illini berita Meninjau Ulang Program Prioritas Industri Pertahanan Indonesia

Catatan: Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan dewan redaksi illinibasketballhistory.com.

Kemandirian pertahanan merupakan impian lama negara-negara berkembang, yang diwujudkan melalui pengembangan industri pertahanan lokal. Keinginan untuk memiliki industri pertahanan sendiri didorong oleh alasan seperti keamanan nasional dan pembangunan ekonomi.

India, Korea Selatan, dan Taiwan adalah contoh beberapa negara yang berupaya menjalankan kedaulatan pertahanan dengan merancang dan memproduksi berbagai alutsista, seperti pesawat latih, jet tempur, dan kapal permukaan. Di negara berkembang, kehadiran industri pertahanan biasanya diprakarsai oleh negara, karena pihak swasta tidak memiliki kapasitas seperti yang dimiliki negara maju.

Upaya mencapai kedaulatan keamanan tidak hanya memerlukan dukungan politik yang kuat dari negara, namun juga kapasitas permodalan, adopsi teknologi tinggi, kapasitas industri pertahanan dan sumber daya manusia.

Kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menghidupkan kembali industri pertahanan telah menunjukkan hasil, namun masih banyak permasalahan dalam asimilasi teknologi tinggi, dalam produksi sistem persenjataan canggih dan dalam penjualan produk pertahanan.

Kebijakan offset yang diharapkan unggul dalam adopsi teknologi tinggi, ternyata belum membuahkan hasil, hal ini menunjukkan sulitnya industri pertahanan dalam negeri dalam mengadopsi teknologi tersebut.

Saat ini Indonesia memasuki periode baru dalam rencana pembangunan jangka panjang ketenagalistrikan yaitu periode 2025-2044. Salah satu fase periode tersebut adalah periode 2025-2029, yang merupakan periode baru setelah daya inti minimum 2010-2024.

Timbul pertanyaan, kebijakan industri pertahanan apa yang akan diambil oleh pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Pravo Subianto untuk menerapkan kedaulatan pertahanan? Akankah ada kemajuan dalam kebijakan untuk menghadapi tantangan yang dihadapi industri pertahanan lokal sejauh ini?

Mengingat kompleksnya tantangan yang dihadapi industri pertahanan Indonesia, mengatasinya dalam lima tahun ke depan akan menjadi tugas yang sulit. Salah satu perkembangan kebijakan yang bisa diambil pemerintahan baru adalah peninjauan terhadap 10 program prioritas industri pertahanan.

Tidak berlebihan jika memperkirakan sebagian besar program prioritas tersebut belum mampu mencapai tujuannya, sehingga wajar jika pemerintahan baru akan melakukan peninjauan kembali. Apalagi program-program tersebut dimulai pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan telah berlangsung selama 10 tahun.

Rencana prioritas industri pertahanan harus dikurangi dari 10 kegiatan menjadi tiga program. Aplikasi yang harus dipertahankan adalah kapal selam, tanker, dan drone. Sementara program tank menengah kini sudah memasuki tahap produksi massal, program lain bisa dianggap gagal. Mengapa hanya tiga program yang menjadi prioritas pemerintah baru?

Dari sisi finansial, pemerintahan baru bisa dipastikan akan memprioritaskan anggaran pada kegiatan-kegiatan utama yang menjadi janji kampanye pemilu presiden dan berbeda dengan pemerintahan sebelumnya.

Meskipun anggaran pertahanan tahunan mungkin meningkat, kemungkinan besar peningkatan tersebut tidak akan memberikan kontribusi signifikan terhadap anggaran penelitian dan pengembangan terkait. Selama ini sumber pendanaan 10 program prioritas industri pertahanan adalah anggaran penelitian dan pengembangan teknologi pertahanan.

Pemerintah juga mengalokasikan penanaman modal masyarakat untuk program tertentu, seperti investasi sebesar Rp 2,78 triliun untuk mendukung pembangunan fasilitas bawah laut di PT PAL Indonesia. Rencana akuisisi teknologi kapal selam melalui pembelian tiga kapal selam DSME 209/1400 gagal karena Korea Selatan hampir tidak memberikan pengetahuan kepada Indonesia.

Sesuai dengan keputusan Kementerian Pertahanan yang memberikan dua kapal selam diesel elektrik kepada TNI Angkatan Laut, kontrak penguasaan teknologi kapal selam Indonesia telah dibuka kembali. Kedua kapal selam yang akan menerima baterai lithium-ion penuh ini akan dibangun di Indonesia oleh para ahli dan pekerja terampil di bawah pengawasan penuh kelompok maritim.

Konsep ini berbeda dengan pembangunan tiga kapal selam DSME 209/1400 yang tenaga ahli dan terampil Indonesia hanya belajar secara langsung. Model yang ditawarkan Naval Group ke Indonesia sebelumnya diterapkan oleh Mazagon Dock Shipbuilder, India, yang membangun enam kapal selam Scorpene di India.

Menurut seorang manajer senior galangan kapal India, dalam pembangunan dua kapal selam pertama mereka mendapat ilmu dari Naval Group. Berdasarkan pengetahuan dua kapal pertama, pembangunan kapal selam ketiga, dan seterusnya seluruhnya dilakukan oleh tenaga ahli dan pekerja terampil India, sedangkan peran kelompok angkatan laut sudah tidak signifikan lagi.

Program bahan bakar belum mencapai tujuannya untuk mengembangkan teknologi bahan peledak tingkat militer karena kurangnya investasi pemerintah di PT Dahana. Hingga saat ini, Indonesia harus mengimpor bahan bakar bi-base karena tidak dapat memproduksi nitrogliserin dan nitroselulosa yang tergolong kelas militer, karena produk lokal tidak dapat diandalkan.

Indonesia hanya dapat memproduksi nitrogliserin dan nitroselulosa berkualitas tinggi untuk memenuhi kebutuhan amunisi dan bahan bakar jika pemerintah berinvestasi pada fasilitas produksi seperti air dan listrik. Pasalnya, produksi nitrogliserin dan nitroselulosa di tingkat militer memerlukan pasokan air yang besar dan berkelanjutan yang harus didukung oleh listrik yang beroperasi 24 jam sehari.

Upaya untuk meningkatkan kapasitas produksi bahan bakar ganda mungkin tidak akan membuahkan hasil jika pemerintah bersedia melakukan investasi. Jika beberapa tahun lalu pemerintah ingin meningkatkan investasi pabrik seperti yang direkomendasikan Roxel dan Eurenco, kini perusahaan tersebut bisa memproduksi bahan peledak kelas militer.

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah pemerintah bersedia melakukan investasi agar PT Dahana bisa memproduksi bahan peledak dan bahan bakar kelas militer. Yang pasti, program tersebut tidak akan dimulai dari awal, karena hanya perlu melengkapi fasilitas yang ada.

Pengendalian teknologi drone dapat menjadi prioritas lain bagi pemerintah jika pemerintah ingin melanjutkan rencana yang berbeda dari rencana sebelumnya yang gagal. Pemerintah harus mengadopsi rencana baru, yang dirancang untuk membeli lisensi dari salah satu negara produsen drone sebagai jalan pintas untuk mengendalikan teknologi terkait.

Membeli lisensi memang mahal dari segi biaya, namun harus diingat bahwa tidak ada biaya yang murah bahkan gratis untuk menguasai teknologi canggih. Jenis drone yang dibutuhkan Indonesia adalah Medium Endurance Long Range (MALE) kategori 3 dengan standar NATO, yakni berbobot lebih dari 600 kg, yang mencakup muatan seperti peralatan elektro-optik dan otot.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *