illini news Kelas Menengah RI Sekarat, Pemerintah Tak Bisa Cuma Salahkan Covid

Daftar isi

Jakarta, Indonesia: Kelas menengah Indonesia tidak berjalan baik di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Jumlah ini terus mendekati garis kemiskinan.

Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), BPS terus mengalami penurunan pascapandemi COVID-19. Angka tersebut nampaknya terjadi pada tahun 2021 hingga 2024, meningkat dari tahun 2014 hingga 2019 sebelumnya.

Pada tahun 2014, jumlah kelas menengah masih sebesar 43,34 juta orang, dan pada tahun 2019 menjadi 57,33 juta orang. Sementara itu, pada tahun 2021 jumlahnya akan berkurang menjadi 53,83 juta orang, dan pada tahun 2024 akan tersisa 47,85 juta orang.

Kelas menengah yang lemah dan masyarakat miskin telah muncul dari kelas menengah yang menurun. Sebab sejak flu, kedua kelas tersebut jumlahnya meningkat.

Pada tahun 2019, jumlah kelas menengah rentan atau calon kelas menengah sebanyak 128,85 juta jiwa, pada tahun 2021 sebanyak 130,82 juta jiwa, dan pada tahun 2024 sebanyak 137,5 juta jiwa. Sementara itu, jumlah penduduk berisiko kemiskinan meningkat dari 54,97 juta orang menjadi 58,32 juta orang dan akan mencapai 67,69 juta orang pada tahun 2024.

Peningkatan kelas menengah ini bahkan tidak tercatat, karena kelas atas hanya tumbuh dari 1,2 juta orang pada tahun 2019 menjadi 1,7 juta pada tahun 2021, dan masih sebesar 1,7 juta pada tahun 2024. Pada saat yang sama, kelas kemiskinan terus menurun dari 25,14 juta menjadi 27,54 juta dan 25,222 juta pada tahun 2024.

“Jadi daya beli nampaknya melemah,” Eliza Mardian, Peneliti Pusat Penelitian Reformasi Ekonomi Indonesia, dikutip dalam program Profit Indonesia ILLINI NEWS, Jumat (10/11/2024).

Bagi kelas menengah, biayanya 3,5 hingga 17 kali garis kemiskinan, atau biayanya berkisar antara Rp9,9 juta hingga Rp2,4 juta per kapita per bulan. Kelas menengah yang rentan berada 1,5-3,5 kali garis kemiskinan. Kerentanan kemiskinan 1-1,5 kali garis kemiskinan atau Rp582,93 ribu hingga Rp874,39 ribu.

Sedangkan bagi masyarakat miskin, biayanya di bawah garis kemiskinan, hingga sebulan.

Beberapa ekonom juga mencatat bahwa setidaknya ada 5 faktor yang akan menyebabkan “matinya” kelas menengah dan pada akhirnya menjadi lemahnya kelas menengah yang menempatkan mereka pada risiko kemiskinan. Ringkasannya adalah sebagai berikut:

1. Kelas menengah sangat penting karena krisis pandemi COVID-19

Amalia Adinggar Widyasanti, Plt Kepala BPS yang juga Deputi Ekonom Kementerian Perencanaan Pembangunan (PPN)/Bappenas, dalam pertemuan dengan Komite Perekonomian Pusat.

Menurut Bank Dunia, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya melambat secara signifikan pada periode tersebut, masih tumbuh sebesar 5,02% pada tahun 2019 dan mencapai 2,97% pada tahun 2020. Perlambatan pertumbuhan ekonomi dibarengi dengan peningkatan jumlah pengangguran. Angka tersebut meningkat dari 5,28% pada tahun 2019 menjadi 7,07% pada tahun 2020.

“Kami menyadari pandemi Covid-19 masih mempengaruhi ketahanan masyarakat kelas menengah,” kata Amalia.

2. Deindustrialisasi dan peningkatan pekerja informal

Deindustrialisasi merupakan salah satu faktor yang diyakini sebagian ekonom sebagai penyebab menurunnya kelas menengah, yang juga tergolong kelas pekerja tergantung pada upah bulanannya. Akibat deindustrialisasi, kelas pekerja di Indonesia tidak dapat memperoleh pekerjaan yang layak atau formal, sehingga banyak yang terpaksa menjadi pekerja informal atau gig labor.

Bostanul Arifin, Ekonom Senior Institute for Economic Development and Finance, mengatakan tanda-tanda menyusutnya kelas menengah di Indonesia sudah terlihat sejak lama. Ia bahkan meragukan tanda-tanda resesi terjadi sekitar tahun 1995 ketika tanda-tanda awal industrialisasi mulai terlihat.

Bostanul mengatakan, dari luar biasa kinerja transformasi ekonomi di Indonesia, terlihat kondisi kelas menengah semakin terpuruk. Akibatnya, kontribusi manufaktur terhadap perekonomian secara keseluruhan terus menurun.

Bostanul mengatakan pada tahun 1995, kontribusi industri manufaktur terhadap PDB Indonesia masih sebesar 41,8%. Namun jumlah ini turun menjadi 38,5% pada tahun 2005. Pada tahun 2023, kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB Indonesia akan semakin menurun menjadi 28,9%.

“Dengan demikian, pertanda industrialisasi dapat dilihat dari terus menurunnya pangsa PDB,” tambahnya. “Secara teori, ini bukanlah proses pembangunan ekonomi yang baik.”

Struktur angkatan kerja Indonesia telah berubah seiring dengan menurunnya kontribusi manufaktur terhadap perekonomian, kata Bostanul. Jumlah penduduk yang bekerja di bidang manufaktur cenderung stagnan. Kurangnya pembangunan di sektor ketenagakerjaan ini pada akhirnya terkait dengan memburuknya kelas menengah Indonesia, katanya.

“Saya ingin menyampaikan bahwa firasat penurunan kelas menengah sudah terlihat,” ujarnya.

Deindustrialisasi terjadi ketika pangsa industri pengolahan atau manufaktur terhadap produk domestik bruto terus menurun. Pada tahun 2014, menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlahnya masih 21,02%. Sisanya sebesar 19,7% pada tahun 2019 akan turun menjadi 18,67% pada tahun 2023.

3. Kenaikan harga barang dalam kantong

Populasi kelas menengah di Indonesia juga berisiko mengalami kemiskinan dalam satu dekade terakhir. Hal ini tercermin dari pola belanja masyarakat kelas menengah yang umumnya lebih dekat ke kelompok kelas bawah dan lebih dekat ke kelas bawah.

Hal ini menunjukkan bahwa kelompok kelas menengah akan lebih sulit untuk melompat ke tingkat atas, bahkan berisiko menjadi miskin, mereka berisiko terjerumus ke dalam kelas menengah atau kelas menengah lemah.

Menurut BPS, 17 x garis kemiskinan (Rs 582.932 per kapita) atau Rs. Batas atas kelompok kelas menengah akan menjadi 9,9 juta pada tahun 2024.

Cara pembayarannya akan menjadi Rp 2,5 juta pada tahun 2024, atau mendekati skala kelas menengah bawah, yaitu Rp 2,4 juta. Padahal, pada tahun 2014, metode pembayarannya adalah Rp 1,7 juta, dengan batas bawah Rp 1,55 juta dan batas atas hanya Rp 5,14 juta.

Ekonom senior dan mantan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan penurunan status ekonomi kelas menengah Indonesia hanya disebabkan oleh pandemi Covid-19 dan pemutusan hubungan kerja (PHK). Tapi juga karena kebutuhan air minum kemasan sehari-hari, seperti galon yang harus dibayar di Indonesia.

“Sampai saat ini tanpa kita sadari sudah cukup mengurangi pendapatan kita, dan gaya hidup kita sepenuhnya bergantung pada air galon, air minum kemasan, dan segala macamnya,” kata Bambang di Kantor Kadin. Indonesia (Kadin). ).

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Panglima Bappenas era Presiden Joko Widodo menegaskan, praktik minum air kemasan tidak umum terjadi di semua negara.

Di negara maju misalnya, masyarakat kelas menengah sudah terbiasa meminum air yang disediakan pemerintah di tempat umum. Masyarakat di negara maju yang memiliki fasilitas air minum umum tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli air.

“Daya beli masyarakat kelas menengah aman karena mereka tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk membeli air,” ujarnya.

Namun, Bambang mengatakan kebutuhan air minum hanyalah salah satu faktor lain yang menyebabkan banyak masyarakat kelas menengah berpindah dari “kasta” ke kelas ekonomi bawah. Bambang menilai penyebaran Covid-19 menjadi faktor utama menurunnya kelas menengah Indonesia.

4. Mengurangi pengeluaran non-makanan

Enam kelompok pembelanja kelas menengah telah tumbuh antara tahun 2019 dan 2024, atau selama masa jabatan kedua Presiden Joko Widodo, menurut BPS. Ini termasuk pajak dan biaya pendidikan.

Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), belanja atau kontribusi pajak masyarakat kelas menengah hanya sebesar 3,48% pada tahun 2019, namun akan menjadi 4,53% pada tahun 2024. 3,64% hingga 3,66% untuk pendidikan.

Sementara itu, barang atau jasa lainnya meningkat dari 6,04% menjadi 6,48%, perumahan dari 27,80% menjadi 28,52%, kebutuhan pesta dari 2,81% menjadi 3,18%, dan makanan dari 41,05% menjadi 41,67%.

Sementara itu, kelompok pengeluaran kelas menengah non-makanan yang mengalami penurunan adalah hiburan dari 0,47% menjadi 0,38%, mobil dari 5,63% menjadi 3,99%, barang tahan lama dari 2,84% menjadi 2,29%, dan pakaian jadi dari 3,15% menjadi 2,44%. , kesehatan naik dari 3,08% menjadi hanya 2,86%.

