Jakarta, ILLINI NEWS – Serangan Ransomware sedang meningkat dan diperkirakan akan mencapai titik terburuknya pada tahun 2024.
Pemerintah AS sedang mencari cara untuk mengatasi ancaman ini. Mereka mencari cara yang lebih kuat untuk menghadapi peretas yang menuntut uang tebusan.
“Ini adalah praktik meresahkan yang perlu dihentikan,” tulis Ann Neuberger, wakil penasihat keamanan nasional AS untuk dunia maya dan teknologi baru, dalam sebuah artikel di Financial Times.
Sementara itu, Darren Williams, pendiri Blackfogin, sebuah perusahaan keamanan siber yang berspesialisasi dalam pencegahan ransomware dan perang siber, menentang pembayaran uang tebusan untuk setiap serangan ransomware.
Menurutnya, jika perusahaan atau institusi membayar uang tebusan, maka akan mendorong lebih banyak serangan ransomware dan jika data sensitif dicuri maka data tersebut tidak akan hilang selamanya.
Bahkan ketika perusahaan memilih untuk membayar, tidak ada jaminan bahwa data akan tetap aman.
Seperti yang dialami UnitedHealth Group pada April 2023 setelah kelompok peretas ALPHV/BlackCat menyerang anak perusahaannya, Change Healthcare.
Kelompok peretas kedua, RansomHub, marah karena ALPHV/BlackCat gagal mengirimkan uang tebusan kepada afiliasinya, meskipun telah membayar uang tebusan sebesar $22 juta (Rs 341 miliar) untuk menghentikan kebocoran data dan memulihkan operasi dengan cepat.
Meskipun Change Healthcare tidak melaporkan apakah mereka membayar, data yang dicuri kemudian bocor ke web gelap yang menunjukkan bahwa tuntutan mereka tidak dipenuhi.
Selain itu, ada kekhawatiran bahwa uang tebusan tersebut digunakan untuk membiayai organisasi yang bermusuhan dengan geopolitik AS.
Menurut laporan terbaru dari Kantor Direktur Intelijen Nasional, lebih dari 2.300 serangan ransomware akan terdeteksi pada pertengahan tahun 2024. Hampir separuh institusi yang menjadi sasaran berada di Amerika Serikat (AS).
Jumlah penipuan ransomware pada akhir tahun 2024 diperkirakan akan lebih tinggi dibandingkan tahun 2023, dengan 4.506 serangan secara global. Serangan Ransomware pada pusat data RI
Serangan Ransomware juga terjadi di Indonesia. Juni lalu Pusat Data Sementara Nasional (PDNS 2) terkena serangan ransomware. Akibatnya, peretas menyita data 282 lembaga pemerintah dan menuntut uang tebusan sebesar $8 juta atau Rp 131 miliar.
Pemerintah bersikukuh akan memulihkan akses yang diblokir secara bertahap dan tidak membayar uang tebusan.
Pelaku PDNS 2 diketahui berafiliasi dengan kelompok hacker veteran LockBit dan berhasil menyerang PDNS 2 di Surabaya.
Modus serangannya adalah ransomware varian BrainChipper yang memblokir akses data di PDNS Surabaya. (luar biasa/luar biasa) Tonton video di bawah ini: Video: Perlindungan data pribadi masih PR, pengusaha berharap artikel selanjutnya Kebanjiran penipu online mengeksploitasi rekening WNI, data terbaru jelek