Jakarta, ILLINI NEWS – Judi online (Judol) semakin marak di Indonesia. Fenomena tersebut menjadi salah satu permasalahan yang ditengarai menekan daya beli masyarakat. Kekhawatiran tersebut diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tak menampik, judol bisa menjadi faktor yang mempengaruhi daya beli masyarakat.
Sri Mulyani meyakinkan DPR, Kabinet Kerja Presiden Prabowo Subianto, dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka akan fokus menyelesaikan persoalan ini. “Matikan pemerintah karena itu berarti kita tidak bekerja sendiri,” tambahnya.
Judi online membahayakan konsumsi karena dapat mengalihkan pendapatan. Uang atau pendapatan yang semula digunakan untuk membeli barang kemudian dialihkan untuk membayar perjudian.
Transaksi Judi Online di RI
Berdasarkan data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), sepanjang semester I-2024, nilai transaksi perjudian online di Indonesia mencapai Rp 100 triliun. Sedangkan laporan Januari-Juli 2024 mencapai Rp 174,5 triliun dengan 117 juta transaksi.
Peningkatan terbesar terjadi pada tahun 2020 ke tahun 2021. Dari Rp15,7 triliun menjadi Rp57,9 triliun, melonjak 267%.
Selanjutnya puncaknya pada tahun 2022 hingga 2023 juga cukup tinggi yaitu meningkat sebesar 213%. Angkanya berkisar antara Rp104,4 triliun hingga Rp327 triliun.
Akumulasi pendapatan pada tahun 2023 terkait perjudian online mewakili 63% dari total pendapatan yang dicatat PMATK antara tahun 2017 dan 2023, yaitu sebesar Rp 517 triliun.
Menyikapi hal tersebut, pada Oktober lalu Menkominfo mengeluarkan imbauan kepada lima e-wallet yang memfasilitasi kegiatan judol, seperti Dana, Ovo, Gopay, LinkAja, dan Airpay. Kominfo melaporkan, transaksi di seluruh platform berkisar antara puluhan ribu hingga jutaan, dan nilainya mencapai Rp5 triliun.
Kecurigaan terhadap transaksi judi online di dompet digital disebabkan oleh aktivitas top-up yang meningkat secara tiba-tiba. Mengingat transaksi bersifat satu arah, hanya masuk saja dan tidak ada transaksi keluar.
Judol dan konsumsi masyarakat
Agustus lalu, Jahja Setiaatmadja, Presiden dan Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA), mengungkapkan salah satu penyebab turunnya daya beli masyarakat adalah judol.
Penurunan daya beli juga dibarengi dengan penurunan data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang dirilis Bank Indonesia (BI) awal pekan ini.
BI merilis laporan survei konsumen yang menunjukkan IKK turun menjadi 121,1 pada Oktober 2024 atau terendah sejak Desember 2022 (hampir dua tahun terakhir).
Jika ditilik lebih jauh, masyarakat juga menggunakan tabungan (mantab) untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti makanan dan minuman.
Pada Oktober 2024, tingkat tabungan menjadi 15%. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya, khususnya pada September dan Agustus 2024 yang masing-masing sebesar 15,3% dan 15,7%.
Faktanya, rasio pada Oktober 2024 merupakan yang terendah sejak Desember 2021 yang saat itu sebesar 14,1% atau sekitar satu setengah tahun setelah pandemi Covid-19 terdeteksi di Indonesia, sehingga wajar jika masyarakat cenderung membuang. tabungan mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saat ini akibat rendahnya pendapatan akibat banyak perusahaan yang melakukan efisiensi (PHK/PHK) untuk bertahan di tengah situasi sulit.
Masyarakat terpaksa menggunakan tabungan tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (konsumsi). Data yang dipublikasikan Mandiri Institute melalui Mandiri Expenditure Index (MSI) menunjukkan, secara umum belanja masyarakat sebagian besar masih dialokasikan untuk kebutuhan sehari-hari (23,6%).
Tak hanya kebutuhan sehari-hari, porsi yang didedikasikan untuk katering, fashion dan olah raga, hobi dan hiburan pun nampaknya juga semakin meningkat.
Jika dicermati lebih dalam, persentase pengeluaran kebutuhan sehari-hari kelompok masyarakat bawah meningkat 2,7 kali lipat dibandingkan awal tahun 2023, sedangkan kelompok menengah meningkat 2 kali lipat dan kelompok masyarakat atas meningkat 1,7 kali lipat.
Sementara itu, setidaknya sejak Januari 2023 hingga November 2024, porsi total belanja supermarket dan restoran juga terus meningkat yakni dari 31,1% menjadi 42,7%.
Hal ini juga menyoroti bahwa masyarakat semakin banyak mengeluarkan uang untuk aktivitas konsumsi makanan dan minuman.
INVESTIGASI ILLINI NEWS
[dilindungi email] (rev/rev)