Jakarta, ILLINI NEWS – Roda demokrasi kembali berputar pada pemilihan umum kepala daerah yang digelar pada 27 November 2024. Namun, di tengah kebebasan tersebut, bayang-bayang dinasti politik masih membayangi.
Dari Sumatera Utara hingga Kalimantan Timur, kandidat-kandidat besar di daerah yang diidentifikasi sebagai bagian dari dinasti politik berjuang untuk mempertahankan kekuasaan. Pertanyaannya adalah: apakah ras ini masih memiliki ketahanan seperti dulu ataukah mereka sedang menghadapi badai perubahan?
Di Sumatera Utara, nama Bobby Nasution, menantu Presiden Joko Widodo kembali mencuat. Dengan dukungan luas dari 10 partai besar termasuk Golkar, Gerindra, dan Demokrat, Bobby dan rekannya Surya berhasil merebut hati masyarakat dengan perolehan suara 62,71%.
Kemenangan telak yang menunjukkan bahwa strategi kekuasaan keluarga politik terus menjadi senjata ampuh. Namun kemenangan ini menimbulkan pertanyaan: seberapa mandirikah Sumut di bawah bayang-bayang dinasti tersebut?
Pindah ke Banten, pemerintahan dinasti terdiri dari dua ras utama: Ratut Atut dan Jayabaya. Pasangan Andra Soni-Achmad mengalahkan Dimyati Natakusumah dari Koalisi Banten Uwch Airin Rachmi Diany, anggota Dinasti Atut.
Data Charta Politika menunjukkan kemenangan Andra-Dimyati mendapat dukungan 10 partai, antara lain Gerindra, PKS, dan Demokrat. Meski dominasi Atut kian menurun, kehadiran ras ini tetap mencerminkan betapa politik keluarga telah mendarah daging dalam struktur masyarakat Banten.
Jawa Tengah menyuguhkan dinamika yang tak kalah menarik. Pasangan Ahmad Luthfi-Taj Yasin Maimoen mengalahkan Andika Perkasa-Hendrar Prihadi dengan perolehan suara 58-59%.
Taj Yasin, putra ulama besar Maimoen Zubair, menampilkan wajah dinasti yang lebih bersifat religius daripada sekadar politik. Dukungan sembilan partai, termasuk PAN, Nasdem, dan PKB menjadi kekuatan yang mengantarkan pasangan ini menduduki puncak klasemen politik Jawa Tengah.
Di Kalimantan Timur, pertarungan politik terjadi antara Rudi Mas’ud, salah satu keluarga besar Mas’ud, melawan Isran Noor. Dukungan 12 partai besar, termasuk Gerindra dan Golkar, membuat Rudi dan Seno Aji unggul dengan perolehan suara 56,44%.
Kemenangan ini mengukuhkan posisi keluarga Mas’ud dalam politik lokal, meski dengan tantangan menjawab kebutuhan masyarakat secara lebih konkrit.
Fenomena politik dinasti ini memancing berbagai reaksi. Ada yang melihatnya sebagai warisan stabilitas, ada pula yang melihatnya sebagai hambatan terhadap demokrasi. Masalah kontaminasi, performa stagnan, dan pengelolaan sumber daya merupakan stigma yang terkait dengan ras ini. Namun pilihan masyarakat tetap menjadi faktor penentu, apakah mereka memilih berubah atau tetap berpegang pada tradisi. Menang atau kalah, dinasti politik di Indonesia menghadapi tantangan besar untuk membuktikan bahwa mereka bukan hanya pewaris kekuasaan, tapi juga pembawa perubahan. Jika tidak, kejayaan tersebut akan terkikis oleh gelombang tuntutan yang semakin keras terhadap transparansi dan persaingan.
Investigasi ILLINI NEWS
(mereka/mereka)