Catatan: Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan redaksi illinibasketballhistory.com.
Kementerian Pertahanan bersama Staf Umum dan Komando Pasukan TNI akan menerbitkan permohonan anggaran pinjaman luar negeri (PLN) dan pinjaman dalam negeri (PDN) untuk pengadaan alutsista pada tahun 2025-2029.
Beberapa bulan lalu, ketiga kekuatan TNI menyampaikan rencana anggaran pembelian alutsista kepada Kementerian Pertahanan. Setelah evaluasi kerja di Kementerian Pertahanan selesai, usulan tersebut akan disampaikan kepada Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bapenas untuk mendapat persetujuan Menteri Pertahanan.
Jika disetujui oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bapenas, usulan permintaan anggaran pengadaan alutsista akan dimasukkan dalam Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah (DRPLN-JM) 2025-2029 dan Daftar Kegiatan Pinjaman Dalam Negeri. (DKPDN) 2025-2029
Besaran alokasi “Buku Biru” kepada Kementerian Pertahanan pada 2025-2029 masih menjadi misteri karena merupakan kewenangan pemerintahan baru. Namun diperkirakan investasi PLN pada sistem persenjataan mencapai 25-35 miliar dolar.
TNI Angkatan Udara diperkirakan menjadi penerima PLN terbesar, disusul TNI Angkatan Laut dan TNI Angkatan Darat. Jika perkiraan ini benar, maka konfigurasi ini tidak akan berubah dari penyaluran penerima PLN pada tahun 2020 hingga 2024, dengan nilai akhir penyaluran PLN sebesar $25 miliar.
Kementerian Pertahanan TNI Angkatan Laut diperkirakan akan mengeluarkan dana untuk sistem persenjataan utama seperti fregat dan kapal selam untuk membangun kekuatan pertahanannya antara tahun 2025 dan 2029. Akuisisi kedua alutsista ini merupakan kelanjutan dari aksi serupa MEF 2020-2024.
Pasalnya, TNI Angkatan Laut membutuhkan lebih banyak kapal selam dan fregat baru untuk menggantikan kapal selam lama dan kapal yang berusia lebih dari 30 tahun.
Pada periode MEF 2020-2024, Kementerian Pertahanan mengakuisisi dua kapal selam Scorpene Evolution dan dua kapal selam Thaon Di Revel. Meski Kementerian Pertahanan mengimpor tiga kapal selam DSME 209/1400 dari Korea Selatan antara tahun 2010 hingga 2014, namun performa kapal selam tersebut belum sesuai ekspektasi dan menjadi beban TNI Angkatan Laut.
Meskipun pembangunan kekuatan pertahanan belum dimulai antara tahun 2025 dan 2029, Tiongkok kini secara agresif membeli kapal selam S26, yang sebelumnya tidak dapat dibeli oleh Thailand karena Thailand tidak dapat memenuhi kebutuhan Thailand.
Saat itu, Tiongkok menjanjikan kapal selam AIP akan dilengkapi dengan sistem propulsi MTU 396 yang diproduksi oleh MTU Jerman. Namun, pemerintah Jerman menolak memberikan izin ekspor ke Tiongkok untuk sistem propulsi, yang dikenal dapat diandalkan, karena embargo terhadap Tiongkok setelah pembantaian Tiananmen tahun 1989.
Penolakan pemerintah Jerman ini tidak mengherankan karena Jerman dan negara-negara Barat berusaha mempertahankan keunggulan teknologinya, sementara di sisi lain, Tiongkok diketahui kerap melakukan reverse engineering tanpa izin dari negara produsen.
Penawaran Kapal Selam S26 akan memberi Indonesia kapal perusak Tipe 052D dengan harga lebih rendah jika membeli keduanya. Baik proposal S26 maupun Type 052D sebenarnya sudah dibuat beberapa tahun lalu, namun TNI AL dan Fincantieri lebih tertarik dengan proposal tersebut.
