JAKARTA, ILLINI NEWS – Layaknya orang tua kebanyakan, Mohamed Hatta selalu menantikan kabar terkini dari putranya Gemala yang sedang menempuh pendidikan di Australia. Begitu ada surat atau orang yang membawa kabar terkini dari Gemala, Hatta mendengarkan dengan sungguh-sungguh.
Namun pada bulan Juni 1974, reaksi Hatta berbeda dari biasanya. Ada keajaiban pada anak yang diterima dari menantu Eddie Swasono. Bukan berkaitan dengan penyakit Gemala atau kondisi buruk lainnya, melainkan berkaitan dengan masakan Padang.
Hatta terkesima mendengar ada restoran Padang di Sydney dan Gemala menyantap makanan yang enak. Hatta mengira restoran Padang adalah satu-satunya yang ada di Indonesia.
“Papa nggak nyangka di Sydney ada restoran patang. Menurut Eddie ada 3. Mungkin yang ada restoran patang hanya berbulan-bulan,” tulis penerbit dalam surat tertanggal 21 Juni 1974 kepada Jemala.
Lelucon Hatta ada benarnya. Tidak ada restoran Patang dalam beberapa bulan saja. Lagipula, tidak ada manusia yang bisa tinggal di sana. Faktanya, restoran Patang ada di seluruh dunia.
Jadi mengapa ini bisa terjadi?
Suku Minangkabau suka merantau ke berbagai daerah. Perpindahan penduduk juga membawa kebudayaan, salah satunya pangan. Kehadiran makanan segar yang dipadukan dengan etos kewirausahaan yang tinggi membuat mereka mendirikan beberapa tempat makan.
Bustamam, pendiri Restoran Padang Sederhana, dalam otobiografinya Kisah Hidup Haji Bustamam (2019) menyebutkan bahwa pendatang asal Minang, luar Sumatera Barat, menyebut restorannya dengan nama Restoran Padang, Warung Makan Padang, dan Restoran Padang. . atau nama serupa menggunakan semboyan Minang.
Namun sulit mengetahui kapan atau apa restoran padang yang pertama kali berdiri di luar wilayah Sumatera Barat. Namun banyak surat kabar era kolonial yang memuat bukti tersebarnya restoran Patang di luar tanah Minang.
Di Batavia (sekarang Jakarta), misalnya, surat kabar Selamat edisi tahun 1934 memuat iklan restoran padang. Iklan tersebut bertuliskan “Padasche-Buffet” dan beralamat di Kramatplein (Jl. Kramat) no.42, Batavia Central. Pada tahun 1939, masih di Batavia, juga ada artikel tentang lezatnya restoran padang yang menggugah selera dan menjadi tempat favorit masyarakat.
“Pasar Tjipluk yang terkenal dengan Restoran Padangnya menjadi tempat berkumpulnya masyarakat Batavia,” tulis surat kabar Lokomotiv (22 Juli 1939). Pasar TGPLAK yang dimaksud kini ada di Jatingara.
Namun banyak penelitian kontemporer yang menyatakan bahwa pemicu utama menjamurnya restoran padang bukan hanya tingginya motivasi imigrasi, tetapi juga peristiwa Pemerintahan Revolusioner Indonesia (PRRI) pada tahun 1958.
Gusti Aznan dalam Memikirkan Kembali Regionalisme: Sumatera Barat Tahun 1950an (2007) menyebutkan bahwa PRRI merupakan gerakan protes perwira militer dan sipil di Sumatera Barat yang menuntut otonomi daerah kepada pemerintah pusat.
Sayangnya, pemerintah pusat menanggapi tuntutan tersebut dengan cara yang represif dan militer. Di sisi lain, Jakarta mengirimkan banyak pasukan dan menggusur penduduk lokal dari Sumatera Barat. Terjadi migrasi massal.
Tempo (15 Januari 1972) menyebutkan pasca peristiwa PRRI terjadi peningkatan jumlah orang Minang di berbagai daerah. Misalnya di Jakarta yang tadinya kurang dari 100 ribu orang menjadi 400 ribu orang. Dan satu dari 10 penduduk Jakarta adalah orang Minang. Saat itu, jumlah penduduk Jakarta mencapai 4 juta jiwa.
“Melalui perbandingan ini, dapat dipahami bahwa ‘Minang’ ikut membentuk wajah ibu kota ini,” tulis Tempo.
Perpindahan penduduk ini banyak membantu kelangsungan hidup masyarakat Minang. Salah satunya dengan memanfaatkan keterampilan kuliner yang dipadukan dengan etos wirausaha, seperti membuka restoran.
Dalam kata pengantar bukunya Dari Pemberontakan Menuju Integrasi (2008), sejarawan Tawfiq Abdullah membenarkan bahwa peristiwa PRRI semakin membubarkan masyarakat Minang dengan mendirikan restoran bernama padang sebagai bentuk kelangsungan hidup.
Tahun 1970-an bisa dikatakan menjadi cikal bakal kebangkitan restoran Patang di berbagai daerah. Beberapa nama sangat terkenal sekarang. Misalnya Pagi Sore (1970), Sederhana (1972), Garuda (1976) dan sebagainya. Saat ini, belum ada catatan berapa jumlah rumah makan padang yang ada di luar Sumatera Barat. Tentu saja, kita tidak bisa menghitungnya dengan jari satu tangan. (mfa/mfa) Tonton video di bawah ini: Video: Produk perawatan rambut lokal Perspektif bisnis mendunia