JAKARTA, ILLINI NEWS – Indonesia kembali mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut pada Mei-September 2024 secara bulanan (month-to-month/mtm). Situasi ini serupa dengan situasi pada tahun 1998/1999 dimana deflasi juga masih terjadi.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada Selasa (1/10/2024) mengumumkan Indeks Harga Konsumen (IHK) pada September 2024 turun hingga rekor 0,12% secara bulanan atau year-on-month (mtm). Angka deflasi tersebut lebih dalam 0,03% dibandingkan posisi Agustus 2024.
Plt Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Ediningar Vidyasanti mengatakan, deflasi terus menerus dalam satu tahun kalender bukan kali pertama terjadi di Indonesia. Ia mengatakan, situasi seperti itu terjadi ketika Indonesia menghadapi krisis moneter (Chrismon) atau krisis keuangan Asia pada tahun 1998-1999.
Sebagai catatan, Indonesia terakhir kali mengalami deflasi (mtm) selama lima bulan adalah pada tahun 1999. Pada tahun tersebut, Indonesia mencatatkan deflasi dalam delapan bulan berturut-turut yakni Maret (-0.18%), April (-0.68%), Mei (-0.28%), Juni (-0.34%), Juli (-1.05%), Agustus (- 0,71%), September (-0,91%) dan Oktober (-0,09%).
Akibat krisis tahun 1997/1998, keadaan perekonomian Indonesia saat itu tidak stabil.
Tren turunnya harga pangan justru mendorong deflasi bulanan dan memperlambat angka inflasi tahunan. Namun, ada kemungkinan daya beli masyarakat menurun yang mungkin juga disebabkan oleh inflasi selama lima bulan berturut-turut.
Namun, banyak yang menilai deflasi selama lima bulan berturut-turut juga disebabkan oleh melemahnya daya beli. Selain itu, secara historis, Indonesia lebih sering mencatat inflasi dibandingkan deflasi yang dipengaruhi oleh faktor penawaran. CPI meningkat atau mencatat inflasi yang lebih tinggi jika terjadi gangguan pada pasokan bahan pangan seperti cabai dan beras. Jika pasokan kembali ke tingkat yang memadai, harga akan kembali normal dan inflasi akan terkendali.
Sebaliknya, inflasi biasanya hanya terjadi pada waktu-waktu tertentu menjelang Ramadhan dan Idul Fitri karena meningkatnya permintaan. Bulan-bulan setelah Hari Raya biasanya mengalami deflasi karena permintaan berkurang drastis. Namun deflasi biasanya hanya berlangsung 1-2 bulan saat permintaan kembali normal.
Hal ini berbeda dengan tahun ini dimana deflasi terus berlanjut di tengah laporan melimpahnya pasokan mulai dari beras hingga telur. Buktinya, peternak telur protes karena harga turun karena permintaan terus menurun.
Fakta ini memprihatinkan jika terjadi masalah pelemahan daya beli. Banyaknya pengangguran dan PHK menjadi faktor melemahnya daya beli sehingga menyebabkan berkurangnya permintaan barang dan deflasi.
Berdasarkan statistik terkini Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnakar), jumlah pekerja yang akan dipecat pada Agustus 2023 meningkat 23,72 persen menjadi 46 ribu 240 dibandingkan 37 ribu 375 pada Agustus 2024.
Pengangguran dan orang yang terkena PHK akan mengalami penurunan pendapatan. Jika ia tidak segera mendapatkan pekerjaan maka ia akan dengan mudah masuk dalam kategori miskin.
Semakin banyak pengangguran dan semakin banyaknya masyarakat yang berada pada golongan miskin, maka daya beli masyarakat cenderung menurun.
Pada Februari 2024, tingkat pengangguran terbuka (UTR) sebesar 4,82%, turun 0,63 poin persentase dibandingkan Februari 2023. Artinya, dari 100 orang angkatan kerja, sekitar 5 orang menganggur.
Jumlah pengangguran sebanyak 7,2 juta jiwa merupakan angka terendah sejak era reformasi atau 1997 yang berjumlah 4,69 juta jiwa.
Hal ini lebih baik dibandingkan dengan keadaan dimana tahun 1998 justru memiliki TPT yang lebih tinggi dibandingkan tahun 1997.
Namun perlu diingat bahwa krisis tahun 1997/1998 merupakan salah satu periode terburuk bagi Indonesia. Krisis ini tidak hanya menghancurkan perekonomian, namun juga merambah ke kehidupan sosial dan politik. Krisis tahun 1997/1998 adalah saat Indonesia terpuruk ke titik terendah sepanjang sejarah.
Krisis tersebut menurunkan nilai tukar rupiah dari Rp2.500 menjadi Rp16.900 per dolar AS. Krisis ini juga menyebabkan inflasi Indonesia melonjak hingga 77% sementara perekonomian menyusut lebih dari 13%.
Laporan Bank Indonesia (BI) menyebutkan, dengan kontraksi ekonomi yang sangat dalam, jumlah pengangguran meningkat akibat gelombang pemutusan hubungan kerja (retrenchment) yang terus menerus di berbagai sektor. Di satu sisi, meningkatnya biaya produksi dan di sisi lain, tekanan akibat lemahnya penyerapan pasar dalam negeri memaksa berbagai sektor mengurangi volume perdagangan.
Jumlah pengangguran penuh (pengangguran terbuka) yang tercatat sebesar 4,3 juta orang pada tahun 1997, meningkat menjadi 5,1 juta orang pada tahun 1998 atau 5,5% dari total angkatan kerja.
Berdasarkan statistik kemiskinan, jumlah penduduk miskin yang tercatat di BPS pada tahun 1998 adalah 49,5 juta jiwa (perkotaan + pedesaan) yang mencakup 24,2% penduduk miskin.
Keadaan di tahun 2024 pasti akan berbanding terbalik dengan tahun ini dimana perekonomian tumbuh sebesar 5% dan nilai tukar rupee juga menguat. Oleh karena itu, devaluasi selama lima bulan berturut-turut pada tahun 2024 menimbulkan banyak pertanyaan.
Per Maret 2024, jumlah penduduk miskin sebanyak 25,22 juta jiwa dengan persentase penduduk miskin sebesar 9,03%. Penduduk miskin adalah mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan sebesar Rs 582.932/orang/bulan.
Namun perlu dicatat bahwa Indonesia masih menggunakan standar internasional lama untuk menentukan kelompok yang termasuk dalam kategori miskin ekstrem.
Ukuran standar internasional ini mengacu pada ketentuan Bank Dunia yang menetapkan garis kemiskinan terbaru sebesar US$3,2 per orang per hari menjadi hanya US$1,9.
Ukuran ini telah diadopsi dari angka PPP tahun 2011 sebelumnya hingga angka paritas daya beli (PPP) tahun 2017 mulai tahun 2022, namun Indonesia masih menggunakan ukuran dasar sebesar US$1,9.
Apakah deflasi 5 bulan di tahun 2024 merupakan pertanda lemahnya daya beli?
Fikri Parmana, Ekonom KB Valbari Securities, mengatakan seiring dengan penurunan harga pangan, daya beli masyarakat juga menurun, dan pembelian kebutuhan pokok meningkat.
“Ketidakpastian deflasi pangan, khususnya tekstil dan telekomunikasi, menunjukkan penurunan pembelian barang-barang non-pokok (sekunder dan tersier), yang juga menegaskan penurunan pembelian barang-barang tahan lama (terutama mobil) dan dari sisi pasokan. Berdasarkan PMI Manufaktur terkonfirmasi yang masih dalam zona kontraksi,” kata Fikri kepada ILLINI NEWS.
Data Institut Mandiri juga melaporkan bahwa hingga September 2024, pangsa nilai belanja supermarket terus meningkat sejak Mei 2024 dan kini mencapai 24,2%. Berbelanja di supermarket adalah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari terutama makanan.
Sementara itu, porsi belanja restoran, rumah tangga, dan fesyen mengalami penurunan. Hal ini menegaskan bahwa masyarakat lebih mementingkan masalah perut dan kurang memikirkan belanjaan lainnya.
Selain itu, angka PMI manufaktur, yang menunjukkan aktivitas manufaktur termasuk pesanan baru, juga tampak berada di wilayah kontraksi.
S&P Global melaporkan hingga September 2024, PMI manufaktur Indonesia masih berada di angka 49,2 atau terkontraksi selama tiga bulan berturut-turut.
Bhim Yudhisthira, Direktur Pusat Studi Ekonomi dan Hukum (SELIOS), juga mengatakan inflasi saat ini harus dilihat sebagai tanda melemahnya sisi permintaan secara bertahap.
“Ini bukan keberhasilan mengendalikan inflasi, tapi pertanda masyarakat sudah mundur dari belanja. Malah tidak lagi menahan belanja, tapi porsi uang yang mau dibelanjakan sudah berkurang. Kelas menengah lemah. , Masyarakat menengah atas khawatir situasi ekonomi semakin buruk. Karena itu, belanja terhenti,’ kata Bhima.
Jika deflasi terus berlanjut, para pelaku usaha, terutama yang bergerak di bidang industri makanan dan minuman, pakaian jadi, alas kaki, dan real estate, akan merevisi rencana bisnisnya.
“PMI manufaktur saat ini berada di bawah 50 atau mengurangi pembelian bahan baku. Gejolak ini bisa berdampak pada perlambatan ekonomi,” tutup Bhim.
Riset ILLINI NEWS
[email protected] (rev/rev) Tonton video di bawah ini: Prabowo: Hilirisasi yang Mutlak dan Tak Bisa Dinegosiasikan!