Catatan: Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan pendapat dewan redaksi illinibasketballhistory.com.
Kabar buruk datang dari dalam negeri terkait kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati atau SMI memastikan tarif PPN naik menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025.
Peraturan ini diadopsi berdasarkan UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Dalam Bab IV Seni. 7 par. 1 huruf b) yang menyatakan tarif PPN paling lambat 12 persen hingga 1 Januari 2025. Kebijakan ini kurang tepat diterapkan ketika masyarakat sedang berjuang membangun daya beli.
Beban masyarakat terlalu besar saat ini ketika daya beli masyarakat melemah cukup besar. Pertumbuhan konsumsi masyarakat melambat pada triwulan III tahun 2024, dengan konsumsi rumah tangga hanya tumbuh sebesar 4,91 persen (year-on-year). Pada saat yang sama, konsumsi rumah tangga turun sebesar -0,48 persen kuartal-ke-kuartal. Perseroan juga mengalami deflasi selama 5 bulan berturut-turut (Mei-September).
Dampak paling signifikan dari kebijakan ini adalah kenaikan harga komoditas secara signifikan. Jika dihitung secara sederhana, kenaikan tarif PPN sebesar 1 persen saja bisa menyebabkan lonjakan harga barang hingga 9 persen. Hal ini berdampak langsung pada permintaan konsumen yang cenderung turun karena masyarakat memilih untuk mempertahankan konsumsinya, kenaikan tarif PPN seringkali dianggap sebagai langkah cepat pemerintah untuk meningkatkan pendapatan pemerintah untuk menutupi defisit anggaran, namun kebijakan ini menimbulkan pertanyaan mengenai prioritas. Dan . dengan menjajaki sumber pendapatan lain.
Sektor pertambangan masih mempunyai potensi besar yang belum dimanfaatkan secara optimal, terutama dalam hal terjadinya aktivitas ilegal yang merugikan negara. Pernyataan Hasyim mengenai potensi penghindaran pajak sebesar Rp 300 triliun 1 patut menjadi perhatian utama sebelum memutuskan menaikkan tarif PPN yang membebani masyarakat luas.
Jika sumber pendapatan tersebut bisa diatur, maka pemerintah tidak perlu terburu-buru mengenakan pajak tambahan kepada masyarakat yang pada akhirnya melemahkan daya beli dan memberikan tekanan pada perekonomian.
Ada pula rencana perubahan undang-undang amnesti pajak yang masuk dalam Agenda Legislatif Nasional tahun 2025. Perubahan ini tentu saja membuka potensi adanya amnesti ketiga dalam 10 tahun terakhir, setelah sudah ada pada tahun 2016 dan 2022. menghapus dosa pajak.
Bahkan, pemerintah kini berencana memotong pajak korporasi dari 22 persen menjadi 20 persen. Bukankah bijaksana jika pemerintah bersikeras menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen? Maka tak heran jika kelas kaya memberi tax amnesty, kelas menengah memeras negara.
Sri Mulyani selalu berkelakar bahwa yang dilakukan pemerintah hanya melaksanakan UU No. 7 tahun 2021. Padahal, pemerintah mempunyai kewenangan untuk menetapkan tarif PPN antara 5 persen hingga 15 persen berdasarkan Pasal 7 ayat (3) dan (4), sehingga memberikan fleksibilitas dalam penetapan tarif melalui peraturan pemerintah.
Hal ini juga membantah anggapan Sri Mulyani yang menyebut pemerintah, tegasnya, melaksanakan undang-undang tersebut. Ada ruang bagi pemerintah untuk meringankan beban masyarakat dengan mempertimbangkan tarif yang lebih rendah.
Di sisi lain, kebijakan pajak karbon yang seharusnya diterapkan pada tahun 2022 masih belum terlaksana, padahal kebijakan ini bisa menjadi alternatif strategis untuk meningkatkan pendapatan pemerintah tanpa membebankan konsumsi masyarakat secara langsung.
Pemerintah harus mengambil langkah yang lebih bijak dan seimbang agar kebijakan fiskal tidak justru melemahkan daya beli dan perekonomian secara keseluruhan. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang berada di bawah Sri Mulyani juga mengatakan, tarif PPN di Indonesia adalah satu. . di bagian bawah.
Angka-angka ini cukup menyesatkan karena tarif PPN di Indonesia sebenarnya termasuk yang tertinggi di ASEAN. Tarif PPN Indonesia sebesar 11 persen masih lebih tinggi dibandingkan negara ASEAN lainnya. Tarif PPN di Malaysia hanya 8 persen, sedangkan Singapura 9 persen. Filipina memiliki tarif PPN tertinggi sebesar 12 persen.
Atas dasar itu, sebaiknya kenaikan tarif PPN tahun 2025 dibatalkan. Pemerintah mempunyai peluang besar untuk menetapkan tarif yang lebih cerdas dan tidak membebani masyarakat, namun justru memilih untuk meningkatkan tekanan yang harus ditanggung masyarakat.
Ketika masyarakat bahu-membahu saling meringankan, para penguasa seakan-akan hanya duduk nyaman di kursi kekuasaan. Mereka lupa bahwa merupakan tanggung jawab mereka untuk melindungi dan memperjuangkan kesejahteraan semua orang. (miq/miq)