illini news Alasan Seseorang Berlibur: Aspek Teoritis Hingga Faktor FOMO

Catatan: Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan pendapat dewan redaksi illinibasketballhistory.com

Liburan telah tiba. Liburan telah tiba. Dirgahayu! Dirgahayu!

Setiap memasuki libur panjang Natal dan Tahun Baru, cuplikan lirik yang dinyanyikan artis Tasya Kamila 24 tahun lalu bermunculan di timeline media sosial. Hal ini seolah menjadi pengingat bagi semua orang untuk segera berlibur ke tempat wisata populer.

Tak heran, suasana libur panjang kerap kali dirusak oleh kemacetan panjang, antrian berliku di stasiun kereta, pelabuhan, dan bandara, serta semrawutnya tempat-tempat wisata, karena menjelang berakhirnya masa liburan masyarakat benar-benar sudah menjalani tahun dan orang yang panjang. adalah Apa yang Anda lakukan untuk terus bepergian? Graham Michael Stuart Dann, sosiolog di Universitas West Indies di Barbados, menjelaskan dalam artikel tahun 1981, “Motivasi Wisatawan: Sebuah Penilaian,” yang diterbitkan dalam Annals of Tourism Research. Kondisi tersebut bersifat nyata (visible), seperti pelarian dari kehidupan sehari-hari, istirahat, relaksasi, alasan kesehatan, petualangan, dan interaksi sosial. Seseorang memilih tujuan wisata karena keunikan atraksi yang dapat dinikmati.

Misalnya pemandangan alam yang indah, pantai, tempat bersejarah, kekhasan budaya, keahlian memasak, keramahan dan penerimaan tuan rumah, biaya terjangkau, iklim yang berbeda, aktivitas wisatawan, hiburan, olah raga, dan lain-lain merupakan ciri-ciri suatu daerah tujuan wisata. Berwisata ke berbagai destinasi wisata di penghujung tahun. Namun fenomena yang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan bahwa hampir semua orang memutuskan untuk pergi ke destinasi wisata yang sama.

Situasi ini menimbulkan masalah lain, yaitu overtourism. Berkumpulnya wisatawan di tempat wisata. Pertanyaan selanjutnya adalah, apa yang menyebabkan hal tersebut terjadi? Di sini interaksi sosial terjadi secara langsung (direct social interaksi) tanpa melalui media.

Dengan tidak adanya perangkat komunikasi massa modern yang terhubung ke Internet, popularitas destinasi wisata hampir seluruhnya bergantung pada informasi dari mulut ke mulut dari orang-orang yang pernah berkunjung ke tempat tersebut, sesuatu yang telah banyak berubah saat ini. Masyarakat tidak lagi mengandalkan interaksi sosial langsung untuk berkomunikasi. Media sosial yang diakses melalui komputer, ponsel, tablet, bahkan jam tangan elektronik (computerwatch) berarti hambatan komunikasi dapat dihilangkan. Tentu saja hal ini juga mempengaruhi cara masyarakat memilih perjalanan ke destinasi wisata. Teori tersebut mengakomodasi kemajuan teknologi komunikasi dan menangkap fenomena wisatawan yang mentransfer cerita pengalamannya mengunjungi tempat tertentu ke media sosial. Teori ini kemudian diterjemahkan ke dalam electronic word-of-mouth (eWOM). , saran dan rekomendasi yang diunggah di media sosial oleh orang-orang yang pernah berkunjung ke tempat tersebut, konten elektronik dari mulut ke mulut lebih dari sekedar menggambarkan cerita dalam bentuk kata-kata. Bisa berupa foto, video, wawancara atau bahkan klip pendek tempat wisata. Awalnya konten eWOM dibuat di media sosial dengan tujuan untuk berbagi pengalaman, memberikan catatan, atau bisa juga sebagai bentuk presentasi (ekspresi), namun secara tidak langsung pihak pengelola wisata dan penyedia layanan yang membahas dalam konten tersebut mendapatkan keuntungan. Sepertinya mereka mendapat iklan gratis dari pelanggannya. Orang-orang yang melihat konten yang diunggah mungkin akan menambahkannya ke daftar keinginan liburan mereka karena kontennya yang menarik atau bahkan viral. Menemukan. Wisatawan cenderung menggunakan informasi elektronik dari mulut ke mulut di media sosial untuk mengambil keputusan ketika menentukan tujuan perjalanan guna memenuhi kebutuhan mereka akan hiburan, berbagi pengetahuan, dan bantuan sosial (ditambah dengan masyarakat saat ini). Website tersebut tampaknya sejalan dengan apa yang terjadi di Indonesia saat ini. Jika dicermati, banyak orang yang cenderung memilih tempat wisata yang hampir sama.

Hal ini dikarenakan di Indonesia yang merupakan negara dengan jumlah penduduk 280 juta jiwa, sebagian besar masyarakatnya tidak mempunyai pilihan dalam memilih tempat wisata yang sesuai dengan keinginan, budget dan kebutuhan, namun jika kita mengacu pada teori dari mulut ke mulut secara online. , fenomena ini terjadi dengan sangat cepat. Mungkin karena wisatawan domestik khawatir jika tidak pergi ke tempat wisata akan dianggap ketinggalan zaman. Hal ini tercermin di media sosial. Sikap ini disebut dengan Fear of Missing Out (FOMO). Bahkan sangat disarankan untuk berlibur untuk menyeimbangkan ritme kerja dan kehidupan sehari-hari (work-life balance). Namun tentunya liburan harus tetap membangkitkan esensi tujuannya, baik untuk mencapai tujuan psikososial (faktor pendorong) maupun untuk mendapatkan pengalaman baru mengunjungi tempat wisata yang berbeda (faktor penarik). Digunakan sebagai alat untuk memilih tujuan perjalanan. Namun, kami belum menghitung potensi dampak besar dari overtourism, karena tidak semua orang ingin disebut “FOMO”.

Tentunya tidak semua orang menginginkan liburan yang menyenangkan dan penuh petualangan karena tidak ingin memilih destinasi wisata yang lain (miq/miq)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *