berita aktual Begini Ngerinya PPN Naik Jadi 12%, Pak Prabowo Bisa Menyesal!

JAKARTA, ILLINI NEWS – Pemerintahan Presiden Prabowo Subiano kembali menegaskan komitmennya untuk melaksanakan amanat Undang-Undang Peraturan Perpajakan (UU HPP) untuk menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada Januari 2025.

“Tidak buta, tapi APBN harus tetap dijaga kesehatannya,” kata Menteri Keuangan Mulyani, Rabu (13/11/2024) dalam rapat eksekutif dengan Komisi XI DPR di Gedung DPR, Jakarta

Namun, para ekonom dan pengusaha telah memperingatkan pemerintah bahwa jika tarif pajak atas transaksi barang dan jasa meningkat seiring menurunnya daya beli masyarakat, maka negara harus menanggung beban ekonomi yang berat, mulai dari melemahnya aktivitas perekonomian dalam negeri. .

Khusus soal kenaikan harga akibat kenaikan tarif PPN, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi S Lukman menegur langsung. Ia mengatakan, harga pangan sangat sensitif terhadap perubahan harga, dan berdampak langsung kepada konsumen meski PPN hanya akan naik sebesar 1% pada tahun 2025.

“Dampaknya besar sekali. Karena kenaikan 1% akan dirasakan konsumen. Selain itu, makanan FMCG (fast moving Consumer Goods) juga sensitif terhadap harga,” ujarnya kepada ILLINI NEWS.

Ia mengatakan, kenaikan PPN sebesar 1% akan meningkatkan setiap rantai pasok produksi makanan dan minuman olahan. Jadi, yang biasa terjadi adalah kenaikan harga sekitar 2-3% saat sampai ke konsumen akhir. “(Dampaknya terhadap harga yang dibayar konsumen) bisa berbeda-beda. Hal ini menyebabkan kenaikan harga yang harus dibayar konsumen sebesar 2-3%,” kata Adhi.

Gabungan Pengusaha Ritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduanjah memperkirakan kemungkinan munculnya sentimen ekstrim di kalangan masyarakat untuk membatasi konsumsi barang di dalam negeri akibat kenaikan harga yang besar akibat kenaikan tarif PPN pada tahun 2025. .

“Yang saya dengar, dari pada beli, malah boikot. ‘Enggak perlu beli apa-apa’. Sebenarnya nggak bagus, karena semua orang harus mengeluarkan uang untuk konsumsi. Kalau semua orang menabung. Kalau ada, maka perekonomian tidak akan tumbuh,” kata Budihardjo.

Budihardjo mengatakan, sentimen tersebut kini semakin terasa karena kenaikan PPN sebesar 12% akan meningkatkan harga pokok seluruh lini produksi hingga sampai ke konsumen akhir. Faktanya, daya beli masyarakat kini banyak mendapat tekanan, terlihat dari tren konsumsi dalam negeri yang mungkin tidak tumbuh lebih dari 5% pada tahun ini.

Tingkat konsumsi dalam negeri pada triwulan III tahun 2024 yang merupakan mesin utama pertumbuhan ekonomi dengan kontribusi terhadap PDB mencapai 53,08% hanya mampu meningkat sebesar 4,91%, lebih rendah dibandingkan laju pertumbuhan triwulan II tahun 2024 sebesar 4.93. % Pada triwulan I tahun 2024 hanya meningkat sebesar 4,91%.

Situasi ini berarti pertumbuhan ekonomi hanya bisa tumbuh sebesar 4,95% pada triwulan III 2024, dibandingkan 5,11% pada triwulan 2024 dan 5,05% pada triwulan I 2024, berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS).

“Pabrik tumbuh 12%, distributor tumbuh 1%, subdistributor tumbuh 1%, ritel juga tumbuh 1%. Jika dihitung-hitung, harga bisa saja naik di tingkat konsumen. Sebesar 5%,” ujarnya.

Tidak hanya harga barang konsumsi biasa yang naik, kenaikan PPN juga berpotensi menaikkan harga barang tahan lama. Salah satunya adalah otomotif.