Penurunan pembelian non-makanan tercermin pada berlanjutnya penurunan tabungan kelas menengah. Kepala Ekonom Bank Mandri Andrey Asmuro menjelaskan, pada awal tahun 2024, status simpanan nasabah kelas menengah masih berada di angka 99%, namun rasio simpanan terus menurun hingga mencapai 94,8% pada Juli 2024.

Kondisi tabungan pada tahun 2024 juga akan lebih buruk dibandingkan tahun 2023. Tahun lalu, tingkat tabungan kelompok menengah masih di atas 100%. Andy mengatakan, kondisi stabil yang dialami kelas menengah berbeda dengan kondisi kelas bawah dan atas. Kondisi simpanan masyarakat kelas bawah mencapai 47,9 poin dari 40an pada awal tahun 2024.

Andri mengatakan, peningkatan tabungan masyarakat golongan terbawah ini disebabkan besarnya bantuan sosial pada awal tahun 2024.

Andy melanjutkan, kondisi bagus lebih membawa keberuntungan.

Ia mengatakan, mereka masih merupakan kelas menengah yang daya belinya kuat. Andri mengatakan, situasi penghematan yang dialami grup ini memberikan tekanan pada daya beli masyarakat, namun konser tetap ramai.

Dia berkata, “Dia menghemat banyak uang! Jadi itu menjelaskan mengapa daya beli melemah, tapi setiap konser adalah pertarungan tiket yang gila-gilaan.”

Josua Pardede, Kepala Departemen Ekonomi Permata bank tersebut, mengatakan fenomena menabung terjadi ketika pengeluaran melebihi pendapatan seseorang. Cara mengatasinya, kata dia, adalah dengan mencegah meningkatnya tingkat pengeluaran atau tingkat pendapatan masyarakat.

Dengan mengendalikan inflasi harga, pemerintah dapat mencegah tingginya tingkat pengeluaran, terutama dalam hal pangan. Ia juga berpendapat bahwa akses terhadap layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan harus dijamin.

Sambil menjaga harga, Joshua mendesak pemerintah untuk meningkatkan lapangan kerja di sektor formal: “karena jika terlalu banyak pekerjaan paruh waktu, upah tidak akan lebih tinggi dibandingkan di sektor formal.”

5. Akankah urbanisasi berkurang dan menjadi petani?

Kurangnya kesempatan kerja formal menyebabkan banyak orang terpaksa menjadi petani. Akibatnya, urbanisasi atau perpindahan penduduk dari desa ke kota biasanya tidak terjadi.

BPS juga mencatat kelas menengah yang bekerja di bidang pertanian mengalami pertumbuhan selama 10 tahun terakhir. Arah yang berbeda bagi mereka yang bekerja di sektor jasa dan industri.

Plt Kepala BPS Amalia Adinggar Widyasanti mengatakan pada tahun 2014, masyarakat kelas menengah yang bekerja di bidang pertanian hanya sebesar 12,90%, kemudian pada tahun 2019 sebesar 15,14%, dan pada tahun 2024 sebesar 19,97%.

Pada Rabu (28/2). 8/2024).

Sementara itu, pada sektor industri, pangsa kelas menengah hanya sebesar 19,33% pada tahun 2014, meningkat pesat menjadi 25,64% pada tahun 2019, namun pangsanya terus menurun menjadi 22,98% pada tahun 2024.

Begitu pula dengan industri jasa yang terus mengalami penurunan. Amalia mengatakan pada tahun 2014, kelas menengah yang bekerja di industri jasa mencapai 67,78%, kemudian 59,22% pada tahun 2019, dan hanya 57,05% pada tahun 2024.

“Jika melihat situasi ketenagakerjaan sektor usaha dan kelas menengah, 57% kelas menengah bekerja di sektor jasa, sedangkan 22,98% kelas menengah bekerja di sektor industri,” tegasnya.

Ia menambahkan, mayoritas pekerja kelas menengah bekerja di sektor informal yaitu sebesar 40,64 persen dibandingkan 37,24 persen pada tahun 2014. Pada saat yang sama, jumlah penduduk yang bekerja di sektor formal mengalami penurunan selama 10 tahun berturut-turut, turun dari 62,76. 59,36%.

Vijayanto Samrin, Ekonom Senior Universitas Paramadina, mengatakan minimnya tenaga kerja yang masuk ke sektor formal atau manufaktur akan menjadi boomerang bagi pemerintah, khususnya dari sisi penerimaan pajak yang berpotensi terus menurun karena penerimaan pajak. kelas. Petani tidak stabil dan progresif seperti pekerja formal.

Akibatnya, data tarif pajak, atau perbandingan penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB), juga tidak ada lagi karena perpajakan tidak lagi terpengaruh oleh deindustrialisasi. Pada tahun 2023, tarif pajak Indonesia hanya sebesar 9,6%, masih sebesar 11,4% pada tahun 2014.

“Kenapa tarif pajak kita turun terus, kenapa jumlah pekerja di sektor formal terus turun? .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *