Catatan: Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan belum tentu mencerminkan pandangan redaksi illinibasketballhistory.com.
Indonesia saat ini sedang menikmati hasil dari bonus demografi, dengan angkatan kerja muda dan energik yang mendorong negara ini maju. Namun, situasi demografis yang menguntungkan ini sedang mengalami perubahan signifikan seiring dengan proyeksi negara ini menjadi masyarakat menua pada tahun 2045.
Meskipun pemerintah telah berupaya untuk menjadikan negaranya maju dan mengembangkan generasi muda sebagai generasi emas, namun sayangnya para lansia nampaknya masih terabaikan. Pengabaian ini tidak hanya tidak adil, tetapi juga merupakan strategi jangka pendek, karena para lansia, yang pernah menjadi tulang punggung perekonomian nasional, berhak mendapatkan dukungan yang memadai dalam kondisi yang tidak memungkinkan.
Kepercayaan umum di Indonesia yang berakar kuat pada nilai-nilai Asia adalah bahwa anak adalah investasi bagi orang tuanya dan merupakan tanggung jawab mereka untuk menjaga orang tuanya di masa depan.
Norma-norma budaya ini diilustrasikan dengan jelas dalam serial TV baru Joko Anwar, “Nightmare and Daydream,” yang dengan cerdik membahas beberapa isu kebijakan utama negara ini.
Sang protagonis, Panji—seorang sopir taksi—berjuang melawan rasa bersalah karena merawat ibunya yang sudah lanjut usia karena takut menjadi anak yang tidak patuh. Di sisi lain, ibunya yang menderita demensia sangat terpukul saat mengetahui dirinya dikurung di penjara bawah tanah.
Pengisahan cerita yang kuat ini tidak hanya menyoroti tantangan yang dihadapi banyak keluarga di Indonesia, namun juga beban emosional yang ditanggung oleh orang tua dan keluarga mereka, serta infrastruktur perawatan lansia yang dibutuhkan.
Berbeda dengan masyarakat Barat, di mana penitipan anak merupakan hal yang lumrah, orang tua di Indonesia berinvestasi penuh terhadap anak-anak mereka dan mengharapkan mereka untuk membesarkan mereka ketika mereka besar nanti.
Ekspektasi budaya ini menyebabkan banyak orang tua yang menua tidak memiliki perencanaan keuangan yang memadai untuk masa pensiun, bahkan ketika mereka menghadapi biaya kesehatan yang tinggi dan inflasi biaya hidup tanpa jaring pengaman yang memadai.
Keyakinan bahwa anak harus menjadi orang tua di usia tua sudah tertanam di benak para pengambil kebijakan, seperti Menteri Sosial Tri Risamaharini yang menolak gagasan panti asuhan karena tidak sesuai dengan budaya Indonesia Perilaku seperti ini dapat mempengaruhi kesejahteraan para lansia karena mengabaikan meningkatnya permintaan akan panti jompo profesional.
Dukungan sosial terhadap lansia di Indonesia bisa dikatakan kurang memadai. Bantuan tunai sebesar Rp 600.000 setiap tiga bulan untuk keluarga terbatas pada lansia di keluarga termiskin.
Selain itu, beberapa undang-undang yang ada, seperti UU 13/1998 tentang kesejahteraan lanjut usia dan UU 43/2004 tentang sistem jaminan sosial, tampaknya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan lansia yang terus meningkat.
Kurangnya dukungan universal memberikan beban pada anggota masyarakat yang lebih lemah, yang biasanya dinilai berdasarkan produktivitas ekonomi mereka. Saat ini, perempuan bertanggung jawab mengasuh anak dan orang lanjut usia karena dianggap kurang produktif secara ekonomi.
Beban pengasuhan telah berkontribusi terhadap partisipasi angkatan kerja perempuan sebesar 50% selama bertahun-tahun. Seiring bertambahnya usia Indonesia, kecil kemungkinan tanggung jawab ini akan jatuh ke tangan anak-anak, seperti yang terjadi di negara-negara besar seperti Amerika Serikat, karena meningkatnya kebutuhan ekonomi.
Di Amerika Serikat, terdapat sekitar 5,4 juta anak yang membantu merawat orang tua, kakek-nenek, atau anggota keluarga yang cacat atau cacat karena keluarga mereka tidak mampu membayar atau mencari pilihan pengasuhan lainnya
Akibatnya, di masa depan, semakin banyak remaja yang menjadi bagian dari “generasi sandwich” yang peduli terhadap anak-anak dan orang tua lanjut usia. Kedua tanggung jawab ini menghambat produktivitas ekonomi dan kesejahteraan pribadi mereka, baik saat ini maupun di hari tua.
Untuk menghindari siklus yang dapat membahayakan cita-cita kita untuk menjadi generasi emas negara maju pada tahun 2045, Indonesia harus memikirkan kembali pendekatannya terhadap perawatan lansia. Memberikan perawatan yang memadai atau perumahan sosial dapat menjadi solusi dan langkah awal, seperti yang ditunjukkan oleh penelitian di berbagai negara.
Fasilitas tersebut dapat memberikan perawatan profesional, interaksi sosial dan kegiatan yang meningkatkan kualitas hidup lansia, mengurangi stres dan mengurangi risiko penyakit degeneratif. Pusat layanan kesehatan atau lembaga sosial ini dapat diintegrasikan dengan sistem BPJS untuk lebih memenuhi kebutuhan layanan kesehatan bagi lansia.
Jika pemerintah mengelola kebijakannya dengan hati-hati, fasilitas tersebut juga dapat menciptakan lapangan kerja bagi generasi muda negara, sehingga meningkatkan produktivitas dan pendapatan pajak. Jika stigma dan nilai-nilai diubah dan kesadaran masyarakat akan pentingnya perawatan lansia terbangun, pelaku sektor swasta akan turun tangan untuk mengisi kesenjangan pasar perawatan lansia.
Investasi strategis ini tidak hanya akan meningkatkan kualitas hidup para lansia, namun juga berkontribusi terhadap pembangunan perekonomian negara, sehingga menjadi win-win solution bagi Indonesia di masa depan.
Berinvestasi pada perawatan lansia bukan hanya kewajiban moral, namun juga keharusan strategis. Dengan memastikan bahwa para lansia mendapat perawatan yang baik, generasi muda dapat fokus pada karir mereka dan memberikan kontribusi yang lebih efektif terhadap perekonomian. Hal ini akan semakin mendekatkan Indonesia pada cita-citanya menjadi negara maju.
Pemerintah perlu mengambil langkah segera untuk mengatasi krisis perawatan lansia. Hal ini mencakup peningkatan jaminan sosial, perumahan dan perawatan bagi lansia, penyediaan perawatan terpadu bagi lansia, dan memastikan standar kualitas pusat perawatan dan perawatan sosial di seluruh negeri.
Dengan memprioritaskan kesejahteraan penduduk lanjut usia, Indonesia dapat membangun masyarakat yang lebih inklusif yang menghargai kontribusi seluruh warga negara, baik tua maupun muda, serta membuka jalan bagi pembangunan berkelanjutan.
Dengan berinvestasi besar-besaran pada perawatan lansia di ambang transisi demografi yang signifikan, negara ini telah mampu menjamin kehidupan yang bermartabat bagi para lansia dan masa depan yang lebih cerah bagi generasi mendatang. Sekaranglah waktunya untuk bertindak sebelum bonus demografi berubah menjadi tantangan demografi. (miq/miq)