Catatan: Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan dewan redaksi illinibasketballhistory.com.
Presiden pertama Amerika Serikat, George Washington, adalah pendukung kebijakan isolasionis, menolak keterlibatan Amerika dalam perang di Eropa. Pidato perpisahannya pada tanggal 19 September 1796 menekankan pentingnya menyelamatkan negara dari hutang dengan menghindari keterlibatan dalam perang yang tidak perlu.
Kebijakan isolasi ini dihidupkan kembali oleh Donald Trump. Kemenangan Trump untuk masa jabatan kedua pada pemilu presiden AS 2024 menandai pergeseran kebijakan luar negeri AS dari internasionalisme ke isolasionisme.
Trump menegaskan pemerintahannya akan fokus pada kepentingan rakyat, selain menangani isu-isu internasional yang sangat penting bagi kepentingan nasional Amerika Serikat. Isolasionisme bukan berarti anti hubungan luar negeri.
Kebijakan ini justru lebih fokus pada penyelesaian permasalahan dalam negeri dibandingkan berkiprah di kancah global. Dalam kamus kebijakan luar negeri, kebijakan isolasionis berkaitan dengan ‘kebijakan luar negeri dalam negeri’ atau ‘kebijakan luar negeri dalam negeri’.
Meminjam kata-kata Richard Haas, politik luar negeri isolasionis menganut prinsip ‘kebijakan luar negeri dimulai dari dalam negeri’, yaitu penyelesaian permasalahan dalam negeri menjadi prioritas utama politik luar negeri.
Krisis Liberal-Internasionalisme Salah satu faktor utama kemenangan Trump pada pemilu presiden 2024 adalah ketidaksukaan mayoritas masyarakat Amerika terhadap garis kebijakan luar negeri Joe Biden. Presiden Partai Demokrat sangat mementingkan aliansi AS dengan sekutunya.
Amerika Serikat tidak melakukan operasi militer terhadap negara lain, namun memberikan dukungan dan bantuan ekonomi dan militer kepada negara sahabat yang sedang berperang atau mendapat ancaman dari negara lain. Selama pemerintahan Biden, Amerika Serikat telah banyak berinvestasi pada sekutu-sekutu pentingnya.
Pada tahun berlanjutnya perang Gaza, Washington telah mengeluarkan setidaknya 17,9 miliar dolar AS atau Rp. 282 triliun ke Israel. Pemerintahan Biden menghabiskan lebih dari $50 miliar, atau Rp 789 triliun, untuk membantu Ukraina mempertahankan diri dari Rusia.
Tak hanya itu, saat hubungan Sino-Taiwan sedang memanas, Biden berjanji akan memberikan bantuan militer kepada Taiwan sebesar 500 juta dolar atau Rp 7,8 triliun. Di tengah ketidakpastian perekonomian global dan perekonomian nasional Amerika Serikat yang kurang baik, kebijakan internasional Biden menimbulkan reaksi negatif dari warga Amerika.
Survei yang dilakukan Pew Research Center pada Juli 2024 menunjukkan hanya 15 persen responden yang mendukung kebijakan AS dalam mendukung Ukraina. Sedangkan dukungan AS terhadap Israel hanya disetujui oleh 7 persen responden.
Ironisnya, citra Amerika di dunia internasional sangat positif pada masa pemerintahan Biden. Kebijakan Biden menunjukkan ketidakpuasan. Hal ini konsisten dengan prinsip liberal-internasionalis yang dianut oleh sebagian besar pemimpin Partai Demokrat.
Liberal-internasionalisme adalah serangkaian gagasan bahwa Amerika Serikat harus mengambil peran kepemimpinan di panggung dunia dengan mempromosikan demokrasi, hak asasi manusia, perdagangan bebas, dan memperkuat institusi internasional (Ikenberry, 2020).
Teori ini telah menjadi bagian dari tradisi Amerika setidaknya sejak masa kepresidenan Thomas Jefferson (1801–1809). Jefferson adalah pendukung intervensi dan ekspansi kebijakan luar negeri sebagai strategi untuk membangun dominasi Amerika di panggung dunia.
Persepsi bangsa Amerika sebagai ‘kota di atas bukit’ memunculkan keyakinan bahwa Amerika ditakdirkan untuk dianggap sebagai nilai-nilai liberal universal di dunia. Sayangnya, masyarakat Amerika merasa bahwa petualangan kebijakan luar negeri Biden, dengan komitmennya untuk mendukung sekutu dan keterlibatan aktif Amerika di panggung dunia, menghabiskan sumber daya nasional.
Dampak global Kemenangan Trump akan berdampak global. Pertama, pihak yang paling kecewa dengan kebijakan baru Trump adalah sekutu lama AS seperti Israel, Ukraina, Taiwan, Korea Selatan, dan lainnya.
Saat ini, negara-negara tersebut mendapat manfaat dari payung keamanan Amerika untuk melawan musuh-musuhnya. Melemahnya janji Trump kepada sekutunya akan memaksa negara-negara tersebut melakukan penyesuaian kebijakan untuk menghindari risiko.
Kedua, sifat hubungan AS-Tiongkok akan berbeda. Jika pada masa Biden AS sibuk membangun aliansi untuk menghentikan pengaruh Tiongkok, khususnya di kawasan Indo-Pasifik, maka pada era Trump kemungkinan besar AS akan melepaskan kendali atas blok-blok tersebut.
Sebaliknya, Trump akan fokus pada strategi perang dagang dengan Tiongkok seperti yang ia lakukan pada pemerintahan sebelumnya. AS juga lebih memilih metode unilateral dibandingkan menggunakan cara multilateral untuk membendung pengaruh Tiongkok.
Ketiga, kebijakan Trump mengenai perdagangan internasional telah disetujui dengan mengenakan tarif terhadap barang-barang impor. Hal ini akan berdampak pada perekonomian negara-negara mitra dagang AS, termasuk Indonesia.
Akibatnya, barang-barang Indonesia menjadi kalah saing di pasar Amerika karena harganya lebih mahal. Selain itu, AS merupakan mitra dagang terpenting kedua setelah China dengan nilai perdagangan sebesar 34,5 miliar dolar atau Rp. 544 triliun pada tahun 2023. Pemerintah Indonesia harus mengambil langkah proaktif untuk menjajaki pasar alternatif untuk tujuan ekspor.
Keempat, kemenangan Trump akan mempengaruhi masa depan multilateralisme. Pendekatan liberal-internasionalis yang dikembangkan Biden sangat mementingkan multilateralisme sebagai sarana kerja sama antar negara dalam menyelesaikan permasalahan global.
Misalnya perubahan iklim, konflik antar negara, pemulihan krisis ekonomi global, wabah penyakit, dan lain-lain. Namun, terdapat kekhawatiran bahwa kebijakan nasionalis dan unilateralis Trump akan mengancam efektivitas lembaga multilateral yang ada.
Lantas, bagaimana prospek hubungan Indonesia-AS di bawah pemerintahan Prabowo Subianto dan Donald Trump? Meskipun tidak ada hubungan dekat antara Prabowo dan AS, terdapat kesamaan antara kedua pemimpin tersebut dalam hal gaya kepemimpinan.
Baik Prabowo maupun Trump mengandalkan gaya kepemimpinan kuat yang berfokus pada seorang pemimpin individu. Baik Prabowo maupun Trump adalah pemimpin populis yang mengklaim bisa menjadi solusi berbagai persoalan masyarakat kelas bawah.
Keduanya menganut prinsip nasionalisme yang mengutamakan kepentingan negara di atas segalanya. Pada akhirnya, mereka sama-sama mengedepankan kepentingan material (terutama ekonomi) di atas komitmen memperjuangkan nilai-nilai normatif seperti demokrasi, hak asasi manusia, dan norma internasional.
Meski demikian, kesamaan gaya kepemimpinan bukan berarti hubungan kedua negara erat. Salah satu faktornya adalah Trump tidak melihat Indonesia sebagai mitra strategis yang penting.
Di kawasan Asia Tenggara, Trump memprioritaskan sekutu lamanya seperti Vietnam, Thailand, Singapura, dan Filipina. Unilateralisme Amerika Serikat di bawah Trump juga dapat mengancam eksistensi norma ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP) yang digagas Indonesia sebagai model hubungan antar negara di kawasan.
Oleh karena itu, Prabowo perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk mengantisipasi dinamika regional terkait perubahan kebijakan luar negeri AS di bawah pemerintahan Trump. (miq/miq)