Catatan: Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan redaksi illinibasketballhistory.com.
Fondasi kedaulatan pangan suatu bangsa terletak pada unit terkecil masyarakat, yaitu keluarga. Sebagai inti keluarga, ibu memegang peranan penting dalam menentukan arah kesehatan dan gizi keluarga. Sebagai gatekeeper gizi keluarga, sudah menjadi tanggung jawab ibu untuk memastikan setiap anggota menerima gizi yang cukup. Peran tersebut tidak hanya berdampak pada kesejahteraan individu, namun juga menentukan kualitas sumber daya manusia suatu negara.
Penting untuk membuktikan secara ilmiah betapa mendasarnya peran ibu dalam aspek kedaulatan pangan suatu negara. Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam Lancet Global Health (2021) dengan jelas menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara pendidikan gizi ibu dan risiko malnutrisi pada anak. Proyek meta-analisis berskala besar ini mencakup data dari lebih dari 200.000 keluarga di 60 negara berkembang, termasuk Indonesia, dengan fokus pada peran ibu dalam pengambilan keputusan mengenai gizi.
Kesimpulan terpenting dari penelitian ini adalah ibu berperan besar dalam memilih pola makan anak dalam keluarga. Pendidikan ibu, pengetahuan dan literasi gizi merupakan faktor penting yang menentukan kualitas gizi keluarga khususnya pada seribu hari pertama kehidupan (1000 HPK). Menariknya, ibu yang memiliki akses terhadap informasi atau pelatihan gizi, baik melalui sekolah, konseling, atau media, cenderung memberikan pola makan yang jauh lebih baik kepada anaknya.
Bahkan jika ditelaah lebih mendalam, penelitian ini mengklaim bahwa anak yang dibesarkan oleh ibu dengan pendidikan gizi yang baik memiliki risiko 26 persen lebih rendah mengalami stunting. Tentu saja, ini merupakan dimensi obyektif yang merasionalisasi pentingnya investasi dalam literasi gizi bagi perempuan dan ibu di Indonesia.
Kepemimpinan yang kuat
Peran kepemimpinan ibu dalam gizi keluarga di Indonesia sebenarnya telah terbukti baik secara empiris maupun klinis. Ada tiga peran utama yang secara seragam direkomendasikan oleh banyak penelitian ilmiah di Indonesia. Yang pertama adalah peran manajemen dan manajemen keluarga.
Sebagai kepala keluarga, ibu mempunyai peran pengontrol dan penting yang menentukan arah kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan anggota keluarga. Ibu seringkali menjadi pengambil keputusan utama dalam pengelolaan keuangan keluarga. Studi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (2022) menunjukkan bahwa 75 persen keputusan keuangan untuk kebutuhan pangan, pendidikan, dan kesehatan dibuat oleh ibu.
Dalam manajemen waktu, ibu berperan dalam merencanakan aktivitas keluarga, mulai dari jadwal makan, belajar, hingga rekreasi. Ibu yang dapat menciptakan rutinitas yang terstruktur dapat meningkatkan produktivitas keluarga. Sebuah penelitian di Yogyakarta (2021) menemukan bahwa anak-anak dalam keluarga yang ibunya mengatur rutinitas memiliki tingkat kedisiplinan 30 persen lebih tinggi dibandingkan anak-anak yang tidak memiliki struktur.
Peran kepemimpinan seorang ibu selanjutnya adalah pada aspek pendidikan gizi pada anak. Sebagai guru pertama bagi anak-anaknya, ibu berperan dalam mengajarkan pentingnya gizi sejak dini. Edukasi tersebut meliputi jajanan sehat, menghindari makanan olahan berlebihan, dan membangun kebiasaan makan bersama. Sebuah studi UNICEF (2021) menemukan bahwa anak-anak yang ibunya mengajari mereka kebiasaan makan sehat memiliki risiko dua kali lipat mengalami obesitas dibandingkan mereka yang tidak mendapatkan pendidikan yang sama.
Contoh inspiratif yang sangat relevan dengan argumen ini dapat ditemukan melalui komunitas Smart Mom di Yogyakarta. Di sini, kepemimpinan perempuan di masyarakat secara aktif melibatkan para ibu dalam mendidik anak tentang gizi melalui cerita dan permainan. Hasilnya, konsumsi buah dan sayur pada anak meningkat sebesar 25 persen.
Bentuk kepemimpinan ketiga yang diidentifikasi oleh berbagai studi epidemiologi di Indonesia adalah peran sentral keluarga dalam ketahanan pangan. Ibu berkontribusi terhadap kelangsungan sumber dan ketersediaan pangan keluarga. Contoh yang tidak biasa terjadi di Banyuwangi, perempuan petani memulai program “kampung sayur” di mana setiap keluarga menanam sayuran di halaman belakang rumah mereka. Inisiatif ini berhasil menurunkan biaya pangan hingga 40 persen dan meningkatkan gizi masyarakat.
Pengakuan dan penguatan peran
Meskipun peran ibu dalam keluarga telah lama diakui sebagai pilar penting pembangunan masyarakat, namun pengakuan tersebut belum sepenuhnya dibarengi dengan pemberdayaan yang optimal.
Data UN Women (2022) menunjukkan bahwa meskipun 7 dari 10 perempuan Indonesia berkontribusi besar dalam pengelolaan rumah tangga, namun kurang dari separuhnya memiliki akses terhadap pelatihan atau program pemberdayaan ekonomi dan pendidikan praktis. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara pengakuan terhadap peran ibu dan upaya untuk benar-benar memperkuat peran tersebut.
Data Riskesdas (2018) menunjukkan bahwa tingkat literasi gizi ibu yang tinggal di perdesaan jauh lebih rendah dibandingkan di perkotaan, sebesar tiga kali lipat. Hal ini menyoroti perlunya pendekatan yang lebih inklusif dan berbasis masyarakat untuk meningkatkan kesadaran gizi di antara semua kelompok, terutama di daerah pedesaan.
Salah satu inovasi pendidikan manajemen keluarga yang berpotensi diadopsi secara luas adalah “Smart Cost Management Program for Optimal Child Nutrition” yang digagas oleh Pentahelix plan Danone Indonesia. Melalui program ini, para ibu dilatih ketahanannya untuk mendukung keberlangsungan gizi keluarga.
Melalui program ini, para ibu diinformasikan bahwa meskipun mereka tidak dapat mencegah krisis seperti gagal panen atau krisis sosial yang menyebabkan berkurangnya ketersediaan pangan, di tingkat keluarga mereka dapat menerapkan strategi untuk mempersiapkan atau mengatasi kerawanan pangan. Salah satunya melalui sistem keuangan keluarga. Hal ini dilakukan untuk memastikan kebutuhan pangan keluarga, khususnya anak-anak, tidak berkurang saat terjadi keadaan darurat.
Pemerintah sebenarnya telah berupaya memperkuat peran ibu dengan memfokuskan pada berbagai program, khususnya kesehatan dan pendidikan. Salah satunya adalah Program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang sebagian besar penerima manfaatnya adalah perempuan atau ibu rumah tangga.
Selain itu, Program Keluarga Harapan (PKH) memberikan insentif kepada para ibu agar anaknya mempunyai akses terhadap layanan pendidikan dan kesehatan. Meskipun program-program ini membantu meningkatkan kualitas hidup keluarga, cakupannya masih perlu diperluas untuk menjangkau ibu-ibu di daerah terpencil.
Namun, pengakuan terhadap peran ibu seringkali masih bersifat simbolis dan tidak diintegrasikan ke dalam kebijakan berkelanjutan. Dalam aspek kepemimpinan masyarakat, ibu dipandang sebagai “penolong” dibandingkan pemimpin yang aktif.
Hal ini tercermin dari rendahnya keterlibatan ibu-ibu dalam forum pengambilan keputusan masyarakat. Misalnya, data Bapenas (2023) menunjukkan bahwa hanya 2 dari 10 perempuan yang aktif berpartisipasi dalam musyawarah desa, yang sebagian besar adalah ibu rumah tangga. Partisipasi ibu dalam pengambilan keputusan penting untuk memastikan bahwa kebijakan lokal benar-benar mendukung ketahanan pangan dan gizi untuk kesejahteraan keluarga.
Upaya pemberdayaan ibu juga memerlukan dukungan dari pihak swasta dan masyarakat. Inisiatif seperti pelatihan kewirausahaan melalui organisasi kemasyarakatan atau organisasi nirlaba tengah dicanangkan bagi para ibu rumah tangga, khususnya di perkotaan.
Data LPEM UI menunjukkan keterlibatan sektor swasta dalam skala besar masih terbatas. Contoh inspiratif muncul dari program Rumah Ibu Sehat di Bandung dan Bogor, di mana sektor swasta bermitra dengan masyarakat lokal untuk memberikan pelatihan kesehatan, pengelolaan keuangan, dan gizi kepada ibu rumah tangga. Program-program seperti ini harus direplikasi di sektor-sektor lain.
Secara strategis, peran kepemimpinan ibu harus diperkuat melalui peningkatan kapasitas melalui pendidikan dan literasi. Pemberdayaan komunitas ibu sebagai agen perubahan juga merupakan strategi yang dapat dirangsang secara mandiri di tingkat komunitas. Peningkatan kesadaran melalui media sosial dan kampanye publik juga terbukti menginspirasi lebih banyak ibu untuk berperan dalam kedaulatan pangan bangsa.
Momentum Hari Ibu yang diperingati setiap tanggal 22 Desember hendaknya menjadi pengingat akan pentingnya peran ibu sebagai penggerak utama dalam keluarga, masyarakat, dan bangsa. Pengakuan simbolis terhadap ibu harus dibarengi dengan tindakan nyata, seperti akses yang lebih besar terhadap pendidikan, pelatihan keterampilan, dan kebijakan yang mendukung peran ibu dalam keluarga dan masyarakat. Dengan memberdayakan ibu, sebenarnya kita sedang memperkuat fondasi bangsa karena keluarga yang sehat, terpelajar, dan sejahtera selalu dimulai dari ibu yang berdaya.
(tunggu/tunggu)