Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan opini editorial illinibasketballhistory.com
Saat ini, Indonesia kembali meminta Korea Selatan untuk menurunkan cost share program KF-21 dari 20% menjadi 7%. Alasan resmi permintaan ini adalah kurangnya teknologi yang dimiliki Seoul untuk ditransfer ke Jakarta.
Tentu saja, jika cost share program KF-21 diturunkan menjadi 7%, maka akan ada konsekuensi komersial bagi Indonesia. Salah satunya adalah potensi Indonesia untuk menjadi bagian dari rantai pasokan global jet tempur bermesin ganda.
KF-21 merupakan jet tempur generasi 4,5 yang dikembangkan oleh Korea Aerospace Industries (KAI) dengan bantuan Lockheed Martin. Menyusul keputusan Korea Selatan pada tahun 2014 untuk membeli 60 pesawat F-35A yang diproduksi oleh Lockheed Martin, Korea Selatan setuju untuk bekerja sama dengan pabrikan pesawat Amerika KAI dalam program KF-21.
Sebelumnya, Lockheed Martin membantu KAI dalam program T-50 dan mendanai 13% program tersebut. Banyak yang menganggap T-50 mirip dengan F-16, yang dibuat oleh General Dynamics sebelum menjual divisi Fort Worth ke Lockheed Corporation pada tahun 1993.
Sejak tahun 1970-an, teknologi manufaktur dirgantara berfokus pada pemrosesan logam presisi, yaitu logam lunak (paduan aluminium), logam keras (titanium), dan struktur komposit canggih.
Penggunaan komposit pada pesawat militer dan komersial telah meningkat sejak tahun 1990-an karena sifatnya yang ringan namun kuat, sekaligus menghilangkan masalah kelelahan besi dan korosi yang selalu mengganggu pesawat terbang. Misalnya, 50 persen bobot Boeing B787 berasal dari komposit, dan 53 persen dan 54 persen bobot Airbus A350-900 dan A350-1000 berasal dari komposit.
Menurut perkiraan, bahan komposit hanya menyumbang dua persen dari berat F-16. Sedangkan F-22 yang diproduksi Lockheed Martin dan Boeing dengan bobot 19.700 kg diperkirakan 22% total bobotnya berasal dari komposit. Berdasarkan perhitungan, 42% bobot F-35 berasal dari komposit. Sedangkan KF-21 menyumbang sekitar 15% dari total berat kosong pesawat.
Penggunaan komposit pada KF-21 meliputi kulit sayap utama, ekor dan layar. Berdasarkan kontrak antara KAI Indonesia dan PT Dirgantara, bagian sayap kiri dan kanan, ekor vertikal, ekor horizontal, dan tiang akan diproduksi.
Namun PT Dirgantara Indonesia tidak akan memproduksi seluruh komponen yang dibutuhkan, melainkan hanya dalam jumlah terbatas. Rincian mengenai jumlah bahan-bahan tersebut yang diproduksi di Bandung masih belum jelas.
Pembuatan komponen sayap dan ekor utama KF-21 oleh PT Dirgantara Indonesia merupakan peluang untuk kembali masuk dalam peta industri struktur penerbangan global dan menjadi pemasok bagi KAI. Indonesia berada di peringkat belakang Singapura, Malaysia dan Thailand dalam hal pendapatan di industri struktur penerbangan di Asia Tenggara.
Selama ini Dirgantara Indonesia hanya fokus pada peran original peralatan pabrikan dan mengabaikan Tier 1, 2, dan 3. Industri struktur dirgantara dibagi menjadi 2 tingkatan dalam industri dirgantara global
Namun, menjadi pemasok komponen berbasis komposit untuk KF-21 merupakan tantangan bagi PT Dirgantara Indonesia dan pemerintah Indonesia. Pengolahan komposit memerlukan investasi baru pada fasilitas produksi perusahaan, seperti pembelian mesin tambahan.
Misalnya pembelian mesin CNC untuk komposit, serta pembelian penempatan fiber otomatis. Beberapa fasilitas teknis yang dimiliki oleh PT Dirgantara di Indonesia kini tidak efisien dan terbelakang secara teknologi, karena dibeli pada masa kejayaan PT IPTN.
PT Dirgantara Indonesia perlu melakukan modernisasi peralatan agar dapat lebih efisien dalam produksi dan bersaing dengan kompetitor. Tanpa memodernisasi fasilitas manufakturnya, akan lebih sulit bagi anak perusahaan milik negara ini untuk kembali bersaing di industri struktur penerbangan global, sekaligus mendapatkan kembali kepercayaan dari pemain internasional seperti Spirit Aerosystems dan Airbus.
Di sisi lain, data menunjukkan perseroan tidak memiliki kemampuan finansial untuk melakukan program modernisasi peralatan guna menunjang produksi dari kas sendiri.
Mengutip rencana Indonesia untuk program KF-21, pemerintah berinvestasi di PT Dirgantar untuk membeli mesin guna mendukung produksi suku cadang di Indonesia. 2026 Mengingat tahun 2026 adalah tahun terakhir EMD KF-21, masih belum jelas bagaimana rencana tersebut akan dilaksanakan dalam dua tahun ke depan.
Setelah tahun 2026, pesawat tempur yang menggunakan radar AESA yang dikembangkan oleh Hanwha Systems akan memasuki produksi massal, tetapi hanya Blok 1 yang memiliki kemampuan udara-ke-udara. Ada beberapa pertanyaan penting mengenai permintaan Indonesia kepada Korea Selatan untuk mengurangi cost share untuk program KF-21.
Jika Seoul menyetujui permintaan Jakarta, apakah Indonesia masih berhak memproduksi sayap kiri dan kanan, ekor vertikal, ekor horizontal, dan tiang? Jika ya, berapa banyak kapal yang diizinkan Korea Selatan untuk dibuat oleh Indonesia?
Pembuatan komponen berbasis komposit untuk KF-21 yang dipesan di Indonesia? Apakah ada pesanan dari Korea Selatan dan pelanggan lain dalam proses produksi?
Bagaimana dengan kemampuan pasif PT Dirgantara Indonesia jika Indonesia masih mendapat hak untuk memproduksi komponen KF-21 berbasis multikomposit? Meskipun kapasitas menganggur merupakan bagian dari rantai pasokan global KAI untuk KF-21, hal ini juga berarti ketersediaan kapasitas produksi komponen berbasis komposit.
Akankah kapasitas cadangan tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan perusahaan global seperti Spirit Aerosystems dan Airbus? Khususnya, Boeing dan Airbus kini mengadopsi komponen berbasis multi-komposit untuk pesawat jarak jauh dan jarak jauh seperti B787 dan A350.
Sebaliknya, jika Indonesia tidak mempunyai hak untuk memproduksi komponen KF-21 yang berdampak pada penurunan cost share secara drastis, maka peluang besar bagi PT Dirgantara untuk menghidupkan kembali industri aerostructures di Indonesia akan hilang.
Perusahaan-perusahaan dirgantara ini tidak akan mempunyai kesempatan untuk menerima investasi dari pemerintah dengan meningkatkan fasilitas pemrosesan mereka, serta memproduksi komponen berbasis komposit. Akibatnya, menunggu pemulihan bisnis aerostruktur perseroan akan semakin sulit. (mq/mq)