Jakarta, ILLINI NEWS – Pemerintah patut belajar dari India yang kerap dikenal sebagai salah satu negara yang berulang kali menerapkan program amnesti pajak namun gagal meningkatkan kepatuhan pajak di negaranya.
Pasalnya, perdebatan mengenai program pembebasan pajak jilid ketiga muncul setelah masuknya rancangan undang-undang (RUU) tentang perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang pembebasan pajak dalam Program Legislasi Prioritas Nasional (Prolegnas) tahun 2025. .
Pakar pajak sekaligus salah satu pendiri Botax Consulting Indonesia, Raden Agus Subman mengatakan, selain Indonesia, India merupakan salah satu negara yang kerap menerapkan program amnesti pajak. India dikenal dengan amnesti pajak rutinnya pada tahun 1952, 1965, 1975, 1981, 1985, 1986, 1991, dan yang terbaru pada tahun 1997.
“Di sana dan contoh yang paling terkenal adalah India. Tax amnesty India pada tahun 1970-an dan 1980-an menjadi bahan kajian para ahli,” kata Radin kepada ILLINI NEWS, Kamis (21/11/2024).
Pengampunan pajak yang dilakukan berulang kali di India sebenarnya tidak berhasil, kata Radin. Sebab, hal tersebut menimbulkan perasaan di kalangan masyarakat bahwa pemerintah akan terus menggulirkan program amnesti pajak di masa depan, sehingga menggerus tingkat kepatuhan.
Rasio pajak terhadap PDB India sedikit lebih tinggi dibandingkan Indonesia, yaitu sekitar 11%, sementara Indonesia hanya stagnan di kisaran 10%. Padahal, program amnesti pajak jilid pertama telah dilaksanakan pada tahun 2016, dan program amnesti pajak jilid kedua telah dilaksanakan pada tahun 2022 dengan nama Program Pengungkapan Sukarela (PPS).
“Akibatnya seringnya tax amnesty, apalagi jangka waktunya sudah sangat dekat, seperti yang terjadi di India, hasilnya kurang baik. Wajib pajak tidak lagi menganggap tax amnesty itu istimewa jadilah yang terakhir tahun ini dan seterusnya, jadi tidak ada momentum.” “Kesempatan langka!”
Untuk itu, Radin menilai pemerintah tidak perlu mengeluarkan amnesti pajak jilid 3, kecuali ada permintaan dari pengusaha ultra-kaya atau tajir yang ingin mentransfer (memulangkan) uangnya dari luar negeri ke dalam negeri.
“Tax amnesty jilid 3 tidak perlu dilakukan, karena berdasarkan pengalaman tax amnesty jilid pertama, tujuan awal Presiden Jokowi menarik dana sebesar 11.000 triliun rupiah dari luar negeri tidak tercapai amnesti pajak hanya 146 triliun rupiah. Ini hanya laporan yang siap ditebus dengan tarif saat itu.
Selain itu, ia menegaskan Direktorat Jenderal Pajak sebagai otoritas pajak di Indonesia tidak pernah melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap wajib pajak peserta program amnesti pajak, baik yang benar-benar mengundurkan diri atau tidak.
Berdasarkan pengalaman saya sebagai Kepala Bagian Pengawasan saat itu, Ditjen Pajak tidak pernah melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap wajib pajak yang sudah direpatriasi dan yang belum 146 triliun” dan memang benar “Semua orang harus pergi ke Indonesia.”
Jika amnesti pajak jilid ketiga dilangsungkan, pemerintah disarankan hanya fokus pada amnesti pajak untuk dana repatriasi. Selain itu, prosedur repatriasi juga harus diperketat, yakni ditempatkan dulu di Bank Indonesia selama 6 bulan, baru bisa dikeluarkan, namun tetap berinvestasi di dalamnya.
“Bank Indonesia akan melaporkan kepada setiap orang yang melakukan penyetoran di Bank Indonesia. Apabila ada Wajib Pajak yang tidak melakukan penyetoran namun mendapat manfaat dari amnesti pajak, maka akan ditambah denda 200% sebagai sanksi administratif pada amnesti pajak jilid pertama,” dia menekankan. .