Tiongkok tampaknya tidak mundur dari tawaran ini dan akan mengirimkan serangkaian kapal selam dan kapal perusak lainnya antara tahun 2025 dan 2029 sebelum membangun kekuatan pertahanan. Terkait pasokan kapal selam dan kapal perusak dari China, Indonesia perlu memperhatikan beberapa hal.
Pertama, perspektif geopolitik. Tiongkok memang merupakan salah satu kekuatan ekonomi utama dunia dan anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Namun perlu diingat juga bahwa Tiongkok sedang berusaha untuk menetapkan tatanan dan aturannya sendiri dalam hubungan antar negara, khususnya di kawasan Indo-Pasifik, yang mungkin bertentangan dengan kepentingan nasional Indonesia dan hukum internasional.
Selain menindas negara lain, Tiongkok juga berupaya mengubah hukum internasional dengan menerapkan penafsiran sepihak yang ditolak negara lain. Meskipun Tiongkok mengklaim bahwa AS adalah kekuatan alternatif, cara Tiongkok dalam memajukan kepentingan nasionalnya tidak lebih baik dibandingkan dengan cara Amerika Serikat.
Kedua, potensi konflik di Laut Cina Selatan. Meski tidak mengakui klaim sembilan garis putus-putus Tiongkok di Laut Cina Selatan, namun Indonesia tidak boleh secara naif berasumsi bahwa Indonesia tidak memiliki potensi konflik dengan Tiongkok dalam 20 tahun ke depan.
Apakah pelanggaran yang dilakukan pemerintah Tiongkok terhadap ZEE dan wilayah perairan Indonesia selama 20 tahun terakhir belum cukup untuk meyakinkan Indonesia bahwa Tiongkok mempunyai klaim teritorial atas kedaulatan dan wilayah perairan Indonesia?
Meskipun Amerika Serikat juga telah melanggar kedaulatan dan keutuhan wilayah Indonesia, namun negara tersebut tidak mempunyai klaim teritorial terhadap Indonesia.
Ketiga, integrasi sistem. Indonesia sejauh ini telah membeli berbagai sistem persenjataan utama dari negara-negara Barat, dan akan lebih mudah untuk mengintegrasikan sistem persenjataan tersebut jika Indonesia menginginkannya.
Jika Indonesia membeli kapal selam S26 dan pesawat tempur Tipe 052D, integrasi dengan sistem persenjataan buatan Barat akan menghadapi tantangan politik dan teknologi. Penggabungan kedua sistem ini memerlukan persetujuan terlebih dahulu dari pemerintah negara-negara Barat, karena Indonesia akan dibatasi pada izin ekspor yang telah dikeluarkan sebelumnya.
Keempat, menguasai teknologi kapal selam. Jika Indonesia setuju membeli kapal selam buatan China, di manakah benang merah akuisisi teknologi dengan pembelian kapal selam Scorpene Evolution dan kapal selam S26? Akankah kapal selam S26 membantu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan para insinyur dan teknisi Indonesia dalam menguasai teknologi kapal selam?
Sepengetahuan penulis, diskusi mengenai kapal selam S26 antara Kementerian Pertahanan dan China Shipbuilding Co., Ltd. tidak mempengaruhi kemitraan industri, sementara tidak jelas apakah China State Shipbuilding Corporation berencana mengirimkan S26 sebagai kapal. pabrikan untuk mentransfer teknologi kapal selam ke Indonesia.
Kelima, keandalan teknis. Keandalan teknis kapal selam S26 kalah dengan kapal selam Eropa seperti Scorpene Evolution dan U214. Hal ini terlihat dari ketidakpastian kapal selam Scorpene Evolved yang berkisar 6% dibandingkan ketidakpastian S26 yang sebesar 15%.
Rasio ketidakpastian merupakan waktu pengisian baterai kapal selam, dimana semakin tinggi rasio ketidakpastian maka waktu yang dibutuhkan untuk mengisi baterai kapal selam semakin lama. (miq/miq)