Jakarta, ILLINI NEWS – Iklim usaha di Indonesia menghadapi beberapa permasalahan, mulai dari tingginya biaya logistik hingga sulitnya mendapatkan izin.
Meskipun negara-negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia sudah maju dalam hal efisiensi ekonomi, Indonesia masih berjuang dengan birokrasi yang rumit dan ICOR (Incremental Capital Output Ratio) yang tinggi.
Presiden Prabowo Subianto dan jajarannya di bidang perekonomian, termasuk Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto bertekad menurunkan ICOR ke level 4 dalam 3-4 tahun ke depan. Namun, mampukah ambisi tersebut menyelamatkan Indonesia dari ketertinggalan?
ICOR Tinggi, Biaya Ekonomi Tinggi
ICOR merupakan cerminan efisiensi suatu negara dalam menggunakan investasi untuk menghasilkan output perekonomian. Semakin besar nilai koefisien ICOR, maka perekonomian semakin tidak efisien dalam jangka waktu tertentu. Banyak faktor yang membuat skor ICOR Indonesia tinggi, mulai dari infrastruktur yang belum memadai, birokrasi yang rumit, biaya produksi, hingga biaya logistik yang tinggi.
Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan ICOR pada tahun 2022 sebesar 6,25%. Angka tersebut turun dibandingkan tahun 2021 yaitu 8,16%.
Artinya untuk menghasilkan 1 output, Indonesia perlu melakukan investasi sebesar 6,25 kali lipat. Misalnya diperlukan investasi sebesar Rp 6,51 miliar untuk menghasilkan output sebesar Rp 1 miliar.
Sebagai perbandingan, beberapa Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) seperti Teluk Weda di Maluku Utara berhasil mencatatkan ICOR di bawah 4, karena adanya efisiensi dari hulu hingga hilir. “Kalau lebih banyak daerah seperti Teluk Weda, Indonesia bisa menjadi benchmark global,” kata Airlangga dalam forum Kadin Indonesia (13/1/2025).
Namun secara nasional, tingginya ICOR merupakan permasalahan mendasar. Infrastruktur yang tidak terintegrasi, birokrasi yang rumit, biaya logistik yang tinggi, dan seringkali peraturan yang tumpang tindih menjadi akar permasalahannya.
Bank Dunia melalui laporan Ease of Doing Business (EoDB) 2020 menempatkan Indonesia pada peringkat 73, di bawah Vietnam (70) dan Malaysia (12). Hal ini menunjukkan bahwa selain ICOR, aspek fasilitasi dunia usaha juga menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi pemerintah.
Kemudahan Berbisnis, Apakah Tetangga Lebih Baik?
Malaysia dan Thailand misalnya telah berhasil menyederhanakan proses perizinan usaha dan pengelolaan infrastruktur. Malaysia bahkan telah mengesampingkan inspeksi jalan dan saluran air yang dilakukan oleh Dewan Kota Kuala Lumpur untuk mempercepat pembangunan.
Thailand malah menerapkan inspeksi bertahap dalam proses konstruksi untuk menjaga efisiensi. Langkah-langkah ini tidak hanya meningkatkan posisi dalam EoDB namun juga mengurangi biaya ekonomi secara signifikan.
Sebaliknya, Indonesia menghadapi peraturan yang tumpang tindih, ego sektoral, dan lambatnya kepastian hukum. Proses memulai usaha merupakan titik terlemah dengan peringkat 140, tertinggal jauh dari Malaysia (126) dan Vietnam (115). Faktanya, tingginya biaya pemberian izin lahan seringkali menjadi lahan subur bagi praktik korupsi.
Untuk mengurangi ICOR dan meningkatkan EoDB, pemerintah memprioritaskan pengembangan KEK terintegrasi. Kalau infrastruktur terkoneksi dan efisiensi meningkat maka roda usaha akan semakin cepat,” kata Airlangga. Namun, ia juga mengingatkan sektor seperti pariwisata masih terkendala terutama karena mahalnya harga tiket pesawat. “Kapasitas transportasi udara kita terbatas. masih jauh dari keadaan sebelum wabah Covid -19,” ujarnya.
Selain itu, Airlangga memastikan efisiensi di KEK pariwisata harus didukung dengan perbaikan regulasi lintas sektor. Proses ini memerlukan waktu, namun langkah nyata seperti integrasi infrastruktur dan digitalisasi layanan perizinan mulai menunjukkan hasil positif di beberapa daerah seperti Jakarta dan Surabaya.
Vietnam Bergerak Cepat, Indonesia di Persimpangan Jalan
Dalam konteks ASEAN, Vietnam mencatat peningkatan investasi asing sebesar 101% selama tahun 2013-2022, melampaui Indonesia yang hanya tumbuh sebesar 20%. Meski Indonesia masih menarik investor asing dengan angka investasi di kisaran US$ 20 miliar, namun stagnasi ini menunjukkan perlunya terobosan besar dalam kebijakan ekonomi.
Bank Dunia juga menekankan peraturan ketenagakerjaan di Indonesia yang sangat ketat. Kebijakan upah minimum yang tinggi seringkali membebani para pengusaha, khususnya UKM. Penelitian menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum sebesar 10% di salah satu provinsi di Indonesia dapat menurunkan lapangan kerja sebesar 0,8%. Situasi ini menjadi kendala besar bagi peningkatan daya saing Indonesia di mata global.
Dengan target ICOR di level 4 dan peningkatan EoDB, pemerintahan Presiden Prabowo mempunyai tugas berat untuk membawa Indonesia menuju efisiensi ekonomi yang lebih baik. Langkah-langkah seperti digitalisasi layanan, integrasi infrastruktur, dan reformasi birokrasi harus dilaksanakan dengan cepat dan tepat.
Namun tanpa komitmen kuat dari semua pihak, Indonesia berisiko tetap menjadi negara dengan potensi besar namun minim realisasi. Seiring kemajuan negara tetangga, sudah saatnya Indonesia benar-benar membuktikan bahwa ambisinya bukan sekedar impian belaka.
Riset ILLINI NEWS (emb/emb)