Ia menegaskan, program amnesti pajak tidak akan meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Saya kira hal ini berdasarkan beberapa kajian akademis yang menunjukkan bahwa konsekuensi besarnya amnesti pajak tidak meningkatkan kepatuhan pajak.
“Jadi anggapan bahwa tax amnesty meningkatkan kepatuhan tidak terbukti. Temuan penelitian yang sama juga terjadi di India dan Amerika Serikat, yaitu tax amnesty tidak meningkatkan kepatuhan pajak,” kata Radin.
Alasan utamanya adalah hasil penelitian menunjukkan bahwa amnesti pajak tidak meningkatkan kepatuhan, karena amnesti pajak menyasar wajib pajak yang tidak patuh, sehingga wajib pajak hanya patuh ketika ada amnesti pajak.
“Setelah itu, mereka kembali ke kebiasaannya sebagai wajib pajak yang tidak patuh. Mereka dari awal tidak ada niat untuk patuh,” imbuhnya.
Di sisi lain, dia mengatakan program amnesti pajak juga tidak menambah basis pajak, meski aset yang dilaporkan dalam SPT pasti meningkat, dan dengan melaporkan aset tersebut diharapkan pajak juga meningkat.
Namun menurut Radin, wajib pajak sebenarnya hanya melaporkan hartanya, dan tidak ada kenaikan pajak yang dibayarkan. Meskipun wajib pajak mengakui bahwa mereka memiliki banyak properti di luar negeri, namun mereka selalu mengakui bahwa properti tersebut digunakan oleh keluarganya, tidak disewakan, dan jarang melaporkan penjualannya, meskipun sudah terjual.
“Ditjen Pajak sudah meminta penertiban tax amnesty Jilid I atas harta yang dilaporkan dalam SPT. Mereka menanyakan penggunaannya. Jawabannya sangat jarang mereka mengakui keberadaan harta yang ada disewakan ke luar negeri atau itu harta tersebut menimbulkan objek pajak baru karena belum adanya data dari Direktorat Jenderal Pajak yang dapat memverifikasi pengakuan wajib pajak.
Sementara itu, Pakar Pajak dan Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian Pajak Pratama-Kreston Priyanto Budi Saptono juga menegaskan, peningkatan penerimaan pajak selama program amnesti pajak tidak berhenti pada tahun-tahun berikutnya setelah tahun pajak.
Hal ini disebabkan karena perilaku penghindaran pajak dan/atau penghindaran pajak akan selalu ada karena ciri-ciri pajak mirip dengan pencurian yang dipaksakan. Ia mengatakan, hal tersebut juga ditegaskan dalam Pasal 23A UUD 1945: Pajak dan retribusi yang dikenakan untuk keperluan negara didasarkan pada undang-undang.
Lebih lanjut, Priyanto mencontohkan, ada filosofi perpajakan yang mengatakan perpajakan tanpa perwakilan adalah pencurian. Oleh karena itu, kebijakan fiskal (termasuk bantuan teknis) memerlukan persetujuan wakil rakyat di Kongo. Modelnya adalah hukum. Ketika ada undang-undang, perpajakan tidak lagi sama dengan pencurian, meski sifat “memaksa” masih ada.
Ia juga menilai fakta bahwa TA yang terus berulang menimbulkan rasa ketidakadilan. Soalnya para penghindar pajak diberikan karpet merah untuk membayar pajak dengan tarif khusus. Tarif khusus ini lebih rendah dibandingkan tarif normal dalam undang-undang perpajakan.
Pada saat yang sama, wajib pajak yang patuh harus membayar pajak dengan tarif normal. “Kondisi seperti ini dapat menimbulkan kebencian di kalangan wajib pajak yang menurutinya dengan mengatakan: ‘Kalau begitu, saya tidak perlu menyimpannya, karena nanti akan ada bantuan teknis jilid berikutnya.’ Pernyataan seperti itu sangat beralasan, karena ada adalah perlakuan tidak adil,” kata Priyanto: “Jika ada kebijakan bantuan teknis, pemerintah akan melakukannya.”
(arj/mij) Simak videonya di bawah ini: Video: Masyarakat Dibebani PPN, Penghindar Pajak Dibebaskan Berkali-kali Artikel Berikutnya Belum lama ini penghindar pajak diampuni, kenapa tahun 2025 bisa dibebaskan lagi?