Catatan: Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan redaksi illinibasketballhistory.com
Program akuisisi sistem persenjataan Indonesia tidak terbatas pada izin ekspor, negosiasi dengan pemasok potensial, dan teknologi yang dapat diperoleh Jakarta dari kegiatan ini. Masalah teknis terkait pembelian senjata tidak hanya menjadi kewenangan Kementerian Pertahanan, tetapi juga Kementerian Keuangan.
Hal-hal teknis yang berkaitan dengan pinjaman luar negeri (PLN) dan dalam negeri (PDN) merupakan tanggung jawab Kementerian Keuangan, meskipun Kementerian dapat memveto perjanjian Kementerian Pertahanan Negara jika terjadi perselisihan dengan calon pemberi pinjaman dan/atau perusahaan asuransi.
Merupakan tugas Menteri Keuangan untuk mempertimbangkan dengan cermat usulan pesanan pembiayaan yang diajukan oleh calon pemberi pinjaman dan perusahaan asuransi, baik dari segi tingkat bunga utang, tingkat komisi komitmen, nilai komisi pengelolaan, dan nilai. asuransi yang berkaitan erat. risiko yang diakibatkannya tunduk pada kontrak.
Salah satu tantangan dalam program pengadaan alutsista MEF 2020-2024 adalah keinginan Kementerian Pertahanan untuk membeli sebanyak-banyaknya alutsista buatan Turki, padahal sebagian besar target peralatan perang tersebut belum diuji hingga tingkat matang. misalnya rudal Hisar, rudal Cakir, rudal Atmac dan Cafrad.
Pembelian ini menjadikan Indonesia hanya sekedar laboratorium lapangan bagi Turki, karena Jakarta tercatat sebagai pelanggan ekspor pertama senjata tersebut. Dengan menjadi laboratorium lapangan, Indonesia menjadi bagian dari proses pembelajaran produk pertahanan Turki, karena suatu sistem persenjataan dapat dianggap teruji dan matang jika digunakan secara intensif selama kurang lebih sepuluh tahun.
Memang ada sesuatu yang tidak masuk akal dalam ambisi ini, karena tampaknya sama sekali mengabaikan pertimbangan teknis dan operasional yang rasional.
Ambisi untuk mengerahkan sebanyak mungkin mesin perang buatan Turki harus mempertimbangkan fakta bahwa peringkat kredit Turki berada di luar kisaran peringkat investasi yang ditetapkan oleh tiga lembaga pemeringkat internasional, yakni Fitch Ratings, S&P Global Ratings, dan Moody’s.
Selama periode ini, selama Indonesia menggunakan standar emas untuk mengimpor sistem persenjataan dari Turki, Jakarta juga harus mematuhi kriteria pasar keuangan internasional, dimana kelayakan kredit Turki merupakan salah satu faktor utama yang dipertimbangkan oleh calon pemberi pinjaman dan perusahaan asuransi ketika memberikan pinjaman ke Indonesia. .
Fakta menunjukkan bahwa dalam hal pengadaan publik langsung dari Turki dan tidak melalui negara ketiga, tidak ada Lembaga Penjaminan Kredit Ekspor (LPKE) yang bersedia bertindak sebagai penanggung dan tidak ada lembaga keuangan internasional yang bersedia bertindak sebagai pemberi pinjaman.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika belakangan ini, atas persetujuan Menteri Keuangan, sejumlah program pengadaan alutsista dari Turki dialihkan dari sistem LPKE ke kreditur swasta asing (KSA).
Kementerian Keuangan memberikan perhatian khusus pada kontrak pembelian senjata dari Turki, dengan mempertimbangkan risiko yang terkait dengan kontrak yang disetujui. Penggunaan sistem KSA tidak menjadi masalah jika negara pengekspor memiliki kelayakan kredit investment grade, sehingga biaya asuransi lebih murah karena risiko yang lebih rendah.
Fakta menunjukkan Kementerian Keuangan sulit menemukan lembaga keuangan asing yang bersedia menjadi asuransi dan pemberi pinjaman di bawah program KSA untuk pembelian sistem persenjataan buatan Turki.
Beberapa bank milik negara cabang asing, yang biasanya bertindak sebagai pemberi pinjaman melalui sindikasi dengan lembaga keuangan internasional di bawah program KSA, tidak diperbolehkan membentuk konsorsium untuk membiayai impor senjata yang diproduksi di Turki karena banyak bank asing yang menolak bergabung karena impor tersebut. senjata dari Turki. Risiko penolakan kelayakan kredit.
Meningkatnya ambisi untuk mengimpor sebanyak mungkin sistem persenjataan dari Turki memunculkan gagasan bahwa beberapa cabang bank negara di luar negeri akan menerima pesanan khusus dari pemerintah untuk membiayai program tersebut.
Bank-bank milik negara cabang asing menjadi pemberi pinjaman, meminjam uang dari bank induknya di Jakarta dalam denominasi rupiah, yang kemudian dikonversi ke denominasi dolar AS.
Namun yang menjadi persoalan, konversi tersebut tidak dilakukan melalui pasar valuta asing, melainkan melalui penukaran dengan cadangan devisa Bank Indonesia. Secara tidak langsung, cadangan devisa Bank Indonesia digunakan untuk membiayai pembelian alutsista di Turki.
Penggunaan cadangan devisa untuk pembelian senjata Turki dalam hal ini diperkirakan akan memicu reaksi negatif di pasar keuangan. Pasalnya, cadangan devisa berperan penting dalam menjaga stabilitas mata uang, termasuk menjaga nilai tukar rupee terhadap dolar AS, serta kepercayaan pasar keuangan terhadap kebijakan perekonomian pemerintah.
Indonesia tidak mengalami surplus cadangan devisa, sehingga wajar jika gagasan penggunaan cadangan devisa untuk pembelian alutsista dari Turki dinilai berbahaya bagi perekonomian Indonesia, mengingat ketidakpastian perekonomian global, termasuk Amerika Serikat. . Kebijakan ekonomi era Presiden Donald Trump pada tahun 2025 yang diperkirakan akan kembali fokus pada isu-isu seperti perdagangan dan tarif.
Tidak ada kebutuhan mendesak untuk menggunakan cadangan devisa untuk mengimpor senjata dari Turki, karena masih banyak negara lain yang bisa memasok senjata seperti yang diproduksi Turki dengan sistem LPKE atau KSA tanpa perlu mengganggu cadangan devisa.
Masalah lain yang muncul akibat dorongan untuk membeli senjata sebanyak mungkin dari Türkiye adalah risiko kredit yang ditanggung oleh perusahaan asuransi, dimana perusahaan asuransi milik negara tampaknya bertujuan untuk mendapatkan pesanan khusus untuk mendukung upaya tersebut.
Masalahnya, perusahaan asuransi milik negara itu sedang tidak dalam kondisi keuangan yang baik karena warisan penipuan di masa lalu. Diperkirakan tingkat target pengeluaran sistem persenjataan di Turki pada tahun 2020-2024 akan membutuhkan sekitar PLN 1,3 miliar, sehingga risiko yang harus ditanggung oleh perusahaan asuransi adalah sebesar jumlah tersebut.
Pertanyaannya adalah: Dapatkah perusahaan asuransi milik negara menanggung risiko ini jika perusahaan asing menolak mengasuransikan karena kelayakan kredit Turki?
Gagasan untuk mempercayakan beberapa bank milik negara yang mendapat penugasan khusus untuk menjadi pemberi pinjaman pembelian alutsista dari Turki dengan menggunakan cadangan devisa Bank Indonesia patut dicermati dengan cermat mengingat risiko ke depan terhadap perekonomian Indonesia.
Cadangan devisa Bank Indonesia harus digunakan untuk menjaga stabilitas nilai tukar, termasuk menopang nilai tukar rupiah dan meningkatkan kepercayaan pasar terhadap perekonomian Indonesia. Reaksi pasar yang negatif terhadap penggunaan cadangan devisa untuk membeli senjata bagi Turki dapat menyebabkan nilai tukar rupee kembali melemah terhadap dolar AS di saat volume cadangan devisa semakin meningkat untuk mengantisipasi gejolak ekonomi. tahun depan.
Kehadiran pihak dewasa diperlukan untuk memastikan bahwa manfaat ekonomi tetap menjadi yang utama dalam menghadapi tantangan perekonomian global, sekaligus mencegah penggunaan cadangan devisa untuk tujuan yang kontraproduktif terhadap stabilitas moneter. (Mik/Mik)