“Otomotif itu industri yang rantai pasokannya mencapai level 2 dan level 3. Jadi kalau PPN naik 1%, multiplier effectnya bisa lebih dari 3-5%, jadi jelas biayanya naik,” kata Wapres. PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam kepada ILLINI NEWS.

Dalam skenario ini, tidak mengherankan jika tekanan inflasi akan meningkat pada tahun 2025. Berdasarkan kajian LPEM FEB UI dalam Outlook Analisis Makroekonomi Indonesia Seri Makroekonomi 2025 dijelaskan bahwa PPN dapat menambah tekanan inflasi.

“Tarif PPN yang lebih tinggi umumnya menyebabkan peningkatan langsung pada harga barang dan jasa, sehingga meningkatkan biaya hidup secara keseluruhan. Dampak ini dapat menjadi tantangan bagi rumah tangga berpendapatan rendah, yang mengalami penurunan daya beli. Mungkin, mengarah pada penurunan pendapatan. belanja konsumen dan konsumsi secara umum,” kata Ekonom LPEM FEB UI Teuku Riefky.

Dalam kajian LPEM FEB UI, Teuku mengemukakan bahwa kekayaan ketika tarif PPN masih 10% pada periode 2020-2021, rumah tangga kaya atau 20% terkaya menanggung biaya sebesar 5,10%, sedangkan rumah tangga miskin atau 20% termiskin menanggung biaya. 4.15. % dari biaya.

Setelah kenaikan tarif PPN sebesar 11% pada tahun 2022-2023, rumah tangga kaya akan menanggung 5,64% pengeluaran PPN. Sedangkan rumah tangga miskin hanya menyumbang 4,79% pengeluaran.

Besarnya dampak kenaikan tarif PPN terhadap beban belanja pemerintah juga diungkapkan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF). Direktur Eksekutif INDEF Esther Sri Astuti mengatakan INDEF memperkirakan PPN akan naik menjadi 12,5 yang berdampak langsung pada kantong masyarakat.

Dikatakannya, hasil penelitian menunjukkan kenaikan PPN akan menyebabkan penurunan pendapatan riil masyarakat; Indeks harga konsumen akan berkontraksi dan pertumbuhan ekonomi juga akan menurun.

“Kenaikan tarif PPN ini akan menyebabkan kontraksi ekonomi tidak hanya dari sisi konsumsi tetapi juga ekspor dan impor serta pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.

Mengutip data yang dipaparkan Ester, Indef memperkirakan kenaikan PPN akan menurunkan upah riil masyarakat sebesar -5,86%; CPI juga turun 0,84%; Sedangkan pertumbuhan PDB mengalami kontraksi -0,11%; Konsumsi masyarakat akan turun -3,32%. Selain itu ekspor juga mengalami penurunan sebesar -0.14% dan impor sebesar -7.02%.

Aster juga mengatakan terdapat bukti kuat bahwa kenaikan PPN sebesar 1% akan berdampak luas terhadap perekonomian. Berdasarkan temuan riset Indef, kata dia, kenaikan PPN berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,02%. Sebab, kenaikan PPN akan meningkatkan biaya produksi dan konsumsi sehingga menurunkan daya beli.

Kata dia, dampak kenaikan PPN sangat luas karena akan mengurangi lapangan kerja dan menurunkan pendapatan masyarakat. “Penyerapan tenaga kerja akan turun dan pendapatan juga akan turun sehingga akan menurunkan konsumsi dan menghambat pemulihan ekonomi yang pada akhirnya menurunkan pendapatan negara,” ujarnya.

Ketika masyarakat tidak lagi mampu memiliki daya beli yang kuat, tentu tidak akan ada lagi yang mampu menyerap hasil produksi dari sektor industri, sehingga pendapatan sektor komersial berpotensi tertekan. Seorang pengusaha secara terbuka mengkhawatirkan potensi kebangkrutan dan PHK di sektor hotel dan restoran.

Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani mengatakan kenaikan PPN sebesar 12% akan memberikan tekanan berat bagi industri hotel dan restoran yang sedang menghadapi tantangan besar, terutama di tengah menurunnya daya beli. publik

“PPN ini tidak hanya berdampak pada hotel dan restoran saja, tapi berdampak pada semua sektor. Namun bagi kami dampaknya akan langsung terasa karena konsumsi masyarakat,” kata Hariyadi dalam jumpa pers di Jakarta ,” kata Hariyadi dalam jumpa pers di Jakarta. .

Hariyadi meyakini meski konsumsi segmen menengah atas relatif stabil, namun kenaikan PPN sebesar 1% masih akan berdampak signifikan, terutama bagi restoran dan hotel yang mengandalkan pelanggan segmen menengah ke bawah.

Dikatakannya, industri hotel dan restoran kini menghadapi apa yang disebut triple hit atau tekanan tiga cabang, yaitu penurunan daya beli masyarakat, kenaikan PPN hingga 12%, dan pemotongan pemerintah. Anggaran termasuk perjalanan dinas dan akomodasi. Situasi ini mendorong pengusaha untuk merencanakan efisiensi.

“Mau tidak mau, survival mode, yaitu kita harus bisa mengendalikan biaya. Jadi harus segera munculkan sesuatu untuk menghemat uang,” ujarnya.

Partai Buruh juga memperingatkan kemungkinan terjadinya redundansi karena kebijakan yang akan mengekang daya beli masyarakat. Ketua KSPI Syed Iqbal yang juga Ketua Umum Partai Buruh menilai kenaikan PPN hingga 12% akan berdampak langsung pada harga barang dan jasa yang semakin mahal. Di sisi lain, kenaikan upah minimum yang hanya sebesar 1%-3% belum cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.

Lemahnya daya beli ini juga akan mengganggu kondisi pasar, mengancam kelangsungan usaha, dan meningkatkan kemungkinan terjadinya PHK di berbagai sektor, kata Iqbal dalam keterangannya.

Jika pemerintah tetap menaikkan PPN sebesar 12% dan tidak menaikkan upah minimum sesuai tuntutan sebesar 8-10%, KSPI akan bergabung dengan serikat buruh lain dalam aksi mogok nasional yang melibatkan 5 juta buruh di seluruh Indonesia.

“Aksi tersebut berupa rencana penghentian produksi selama minimal 2 hari antara tanggal 19 November hingga 24 Desember 2024 sebagai bentuk protes terhadap kebijakan yang dinilai menindas masyarakat dan pekerja,” kata Iqbal.

Pemerintah sebaiknya mempertimbangkan untuk menunda kebijakan tersebut karena besarnya dampak kenaikan PPN yang dapat menurunkan daya beli masyarakat. Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonsus Widjaja terang-terangan meminta pemerintah menunda kebijakan tersebut.

“Kami sejak awal sudah meminta pemerintah untuk menunda kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% karena berpotensi menurunkan daya beli masyarakat menengah ke bawah karena kenaikan PPN ini akan meningkatkan harga produk, biaya. Akan ada dampaknya. Jumlah barangnya akan bertambah,” kata Alphonse saat ditemui di Hotel Sentica ICE BSD Tangerang.

Alphonsus mengingatkan, daya beli masyarakat menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, dengan konsumsi dalam negeri berkontribusi sebesar 57% terhadap produk domestik bruto (PDB). Penurunan daya beli ini, ia khawatir, akan menghambat target pemerintah mencapai pertumbuhan ekonomi 8%.

“Struktur masyarakat Indonesia didominasi oleh kelompok menengah ke bawah. Artinya, jika terganggu maka pertumbuhan ekonomi Indonesia juga akan terkena dampaknya. Karena sekitar 57% pertumbuhan ekonomi Indonesia didominasi oleh konsumsi dalam negeri. Jadi akan berdampak Perekonomian Indonesia padahal target pemerintah 8%,” ujarnya. (mij/mij) Simak video berikut: Video: Banteng Naikkan PPN Jadi 12%, Protes Besar-besaran, Pemerintahan Jokowi Naikkan Hingga Artikel Berikutnya PPN 12%, Berlaku 2025?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *