan migas di Indonesia. Perlu ada kejelasan mengenai status badan pengganti BP Migas yakni SKK Migas karena saat ini hanya diatur melalui Keputusan Presiden No. 9 dari tahun 2013.
Sejauh ini DPR RI telah mengusulkan sejumlah pengganti BP Migas dalam reformasi UU Migas. Fokus utamanya adalah pada draf versi Maret 2014 yang mengusulkan pembentukan BUMN khusus migas.
Pembentukan BUMN khusus ini dinilai lebih tepat karena bisa mandiri dalam pelaksanaan pengolahan migas. Dalam hal ini, BUMN khusus akan mempunyai hak kepemilikan atas sektor migas dan dapat melakukan kontrak kemitraan perdata.
Konsesi pengelolaan migas Sesuai prosedur resmi, SKK Migas bisa berubah status menjadi BUMN khusus karena memenuhi syarat pendirian pusat bisnis. Untuk menjamin keamanan hukum SKK Migas dan mendukung pengembangan sektor migas, pemerintah harus merevisi undang-undang migas dan menyatakan SKK Migas sebagai BUMN khusus melalui konsesi.
Kami berharap perubahan posisi ini dapat memperkuat peran SKK Migas dalam pengelolaan sektor migas. Selain itu, status khusus BUMN dinilai lebih dari setara dengan konsep kontrak kemitraan publik.
Selain itu, dalam hal pengelolaan minyak dan gas – yang notabene merupakan sumber daya alam yang penting – pemerintah dapat memberikan konsesi kepada BUMN atau swasta dan menjamin kepemilikannya berdasarkan hukum publik. Saat ini, perusahaan publik atau perusahaan swasta dapat melakukan pengelolaan melalui kontrak bersama, yang dijalankan berdasarkan hukum perdata.
Pemberian konsesi oleh pemerintah kepada perusahaan milik negara atau swasta sehubungan dengan pengelolaan sumber daya alam Indonesia merupakan bagian dari hak kebebasan bertindak atau berpendapat pemerintah. Sumber utama mengacu pada UUD’45 UUD’45 Pasal 33 ayat 2.
Semua kewenangan tersebut akan dipengaruhi oleh kebijakan tata kelola yang memungkinkan pemerintah menunjuk lembaga swadaya masyarakat untuk mengelola sumber daya alam yang tidak dapat dikelola oleh pemerintah sendiri.
Undang-Undang Tata Usaha Negara mengatur batasan kewenangan diskresi pejabat publik dalam memberikan konsesi, termasuk persyaratan bahwa konsesi harus mendapat persetujuan sebelum melakukan kegiatan. Kemudian persetujuan itu diberikan setelah adanya kesepakatan antara Pemerintah dengan BUMN atau swasta, dan kegiatan yang dilakukan memerlukan perhatian khusus.
Yang terpenting, PT Pertamina bisa menguasai sektor minyak dan gas Indonesia. Namun hal ini bisa menambah beban kerja PT Pertamine yang sudah padat. Di sisi lain, Indonesia memiliki SKK Migas yang masih beroperasi meski berdasarkan Keputusan Presiden No. 9 Tahun 2013 tanpa kepastian hukum yang memadai.
Oleh karena itu, solusi paling tepat adalah pemerintah merevisi UU Migas dengan menetapkan SKK Migas sebagai BUMN khusus yang bertanggung jawab mengelola sektor hulu migas, dengan kewenangan yang ditetapkan oleh presiden.
Nantinya, SKK Migas akan mengikuti aturan yang direvisi dan diterbitkan Pemerintah. Hal ini berangkat dari asas lex specialis derogate legi generale yang mengutamakan undang-undang khusus di atas asas keamanan hukum SKK Migas Pusat. menangkal. Pemerintahan baru disarankan untuk mengkaji ulang undang-undang migas agar SKK Migas menjadi organisasi BUMN tersendiri yang ditunjuk pemerintah untuk mengelola sektor migas Indonesia.
Setidaknya BUMN Khusus ini tidak bersifat usulan pembentukan holding BUMN yang hanya mengelola panas bumi. BUMN yang satu ini bisa berbuat lebih dari itu, membuktikan bahwa mengelola sektor migas Indonesia memang bisa menjamin kepemilikan nasional.
Dengan menjalankan kekuasaan diskresi, konsesi memastikan bahwa setiap tindakan yang diambil pada akhirnya mempunyai dasar hukum yang kuat. Terakhir, perubahan status SKK Migas menjadi BUMN khusus melalui konsesi ini diharapkan dapat meningkatkan legalitas pelaksanaan kegiatannya guna menjamin pengelolaan sumber daya alam yang baik dan memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia dan negara. . . (miq/miq)