JAKARTA, INDONESIA – Industri budidaya maggot khususnya larva black Soldier fly (BSF) banyak menyita perhatian. Ini adalah alternatif yang menarik untuk bertani.
Dengan kemampuannya mengubah sampah organik menjadi makanan bergizi, bisnis ini menawarkan keuntungan yang menarik.
Evi Prihartini, Hamidah Hendarini, Pavana Nur Inda, petani Fakultas Pertanian Kementerian Pertanian UPN “Senior” Pasuruan berdasarkan kajian Oma Magot Warna-Warni di Jawa Timur mempunyai internal rate net present value (NPV) dari bisnis ini. Rp 119 juta dengan tingkat pengembalian 76% (IRR) dan payback period hanya 2 tahun 1 bulan.
Keuntungan utama dari bisnis ini adalah efektivitas biaya dan dampak lingkungan. Magnet dapat mengubah sampah organik dari pakan ternak, seperti unggas dan ikan, menjadi protein berkualitas.
Biaya produksinya rendah yakni biaya variabel hanya Rp 27 juta per tahun, peternak mampu memproduksi magnet sebanyak 35,95 ton per tahun dan memperoleh penghasilan Rp 251 juta dalam tiga tahun.
Selain itu, pemanfaatan maggot menjadi solusi penting bagi peternakan dalam menghadapi kenaikan biaya logistik, mengurangi ketergantungan terhadap pakan impor yang mahal.
Pertanian magnet membuka peluang pemberdayaan masyarakat khususnya di pedesaan. Inisiatif seperti pelatihan teknik budidaya gulma dan bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk memperluas pasar lokal dan ekspor merupakan strategi yang penting.
Teknologi modern mengubah cacing segar menjadi tepung (makanan ajaib) yang lebih tahan lama dan bernilai tinggi. Inovasi ini berpotensi menjadikan Indonesia sebagai pemain utama pasar protein global
Sebagai perbandingan, Zimbabwe menggunakan cacing untuk mengatasi krisis pangan yang disebabkan oleh kekeringan, menurut Seattle Times. Petani di Nyangambe mengandalkan cacing untuk mengurangi biaya produksi pakan ternak, yang mencapai 80% dari total biaya operasional.
Dengan penggunaan cacing, biaya ini dapat dikurangi hingga 40%, sehingga memberikan solusi hemat biaya bagi petani kecil. Selain itu, cacing membantu petani meningkatkan ketahanan pangan dengan memanfaatkan sampah organik untuk produksi protein hewani yang berbiaya rendah.
Meskipun sudah berhasil keluar dari krisis, Zimbabwe telah menunjukkan bahwa cacing dapat menjadi “alat penyelamat” bagi para petani yang terkena dampak perubahan iklim dan kenaikan harga pakan impor. Pendekatan ini berbasis masyarakat dan mencakup pelatihan yang didukung USAID.
Baik Indonesia maupun Zimbabwe memanfaatkan potensi serangga untuk pakan dan pengelolaan limbah, namun terdapat perbedaan yang signifikan dalam skala operasi dan target pasar.
Di Indonesia, skala komersial telah dikembangkan dengan dukungan teknologi modern seperti mengubah tikus menjadi tepung. Sementara itu, Zimbabwe lebih fokus pada kegiatan berskala kecil dan berbasis komunitas.
Kemudian fokus utama di Indonesia adalah efisiensi biaya produksi pakan dan pengurangan sampah organik. Sebaliknya, Zimbabwe berfokus pada ketahanan pangan selama krisis iklim.
Dengan dukungan infrastruktur yang sederhana namun sistematis, peternak Indonesia bisa memperoleh penghasilan Rp 251 juta dari penjualan magnet dalam tiga tahun. Di Zimbabwe, keuntungan ekonomi lebih fokus pada penghematan biaya dibandingkan pendapatan langsung.
Meski menjanjikan, perdagangan magnet bukannya tanpa tantangan. Ketergantungan terhadap sinar matahari untuk pertumbuhan dan rendahnya pemahaman masyarakat terhadap manfaat cacing menjadi kendala utama. Namun, investasi pada strategi promosi digital dan teknologi pengendalian lingkungan dapat mengatasi tantangan ini.
Dengan kombinasi nilai ekonomi, kelestarian lingkungan, dan potensi kekuatan sosial, cacing tidak hanya bisa menjadi solusi lokal dalam pengelolaan sampah, namun juga menjadi pilar penting dalam ekonomi hijau di masa depan.
Riset ILLINI NEWS (MB/MB)